Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Senin, 20 Agustus 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


…..inilah aku, dan kau sungguh istimewa..

Posted: 20 Aug 2012 11:17 AM PDT

Menunggu Politik Tambang Gubernur Aceh

Posted: 20 Aug 2012 11:17 AM PDT

Pernyataan Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah yang akan meninjau ulang semua izin tambang di Aceh patut diapresiasi. "Saya akan kaji ulang seluruh izin usaha pertambangan yang ada. Ini demi masa depan Aceh. Sebab hampir semua pertambangan selama ini merusak lingkungan" (Serambi Indonesia, 1/6/2012).

Pernyataan Zaini ini disampaikan pada peringatan dua tahun mangkatnya Wali Nanggroe, Tgk. Hasan Muhammad Ditiro di Kompleks Makam Tgk. Chik Ditiro, Gampong Keumieru, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Kamis (31/5/2012).

Pernyataan dr. Zaini Abdullah ini merupakan angin segar bagi para pegiat lingkungan dan seluruh rakyat Aceh. Mengingat pertambangan di Aceh selama ini banyak memunculkan konflik, baik konflik antar warga dengan perusahaan tambang maupun antar sesama warga itu sendiri serta mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius.

Memang, pertambangan di Indonesia tak pernah membawa kemaslahatan bagi masyarakat, selain munculnya konflik horizontal dan hancurnya alam sekitar. Kasus bentrokan warga dan aparat kepolisian di Kecamatan Lambu, Bima-NTB beberapa waktu lalu yang menewaskan warga akibat diberondong oleh timah panas aparat adalah salah satu dari sekian banyak cerita pilu pertambangan di negeri ini.

Begitu pun yang terjadi di Minahasa, Sulawesi Utara beberapa tahun yang lalu. Dimana akibat kegiatan tambang yang mengabaikan lingkungan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, Teluk Buyat tercemar yang mengakibatkan hancurnya biota laut dikawasan teluk tersebut. Juga sekitar 80 persen dari 266 warga teluk Buyat mengalami gangguan kesehatan, mulai kesehatan kulit hingga reproduksi, akibat logam berat Arsen yang mencemari sumur-sumur warga.

Dan mungkin yang terekam dengan baik dalam memori kolektif rakyat Indonesia adalah pertambangan PT. Freeport di Papua yang konon merupakan salah satu tambang emas paling besar di dunia. Tapi apa yang di peroleh oleh masyarakat Papua? Sampai hari ini Papua masih bergejolak, karena boleh jadi bagi masyarakat Papua mereka tidak memperoleh manfaat dari keberadaan Freeport selain menguntungkan kaum penguasa dan kapitalis pemilik modal.

Bagi Aceh sendiri pertambangan tidak jauh berbeda dengan persoalan yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Dimana pertambangan tak menyentuh kesejahteraan bagi rakyat banyak, terkecuali mengenyangkan perut para pemilik modal dan pemilik kuasa. Kisruh antara PT. Lhoong Setia Mining (LSM) dengan warga di Aceh Besar dan PT. Pinang Sejati Utama dengan warga di Aceh Selatan adalah contoh bagaimana pertambangan tak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Memang tak bisa dimungkiri kalau politik pertambangan di Republik ini–mulai ditingkat pusat hingga ditingkat daerah–belum mencerminkan keberpihakan pada kalangan rakyat banyak. Kecendrungan yang terjadi selama ini adalah politik tambang yang lebih menguntungkan kepentingan investor. Sementara masyarakat selaku pemilik ulayat hanya sekadar mendapat ampas untuk tidak dikatakan menanggung derita akibat limbah beracun dan kerusakan lingkungan akibat keserakahan perusahan tambang.

Dampak Liberalisasi Ekonomi

Politik tambang pemerintah Indonesia (baik pusat dan daerah) yang melempem ini merupakan dampak langsung dari liberalisasi ekonomi yang perlahan-lahan mencabut kedaulatan ekonomi nasional dan melepaskannya kedalam korporasi (MNC's/TNC's). Proses ini menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya secara sumber daya material (raw material), namun tidaklah kaya secara penguasaan dan pengelolaan (Kaelani, 2008).

Padahal konstitusi sudah jelas-jelas mengamanatkan bahwa "bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945). Untuk itu apapun alasanya, semua proses pembangunan yang dilakukan oleh Negara termasuk dalam konteks pertambangan harus bermuara pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan pejabat apalagi kesejahteraan para cukong tambang.

Oleh karena itu, kita berharap itikad dan kehendak (politik tambang) dr. Zaini Abdullah tak sekadar "janji angin surga" yang membuat rakyat Aceh terbuai, tapi betul-betul diartikulasikan dengan langkah kongkrit bagi kesejahteraan seluruh rakyat Aceh.

Duhai Sayang

Posted: 20 Aug 2012 11:17 AM PDT

Ketika Pilihan Melambatkan Indah Pada Waktunya

Posted: 20 Aug 2012 11:17 AM PDT

Ajarkan Bule Itu Bahasa Indonesia

Posted: 20 Aug 2012 11:17 AM PDT

Tuban,Seorang anak asli Tuban sedang berbelanja di sebuah mini market, di salah satu daerah industri di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Siang hari, Minggu (18/7), Secara kebetulan dia bersenggolan dengan seorang Warga Negara Asing di dalam mini market tersebut.
WNA yang merupakan pegawai salah satu proyek itu sontak meminta maaf dengan bahasanya, "i'm sorry boy". anak itu pun menjawab, Maaf, maaf, kalau jalan lihat - lihat dong, kamu cari apa mister.?.

Kalau cari makanan di sebelah sana, bukan di sini.
Mendengar jawaban anak muda itu, WNA tersebut hanya melongo dungu dan sesekali menjawab bingung, ha.?, ha.?, what do you say.?. Sedangkan anak muda itu masih terus ngomong dengan bahasa indonesia. Bule proyek itu pun semakin terlihat dungu dan jengkel.
Sebentar kemudian, datang orang pribumi yang merupakan penterjemah bahasa si bule. Dengan tertunduk - tunduk dan berlarian kecil, orang itu berkata dengan nada super hormat dan super takut kepada sang bule, i'm sorry mister, what happen, something wrong.???. Sang Bule pun mendongakkan kepala memberi isyarat mengarah pada sang pemuda.
Penerjemah itu pun berbicara pada pemuda Tuban tersebut, "Ada apa mas.?, apa yang terjadi.? maaf ini orang Australi, tidak bisa bahasa Indonesia," kata penterjemah itu.
Melihat tingkah penterjemah itu yang tunduk - tunduk kepada bule proyek tersebut, Anak Tuban yang sebenarnya juga mahir berbahasa Inggris itu pun 'memandang berat'. Kemudian dengan nada kecil dia berkata, "Mas, ini jaman sudah merdeka. Sampeyan kok membiarkan diri sampyan terjajah WNA itu hanya karena proyek, dan seolah -olah mengajari kita semua terus terjajah. Ajarkan Bule itu bahasa Indonesia, suruh orang Australi ini belajar bahasa Indonesia, dan bicara bahasa Indonesia, karena dia hidup di Indonesia, bahkan sedang cari hidup di negara ini."
"Aku kasihan melihat sampeyan mas, jaman sudah merdeka kok masih jadi budaknya orang asing, dijajah kok dinikmati" pemuda itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan sang Bule dengan penerjemahnya yang diam tertegun. (im)

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar