Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Senin, 27 Agustus 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Jokowi itu Pelayan.

Posted: 27 Aug 2012 11:41 AM PDT

Apa yang ada di pikiran sebagian besar penduduk Jakarta akhir-akhir ini kalau di sebutkan nama Jokowi ?. Mungkin dalam pikiran mereka itu akan terbayang secercah harapan akan datangnya perubahan setelah selama ini berkubang dalam lumpur kepalsuan janji yang memuakkan. Dahaga mereka seperti mendapat penawar manakala  "makhluk asing" yang selama ini tak pernah mereka kenal tiba-tiba muncul dari perut bumi sebagai seorang sosok yang paling sesuai dengan impian mereka selama ini.

Sikap ke seharian nya  yang sederhana, apa adanya, tak banyak basa basi tapi lugas, sudah menjadi sihir ter sendiri bagi sebagian besar warga Jakarta. Sehingga mereka akhirnya menjadi se olah tak peduli dengan segala macam komentar miring yang mencoba menghambat langkahnya menuju kursi DKI 1.

Beberapa tokoh penting di negeri ini sudah menjadi korban di hujani hujatan melalui media sosial akibat memberi komentar yang salah, di waktu yang salah dan di tempat yang salah. Entah sudah berapa banyak sumber daya manusia atau materi yang dikeluarkan untuk men jungkir kan Jokowi tapi sia-sia belaka, dan kesan yang dapat di tangkap  seolah-olah warga Jakarta sudah menetapkan pilihan nya sebelum hari pemungutan suara itu sendiri di laksanakan.

Kita harus mengakui bahwa Pemilukada DKI Jakarta kali ini adalah yang paling menarik, paling riuh, bahkan gaungnya sampai ke seluruh pelosok nusantara.

Lantas faktor apa yang dimiliki Jokowi ini sehingga warga Jakarta begitu jatuh hati kepadanya, padahal ia tak pintar mengumbar janji. Menurut saya personifikasi yang ditampilkannya sebagai pelayan adalah figur yang  paling di idamkan oleh warga Jakarta selama ini. Hal ini sekaligus mematahkan argumen yang di tiup kan selama ini yang meragukan kemampuannya dalam mengelola Jakarta sebagai Ibukota negara yang berbeda sangat jauh dengan masalah yang dimiliki oleh kota sebesar Solo.

Dia tidak muncul bak seorang dewa yang akan menyulap masalah kota Jakarta dalam satu malam. Dia tidak hadir dengan janji laksana seorang ahli yang dapat melakukan segalanya sendiri. Tapi ia membawa solusi dan keyakinan yang sangat kuat bahwa warga Jakarta akan berjalan seiring dengannya menuntaskan masalah yang di hadapi Ibukota negara ini.

Kalau mau jujur, tak ada seorangpun yang benar-benar mengerti dengan sangat baik bagaimana menyelesaikan persoalan Jakarta termasuk Jokowi sendiri sehingga ia akan melibatkan warga Jakarta dalam mencari solusi terbaik setiap permasalahan yang ada sebagaimana sering ia singgung dalam dialog dengan warga.

Sikap ini lah yang di yakini oleh Jokowi paling sesuai untuk diterapkan selama ia menjabat di pemerintahan yang merupakan salah satu bentuk kesadaran dirinya bahwa setiap orang memiliki keterbatasan. Berbekal ketulusan, kejujuran yang dilandasi sikap melayani maka ia memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa warga Jakarta akan mendukung setiap langkahnya. Semoga.

SENANDUNG BINGKAI KASMARAN

Posted: 27 Aug 2012 11:41 AM PDT

Tepian Danau itu berpangkal Indah

Keloknya meliuk bagai tarian suasa bah

Terukir gemercik mutiknya lentera cerah

B'sama degup irama layaknya hati sedang kasmaran

O, . .  manik-manik pualam merekah menjulang

Slimuti remah -remah kasunyatan

Ujutnya hiruk pikuk noda itu tiada ada

Tercekak membayangkan amukan S'mara

Tegas sibuk padamkan kobarnya

Dengan tarian penyejuk dendang bianglala

Termangu, inginnya tenggelamkan rasa

Yang s'makin membuncah diubun-ubun loka

Kan dibuang jauh kedalam kelam .  . . .

O, . . .  Donya S'mara, yang penuh misteri

Susah dimengerti pun tak dapat dihitung dengan jari

Mengapa mesti ada yang mulai?

Ketika kesetiaan itu sudah terpatri

Dan . . . . . . . . . . . . .

Rasa itu tiba, datang menerjang

Menggoncang Prahara, sibakkan rona

Ihhhhh, Andai kau tahu  . . . ternyata kobar s'mara itu ada disana

Hadir karna tiada tersengaja, tanpa renjana

Dan .. . . Jangan salahkan siapa-siapa

Tapi, kenapa mesti berontak dan bimbang????

Memang, s'galanya mesti dikekang, s'mara itu

Gejolaknya harus diredam dalam, jangan sampai terjelang

karena,

S'mara itu . . . . . . T E R L A R A N G .

– Kinanti Sekar Djagad

Jalan Tol Dalam Kota, Bukan Solusi Untuk Kemacetan

Posted: 27 Aug 2012 11:41 AM PDT

OPINI | 28 August 2012 | 01:24 Dibaca: 3   Komentar: 0   Nihil

Mengapa?

Menurut Badan Pengatur Jalan Tol, (http://www.bpjt.net/main.php?stateid=jartol&parentid=4&pageid=8&strlang=id) salah satu tujuan penyelenggaraan Jalan Tol adalah untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang. Tentu saja hal ini dimaksud untuk mengurai kemacetan.

"Lalu bagaimana dengan Jakarta, khususnya dengan Jalan Tol dalam kotanya?"

Sebagian besar warga Jakarta mungkin tahu yang dimaksud, yaitu Jalan yang mengitari (radial) kota Jakarta. Dilihat dari penempatannya, keberadaan jaringan infrastrukturnya sungguh strategis. Pertama, karena fungsinya yang menghubungkan antar kotamadya. Kedua, sebagian besar dan pada jarak lebar tertentu setelahnya, di kanan kiri jalannya (yaitu bangunannya), merupakan paduan dari fungsi komersil (bahkan hunian). Tak urung, Jalan Tol Dalam Kota acap menjadi macet pada jam-jam tertentu.

"Lantas mengapa masih macet?"

1346091597185554032

http://foto.detik.com/read/2007/11/23/224634/856899/157/macet-parah-di-tol-dalam-kota

Sederhananya, tujuan dari pengadaan infrastruktur tersebut adalah untuk mengurai kemacetan. Namun untuk menggunakannya, kita HARUS membawa/ menumpang kendaraan sejenis mobil. Inilah permasalahannya, ruas jalan yang demikian lebar sungguh tidak termanfaatkan maksimal untuk mendistribusikan manusia secara massal ke tempat-tempat tujuannya. Malahan, hanya lebih penuh terisi dengan ragam "besi" pengangkutnya.

Seandai pada lokasi tanah di Infrastruktur tersebut dibangun sistem transportasi massal semacam kereta/ tram, dapat dibayangkan bukan efektifitasnya? Tidak perlu banyak kendaraan yang bergerak, cukup manusianya saja. Entah jalan tol tersebut mau digusur, mau dikecilkan untuk salah satu lajurnya dapat ditaruh kereta, biarlah menjadi kebijakan Pemda nantinya. Setidaknya dengan adanya sistem transportasi kereta yang berjalan seiring jaringan pola jalan tersebut, itu sudah cukup efektif (karena memang disitu letak macetnya).

Alhasil, tidak perlu banyak membuat jalan tol baru, tidak perlu mencari lahan baru untuk sistem kereta komuter nantinya, melainkan cukup memanfaatkan potensi infrastruktur yang telah ada.

Sebagai catatan, diakui bila usulan ini bukan yang terbaik. Namun bila berguna, mohon disebarkan pada calon-calon Gubenur kita.

CERPEN SRI WINTALA ACHMAD

Posted: 27 Aug 2012 11:41 AM PDT

MATAHARI BIRU DI LANGIT LEBARAN

Cerpen: Sri Wintala Achmad

Bagaikan piringan emas, matahari mengambang di atas bentangan bukit timur. Langit yang serupa atap kubah biru tak tergores awan. Sepasang burung prenjak berkicauan di dahan pohon jambu yang tumbuh di halaman sudut rumah. Semilir angin serasa mengabarkan kalau puasa telah menginjak pada hari terakhir. Hari dimana Den Lara Hartati sibuk bekerja dengan pembantunya. Mempersiapkan hidangan istimewa bagi Pras. Anak semata wayangnya yang akan pulang mudik beserta isteri dan ketiga anaknya dari Jakarta.

Selagi meracik bumbu opor ayam di dapur, ponsel Den Lara Hartati yang tergeletak di ranjang di dalam kamarnya berdering. Sontak wanita berdarah biru berstatus janda itu berlari ke kamarnya. Melihat nama Hamidah menantunya, ia sontak memencet key pad 'Yes'. "Hallo, Ndhuk! Sampai dimana perjalanan kalian?"

"Bandara, Bu."

"Bukankah Pras bilang, kalian akan datang dengan mobil pribadi?"

"Rencana semula begitu, Bu. Tapi karena Mas Pras masih sibuk dengan pekerjaannya, terpaksa kami datang duluan dengan pesawat."

"Ya, sudah. Kalian tak perlu naik taksi! Biar Jono menjemput kalian di situ." Den Lara Hartati memencet key pad 'No'. Seusai meletakkan ponsel di ranjang, ia melangkah keluar ke halaman. Dimana Jono, sopir pribadinya itu tengah mengecat pagar besi. "Jon! Tolong jemput Hamidah dan anak-anaknya di bandara!"

"Bukankah Den Ayu Hamidah akan datang bersama Den Bagus Pras dengan mobil pribadi, Den Lara?"

"Pras masih sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, Hamidah dan anak-anaknya datang duluan dengan pesawat. Segeralah kamu jemput mereka di bandara!"

Tanpa sepatah kata, Jono meletakkan kaleng cat dan kuasnya di teras rumah. Melangkah terburu menuju garasi. Dengan sedan Nissan perak, lelaki lajang itu menuju bandara. Hanya dalam waktu setengah jam, Nissan perak itu telah berada di antara deretan mobil-mobil di halaman parkir Bandara Adisucipta, Jogja.

Menyaksikan Hamidah dan ketiga anaknya yang tengah berdiri di antara tukang-tukang becak dan sopir-sopir taksi, Jono keluar dari dalam mobil. Melangkah terburu menuju tempat, dimana menantu Den Lara Hartati itu berdiri sembari menggendong anak bungsunya. Bayinya yang masih berusia tujuh bulanan. "Maaf, Den Ayu! Jemputnya agak terlambat."

"Tak apa, Jon."

"Mari Den Ayu, segera masuk ke mobil! Kasihan anak-anak."

"Ya, Jon."

Disertai Den Ayu Hamidah dan anak-anaknya, Jono melangkahkan kakinya menuju mobil. Sesudah memasukkan seluruh perbekalan Hamidah di dalam bagasi, ia masuk ke dalam mobil. Duduk di jok kemudi di samping Hamidah yang tubuhnya menyerbakkan aroma parfum bermerk. Tak seberapa lama, mobil itu bergerak meninggalkan halaman parkir bandara.

***

"Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar. La ilaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar. Wa lillahilhamd."

Suara takbir menggema dari masjid dan langgar. Sepulang dari menyaksikan takbiran keliling; Den Lara Hartati, Den Ayu Hamidah, dan anak-anaknya berkumpul di ruangan tamu. Menikmati opor ayam dan minuman orson rasa anggur. Melepas kangen dengan bersendau gurau.

Waktu melarutkan malam. Den Lara Hartati dan kedua cucunya tertidur pulas di kamarnya. Sementara Den Ayu Hamidah masih terjaga sembari menunggui bayinya. Kedua matanya teramat sulit dipejamkan. Hatinya galau. Lantaran SMS ucapan lebaran yang dikirimkan ke ketiga ponsel Pras berakhir dengan 'pending'.

Dengan gerakan kasar, Den Ayu Hamidah beranjak dari ranjang. Meninggalkan bayinya. Keluar dari dalam kamarnya yang terasa pengap. Duduk di salah satu kursi kayu jati berukir di ruangan tamu. Berulangkali menengok ponselnya. Hatinya kian galau. Manakala menjelang subuh, SMS ucapan lebarannya pada Pras itu belum juga sampai ke tujuan.

Den Ayu Hamidah bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Pras yang tak mudik bersamanya dengan alasan sibuk dengan pekerjaannya itu hanya cara untuk dapat berselingkuh dengan Nurlinda. Bendaharanya yang pernah mengirim SMS jorok ke ponsel Pras? Mungkin. Ya, mungkin.

Berulang kali, Den Ayu Hamidah menghela napas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumpal sebongkah batu. Sekalipun demikian, prasangka buruknya pada Pras yang kian mengganggu pikirannya itu memicunya untuk berteriak lantang, "Dasar lelaki brengsek!"

Den Lara Hartati yang terbangun lantaran dikejutkan dengan teriakan Den Ayu Hamidah itu melangkah menuju ruang tamu. Duduk di kursi di samping menantunya. "Ada apa denganmu, Ndhuk? Siapa lelaki yang kau umpat dengan kalimat sekasar itu? Apakah Pras?"

Den Ayu Hamidah menjatuhkan wajahnya ke pangkuan Den Lara Hartati. "Maaf, Bu! Aku khilaf."

"Sabar ya, Ndhuk! Kalau Pras belum dapat datang hari ini, mungkin masih sibuk dengan pekerjaannya."

"Bukan karena itu, Bu," jawab Den Ayu Hamidah sembari mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata.

"Lantas, karena apa?"

"Ketiga ponsel Mas Prass dimatikan."

"Karenanya, lantas kau berpikir kalau Pras tengah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama? Percayalah, Ndhuk! Pras itu, tipe lelaki setia pada seorang isteri. Bertanggung jawab pada keluarganya. Sebagaimana rama-nya. Swargi Kangmas Sudibya."

"Tapi…."

"Sudahlah! Sekarang, ambillah air wudlu! Bersembahyanglah subuh! Sesudah mandi dan sarapan, kita pergi ke alun-alun. Berjamaah sholat 'id."

Selepas Den Ayu Hamidah, Den Lara Hartati meninggalkan ruang tamu. Memasuki ruang tidur menantunya. Menggendong cucu bungsunya yang telah terbangun dengan selendang kawung. Membawanya ke teras rumah. Mengembannya sembari menyenandungkan tembang Lela-Lela Ledhung.

***

Alun-alun yang penuh serakan sampah koran itu kembali lengang. Orang-orang berpakaian serba baru yang semenjak fajar berjajar membentuk sap-sap untuk berjamaah sholat 'id itu telah pulang ke rumahnya masing-masing. Demikian pula dengan Den Lara Hartati, Den Ayu Hamidah, dan ketiga anaknya.

Di ruangan tamu, Den Lara Hartati sibuk melayani tamu-tamunya yang datang untuk ber-khalal bil khalal. Kedua anak Den Ayu Hamidah bermain petasan lombok rawit di halaman dengan anak-anak sebayanya. Sementara Hamidah yang galau lantaran belum terkirimnya SMS ke ponsel Pras itu duduk di ruangan keluarga sembari menggendong bayinya. Sibuk dengan remote control di depan televisi.

Den Ayu Hamidah serasa tersambar petir di siang bolong, manakala menyimak breaking news dari salah satu stasiun televisi: "Telah terjadi tabrakan maut BMW hitam dengan bis trans Jakarta. Kedua penumpang BMW, Nurlinda dan lelaki yang tak diketahui identitasnya tewas. Sementara, sopir melarikan diri…."

Tanpa mencermati kedua mayat korban kecelakaan yang dimasukkan ke dalam ambulans, Den Ayu Hamidah beranjak dari ruang keluarga. Melangkah gontai menuju ruang tamu. Dimana Den Lara Hartati yang barusan mengantarkan tamu-tamunya sampai di depan pintu itu duduk sendirian. "Aku harus segera pulang ke Jakarta, Bu. Mas Pras kecelakan."

"Apa?" Den Lara Hartati beranjak dari kursi. "Pras kecelakaan? Dari mana kamu tahu?"

"Televisi, Bu."

"Kalau begitu, kita ke Jakarta sama-sama."

Den Ayu Hamidah melangkah ke teras rumah untuk memanggil kedua anaknya yang masih bermain petasan dengan anak-anak sebayanya. Dalam sekejap, Hamidah serupa patung hidup. Manakala kedua matanya menangkap BMW hitam yang merangkak pelan menuju halaman rumah mertuanya itu.

Den Ayu Hamidah terasa terseret ke alam mimpi. Tak percaya bila lelaki berpakaian perlente yang keluar dari BMW hitam dan diikuti kedua anaknya itu adalah Pras. Ia pun tak percaya, bila lelaki yang mencium lembut kening bayinya di gendongan itu adalah suaminya.

"Hei! Kenapa kau memandang suamimu seperti itu, Dik?" tanya Pras penuh keheranan. "Apa yang aneh dengan diriku?"

"Bukankah Mas Pras mengalami kecelakaan di Jalan Salemba bersama Nurlinda?"

"Oh, jadi itu yang menyebabkan Dik Hamidah memandangku seperti itu? Sudah! Sudah! Kita masuk ke dalam dulu! Nanti aku jelaskan semuanya."

Disertai kedua anaknya, Den Ayu Hamidah mengikuti langkah Pras ke dalam ruangan tamu. Sesudah sungkem pada Den Lara Hartati, Pras menjelaskan segala permasalahannya di Jakarta. "Siang kemarin, aku mengadakan rapat dengan Nurlinda dan Pramono stafku itu di kantor perusahaan. Dalam rapat itu, aku meminta Nurlinda agar mengembalikan uang perusahaan yang dihutangnya buat membayar THR pada seluruh karyawan. Karena Nurlinda belum sanggup mengembalikan uang pinjaman yang disalahgunakan untuk kredit BMW dan bersenang-senang dengan Pramono, terpaksa aku mengambil tabungan dan melepaskan tiga ponselku untuk membayar THR itu. Sesudah persoalan itu beres, aku putuskan untuk mudik. Setiba di perbatasan Jogja-Purwareja, aku mengetahui bahwa Nurlinda dan Pramono mengalamai kecelakaan hingga tewas lewat televisi mobil itu."

Seusai penjelasan Pras, Den Ayu Hamidah merasakan dadanya terbebas dari sebongkah batu yang menyumpalnya. Merasakan bahwa Allah sang penabur keadilan di ladang kehidupan telah hadir di ruang tamu di hari fitri itu. Kehadiran-Nya yang sejauh mata batin Hamidah memandang itu serupa matahari biru di langit lebaran.

Cilacap, 15082012

Catatan: Cerpen ini dimuat di Mingguan Minggu Pagi No: 21 TH 65 Minggu IV Agustus 2012

Repotnya jadi Marzuki Ali…

Posted: 27 Aug 2012 11:41 AM PDT

Kalo ada  yang berkata  orang Islam kudu milih pemimpin yang seiman, maka saya termasuk yang setuju dengan orang itu, terlepas dia itu tukang becak, tukang somay, tukang tahu, tukang kredit, tukang tambal ban kalo dia berpendapat seperti maka akan saya dukung seratus persen.

Lantas bagaimana kalo yang ngomong itu pak Marzuki Ali yang kebetulan saat ini menjabat sebagai ketua DPR?, nah ini persoalannya, secara moral saya mendukung pendapat pak Marzuki Ali, walaupun orang ini udah keburu di cap jelek oleh sebagian orang.

Repotnya jadi pak marzuki adalah  mau ngomong model bagamana pun pasti dia tetap di  salahkan, pokoknya serba salah, ngomong A di omelin ngomong B apalagi, celakanya  lagi para pembenci pak Marzuki Ali ini ngakunya  orang-orang yang pro demokrasi tapi mereka sendiri tidak kuat berbeda pendapat.

Harusnya kalo mereka emang pro demokrasi biarkan sajalah pak Marzuki Ali berpendapat, seandainya menurut anda pendapat pak Marzuki ngaco tinggal buat aja pendapat tandingan tampa perlu melakukan penistaan dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas.

Ada juga yang mengatakan kalo pak Marzuki ini ngomongnya plin-plan, dulu ngomong A sekarang ngomong B, bagi anda yang berpendapat seperti itu saya mau kasih tahu satu hal aja,  Pak Marzuki itu politikus, namanya juga politikus jadi ngomongnya tentu saja di sesuaikan dengan kebijakan partai. Bohong kalo ada politikus yang tidak menomor satukan kepentingan partainya. Wong dia jadi "orang"  juga karena partai kok.

Kalo saya di tanya, bagaimana seharusnya posisi saya  dalam memilih pemimpin?,  sebagai orang Islam tentu saya akan memilih   pemimpin seiman,  apakah saya tidak cemas di katakan fanatik?, terserah orang mau ngomong apa, yang penting untuk urusan memilih pemimpin saya akan tetep memilih yang seiman dengan saya.

Mengapa saya harus memilih pemimpin yang seiman? Karena menurut apa yang saya pahami dari kitab suci Al Qur'an seorang muslim itu kudu memilih pemimpin yang seiman, kalo anda tidak setuju dengan pendapat saya, monggo, di alam demokrasi seperti sekarang ini semua orang bebas mengutarakan pendapatnya masing-masing.

Akhirnya, kalo kita emang sudah mengaku sebagai orang-orang yang pro demokrasi, bebaskanlah  setiap orang  berpendapat yang tidak boleh itu adalah memaksakan pendapat kita ke orang lain atau merasa pendapat kitalah yang paling benar sedangkan pendapat orang lain udah pasti salah.

Oya, bagaimana dengan umat lain kalo saya  hanya mau memilih pemimpin yang seiman dengan saya, silahkan saja umat agama lain mencalonkan umat mereka,  nanti tinggal kita lihat, siapa yang akan terpilih?, seandainya nanti ada umat agama lain  yang terpilih jadi pemimpin maka saya akan berikan ucapan selamat.

Saya juga akan membantu umat yang berbeda itu agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, saya tidak akan melakukan makar atau kerusuhan. Karena tahu bahwa  sang pemimpin terpilih melalui jalan yang sah.

Akhirnya, setiap warga negara berhak untuk menjadi pemimpin, dengan demikian siapa saja dapat  mencalonkan diri. Oya, karena umat Islam juga warga negara sah republik ini mereka  pun punya hak dong untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan keyakinan yang mereka  anut. Sama dengan umat lain, mereka juga punya hak untuk memilih pemimpin yang cocok dengan hati nurani mereka.

Kembali ke pak Marzuki, Untunglah saya bukan pak Marzuki Ali jadi saya enggak perlu repot hihi selain itu siapa sih yang bakal kebakaran jenggot kalao saya ngomong macam-macam?, wong saya ini cuma TKI.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar