Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 14 Agustus 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Semangat Pemuda Desa Menyambut Idul Fitri

Posted: 14 Aug 2012 11:27 AM PDT

Walaupun berpuasa, tidak makan dan minum seharian. Hal itu tidak menyurutkan semangat pemuda di kampung saya yakni, Sungai Buluh, Desa Batu Limau, Kundur, Karimun, Provinsi Kepri membangun pintu gerbang dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri ini.

Bagi puluhan pemuda itu, tidak lengkap jika tidak membuat gerbang Idul Fitri yang tinggal satu minggu ini. Yang nantinya gerbang itu pada saat 27 Ramadan hingga Malam menjelang 1 Syawal akan dihiasi dengan ratusan lampu minyak tanah.

Dari pantauan, tidak hanya para pemuda Sungai Buluh, namun hampir seluruh wilayah Desa, perkampungan hingga kelurahan tidak mau ketingalan, mereka berlomba-lomba membuat pintu gerbang. Berbagai keunikan dan seni dihiasi lukisan maupun bulan sambit hingga kubah masjid ditampilkan pemuda-pemuda sekitar di Kundur ini.

"Membuat pintu gerbang sudah budaya kami disini dalam rangka menyambut Idul Fitri," ujar pemuda Desan Sungai Buluh, Saipul.

Guru Pendidikan Agama Islam salah satu SMP di Kundur itu mengatakan, pintu gerbang yang dibangun itu nantinya akan dihiasi lampu dari minyak tanah yang sudah disiapkan sekitar ratusan lampu.

"Nanti, seluruh jalan hingga pintu gerbang ini akan dipasang lampu itu. Kami membangun gerbang ini dari seluruh kayu dari pohon kelapa," tambah Saipul.

Mereka mengangap pembuatan pintu gerbang sudah menjadi tradisi masyarakat saat hari raya.

Namun para pemuda yang membangun pintu gerbang menyambut Idul Fitri tidak mengetahui makna dari gerbang Idul Fitri itu.

"Iyah yah, tak tahu juga makna dari gerbang itu. Dan kami melakukan itu sudah berlangsung turun temurun," tambahnya.

Menurut cerita-cerita yang tersebar luas di masyarakat, pembuatan pintu gerbang hari raya Idul Fitri itu diangap sebagai jalan baru kehidupan manusia untuk menuju kearah yang lebih baik.

Bahkan pintu gerbang itu juga diangap sebagai gerbang kebaikan. Artinya manusia setelah melewati gerbang itu harus menjadi bersih dan suci dari dosa-dosa. Itulah tradisi dan budaya yang meluas di masyarakat.

Mungkin tidak hanya di Kundur, namun dikota-kota besar pun ada melakukan tradisi pembuatan pintu gerbang. Dan inilah salah satu mozaik/ budaya, tradisi yang masih kental di pertahankan. Bahkan pemerintah juga sering melakukan lomba pintu gerbang Idul Fitri.

Kedatangan 1 Syawal hari yang dikenal umat muslim sebagai hari Fitri/ suci tampaknya tidak mau dilewatkan begitu saja anak-anak muda di desa hingga perkampungan itu.

Tidak hanya mempersiapkan membuat pintu gerbang hingga mengecat masjid. Bahkan yang cukup menariknya adalah membuat kue-kue untuk lebaran Idul Fitri. Bukan hal tabu lagi dimata umat muslim khusunya di Kundur mungkin di seluruh Indonesia, hari raya Idul Fiti mesti disambut dengan kemeriahan. Namun tentunya kemeriahan itu bukanlah kemewah-mewahan.

Bahkan menariknya setelah berpuasa satu bulan, tidak lengkap jika tidak merayakan Idul Fitri dengan orangtua bahkan sanak-saudara. Selamat Hari Raya Idul Fitri

Tips Meraih Malam Lailatul Qadar

Posted: 14 Aug 2012 11:27 AM PDT

Dr. Dito Anurogo, dokter online, penemu Hematopsikiatri, penulis buku dan ebook, pecinta budaya-sastra-seni-filsafat, yang pernah aktif di FLP (Forum Lingkar Pena) Semarang dan Member of IFMSA (International Federation of Medical Students' Associations). Prestasinya: pernah menjadi satu-satunya delegasi Indonesia untuk INTERNATIONAL TRAINING EXCHANGE PROGRAMME di Hungaria, satu-satunya Delegasi Indonesia untuk riset di Italia. Tulisannya menghiasi rubrik Kesehatan Suara Merdeka. Pernah juga menjadi Nominator Lomba Penulisan Esai Ilmiah Populer Harun Yahya International Award 2003. Delegasi SMU...

Tips Meraih Malam Lailatul Qadar

Oleh: Dito Anurogo

Dengan Nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

  1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan (lailatul qadar).
  2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (lailatul qadar) itu?
  3. Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan.
  4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
  5. Malam itu (penuh) kesejahteran sampai terbit fajar.

(QS Alqadr 97: 1-5)

Setiap muslim tentulah merindukan malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bila seorang muslim mendapatkannya, maka ia seolah telah beribadah selama lebih dari 80 tahun. Subhanallah

Maka tidaklah heran, banyak muslimin dan muslimah yang beriktikaf di masjid, berbuat kebaikan, tadarus Quran, terutama di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, demi meraih malam lailatul qadar.

Sahabatku semuanya, bila kita berupaya mendapatkan malam lailatul qadar, maka Insya Allah kita akan dimudahkanNya. Berikut ini kami uraikan tips bagaimana meraih dan mempertahankan keberkahan malam lailatul qadar. Agar mudah diingat, kami gunakan mnemonic (singkatan cerdas) "LAILATUL QADAR".

  1. Laluilah hari-hari dalam hidup dan kehidupanmu dengan tenang dan penuh cintakasih. Tebarkanlah kedamaian di hati umat manusia. Hindari pikiran penuh prasangka (buruk) serta hati yang selalu membenci. Sahabatku, lihatlah, betapa kebencian telah membuatmu berlaku tidak adil. Kebencian telah membutakan matahatimu dan membuatmu merendahkan saudaramu sendiri.
  2. Allah selalu menyertai kita. Bila prinsip ini telah tertanam begitu kuat di dalam hati, maka apa yang membuatmu, takut, ragu, khawatir, atau bersedih hati, sahabatku?
  3. Ingatlah selalu pada kematian dan hari kebangkitan. Prinsip ini akan membuat kita selalu berbekal dan bersiap diri di dalam menanti kematian. Kematian akan kita sambut dengan senyuman, seolah kita akan bertemu sang Kekasih. Hanya melalui pintu gerbang kematian dan memasuki kerajaan Kebangkitan, maka kita dapat meraih Keabadian.
  4. Letakkanlah dan sandarkanlah semua persoalanmu, juga permasalahan hidupmu hanya kepada Allah. Hendaklah engkau selalu meminta yang terbaik menurut Allah, bukan sesuai kehendakmu sendiri. Sebab apa yang baik menurutmu, belum tentu baik di mata Allah. Tidakkah engkau menyadari hal ini, sahabatku?
  5. Allah-lah satu-satunya tempat bergantung dan berharap. Hendaklah kita berhenti berharap kepada manusia, sebab ini akan mengotori jiwa kita, dan menghalangi kita untuk berjalan menuju Kesejatian hidup nan abadi.
  6. Tetaplah berada di jalan Cahaya, jalan Kebenaran, jalan Keabadian, jalan yang Terang-benderang, jalan yang membimbing kita menuju Ilahi.
  7. Upaya atau usaha untuk meraih malam lailatul qadar hendaklah diikuti dengan ketulusan hati, kebeningan nurani, dan kebaikan budi-pekerti. Bila hanya diselimuti oleh ambisi duniawi, maka kita hanya akan memperoleh ilusi, bukan ridha Ilahi. Hanya manusia berhati cahaya yang akan meraih kelembutan cahaya Ilahi di malam lailatul qadar.
  8. Lemahnya tubuh dan jiwa manusia itu oleh karena terlalu bernafsu mengejar duniawi. Ketahuilah sahabatku, malam lailatul qadar itu akan menghindari mereka yang disibukkan hawa nafsu dan syaitan dalam meraih duniawi. Pantaskah kita mengejar kenikmatan sesaat dan melupakan kenikmatan abadi?
  9. Quran, hadits, dan assunnah dijadikan pedoman hidup. Hiasilah setiap malam kita dengan membaca dan mengkaji (makna) Quran serta mengaplikasikannya, bukan hanya untuk menyambut hadirnya malam lailatul qadar, melainkan setiap hari di dalam kehidupan kita. Hidupkanlah setiap pagi kita dengan hadits dan siang kita dengan assunnah.
  10. Allah menjadikan segala sesuatu itu tiada percuma. Sahabatku, hendaklah engkau renungkan ciptaanNya dan pelajarilah setiap hikmah di balik setiap kejadian dan peristiwa.
  11. Dirikanlah shalat malam, dawamkanlah (biasakanlah) untuk selalu dalam kondisi berwudhu atau bersuci. Inilah kunci untuk menghidupkan hati, mengasah nurani, serta memertajam intuisi.
  12. Allah telah menganugerahi nikmat yang berlimpah kepada umatNya. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang akan engkau dustakan? Selalu bersyukur, dalam bahagia maupun derita, inilah rahasia manusia cahaya.
  13. Raihlah ridha Allah, melalui ridha orang tua. Kasihilah keduanya sebagaimana mereka telah mengasihi kita di waktu kita kecil.

Demikian sahabatku, semoga Allah berkenan memberikan anugerah, rahmat, karunia, hidayah, dan ridaNya kepada kita semua melalui malam lailatul qadar. Amin.

Dito Anurogo adalah dokter umum, alumnus Fakultas Kedokteran UNISSULA (Universitas Islam Sultan Agung) Semarang dan Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam (PPMIA) Sukoharjo.

Siapa yang menilai tulisan ini?

Malam Toksi Toksong

Posted: 14 Aug 2012 11:27 AM PDT

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Gemar membaca koran, majalah, buku macam-macam, novel, buku-buku tentang Islam. Suka nonton sepakbola, bulutangkis. Senang berwisata bila ada duit. Kadang-kadang menulis.

REP | 15 August 2012 | 01:13 Dibaca: 0   Komentar: 0   Nihil

Shalat Tarawih setelah shalat Isya berjamaah pada bulan Ramadhan, selalu ramai diikuti jamaah dari lingkungan setempat, terutama pada seminggu pertama Ramadhan.  Pada minggu kedua dan seterusnya di beberapa mushalla dan masjid jamaah berkurang, mungkin melakukan shalat Tarawih di rumah.  Shalat Tarawih memang boleh dilaksanakan sendiri di rumah.

Pada tahun 1960an di sebuah mushalla di salah satu RT di Kampung Kebon Pedes,  Bogor,  pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan atau disebut juga 'malem lilikuran', maksudnya hari ke 21 disebut 'salikur', malam ke 22 disebut dua likur dan seterusnya, ada tradisi unik, yang mungkin maksudnya untuk menyemangati jamaah, terutama remaja dan anak-anak agar tetap rajin shalat Tarawih berjamaah di mushalla.

Tradisi unik yang saya maksud dahulu disebut malam Toksi dan Toksong.   Pada malam yang disebut Toksi, ibu-ibu sekitar mushalla mengirim macam-macam makanan ke mushalla, untuk dimakan jamaah bersama-sama setelah shalat Tarawih selesai.   Pada malam berikutnya disebut malam Toksong, pada malam ini tidak ada makanan tersedia setelah shalat Tarawih.  Malam Toksi dan Toksong berselang-seling sampai akhir Ramadhan.

Tradisi malam Toksi - Toksong selain membuat jamaah muda bersemangat -khususnya pada malam Toksi-, ternyata ada dampak negatifnya, pada malam Toksong banyak jamaah remaja dan anak-anak, termasuk saya sering absen … ha…ha….ha…  dasar masih anak-anak kalau ada hadiah makanan ramai ke musalla.

Tradisi unik ini masih membekas di benak saya dan kabarnya sekarang malam Toksi - Toksong sudah dihapus dan diganti menjadi malam Toksi sepanjang bulan Ramadhan.  Bedanya dulu makanan disediakan untuk dimakan setelah shalat Tarawih, sekarang makanan disediakan untuk berbuka puasa.  Nama Toksi - Toksong pun sudah hilang ditelan zaman, barangkali saya satu-satunya pelaku sejarah yang menuliskan kenangan malam Toksi - Toksong.


Siapa yang menilai tulisan ini?

Urip Mung Mampir Poso

Posted: 14 Aug 2012 11:27 AM PDT

Urip mung mampir ngombe. Itulah sebaris pitutur Jawa yang sepertinya telah cukup menusantara dan menjadi falsafah hidup bangsa. Hidup itu cuma mampir sebentar, sekedar untuk minum seteguk air. Begitu kira-kira terjemah bebasnya. Menurut KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), falsafah itu dibuat oleh para leluhur kita berdasarkan pengalaman dan segala pernak-pernik keseharian di sekitar dunia kesumuran. Dulu, para leluhur selalu membuat sumur di depan rumah mereka. Saat ini masih tetap ada yang beramal demikian. Di Klaten, tepatnya di daerah bukit Jabalkat, saya sering menyaksikan sumur beberapa keluarga yang lokasinya berada di depan rumah mereka.

Keduanya, rumah dan sumur, hanya dijaraki oleh dua hingga tiga meter ruang terbuka yang sepi dari segala bangunan dan difungsikan sebagai tanah lapang mini. Nah, biasanya mereka melengketkan sebuah gentong tepat di atas atau di samping mulut sumur itu. Tindak tersebut dilakukan agar air sumur tersebut mudah diraih, dipakai, dan bahkan langsung diminum tak hanya oleh si empunya rumah, tapi juga oleh siapa saja yang lewat di depan rumah tersebut. Dengan kata lain, siapa saja diperbolehkan untuk meneguk air dari gentong itu. Sebagaimana ia boleh langsung menimba air dari sumur itu.

Fakta tersebutlah yang kemudian menjadi model atau analogi bagi kehidupan. Ia mengendap dalam balutan kata-kata sarat makna; urip mung mampir ngombe. Bahwa hidup itu tak ubahnya seperti orang yang mampir untuk minum seteguk air. Kata "mampir" di sana mengisyaratkan bahwa kehidupan di dunia memang sekedar mampir atau singgah. Mampir berarti bahwa tempat yang kita hampiri bukanlah milik kita. Karena itu, kita harus ingat untuk tak mampir sebebas-bebasnya. Kita harus menghormati empunya rumah, yang menyuguhi kita air untuk diteguk, dan yang menyilakan kita untuk sebentar duduk. Setelah itu, tentu kita harus cepat pulang. Tak baik mampir lama-lama. Namanya juga mampir.

Lalu, selagi kita mampir itupun, kita tentu hanya punya hak untuk minum air barang seteguk. Tak lebih. Kita harus malu untuk minum segentong. Karena memang itu bukan air milik kita. Meskipun si empunya rumah membolehkan kita untuk berlaku demikian. Bila saja saat sepemampiran itu kita disuguhi aneka makanan, kita harus tahu diri; bahwa hak kita dalam persinggahan itu hanya ngombe. Ngombe itu pasti ngombe (minum). Bukan mangan (makan). Sekali lagi, namanya juga mampir.

Kini falsafah itu masih rutin kita dengar. Biasanya ia dijadikan grafiti atau coretan dinding di jalanan. Tak jarang pula ia menjadi bahan guyonan masyarakat. Anak-anak muda sering memelesetkannya menjadi semacam pembenaran atas tindakan bermabuk-mabukan. Pernah saya dengar beberapa kawan menambahi, bahwa hidup itu tak hanya mampir ngombe, tapi juga mampir nangkring. Bolehlah. Saya tahu ia hanya bercanda. Asal jangan menghina. Di zaman ini, zaman modern, banyak orang yang tanpa sadar menghina ajaran luhur tradisi. Padahal, tanpa mereka tahu, ajaran luhur itulah yang menjaga kelangsungan budaya bangsa ini sepanjang masa.

Memang, falsafah hidup urip mung mampir ngombe itu berlakunya di zaman dulu. Tapi, seperti disebut di atas, di masa kini ia juga masih berlaku. Hanya saja ia harus mengalami sedikit revisi. Mengingat kehidupan ini saat ini telah merongsok serongsok-rongsoknya. Sehingga kita tak bisa lagi mampir di sini untuk ngombe, tapi untuk poso (puasa). Dengan kata lain, urip bukan lagi untuk mampir ngombe. Tapi untuk mampir poso. Urip mung mampir poso.

Pada masa lalu, di masa saat leluhur kita masih sugeng, dunia tak terlalu terlihat kerusakannya. Sistem kehidupan saat itu berjalan di atas rel harmoni. Baik manusia, alam semesta, dan segala tata-tertib kehidupan masih bersinggungan dalam keselarasan nada dan kenikmatan keseimbangan. Dalam bahasa ilmiah, dunia atau kehidupan saat itu belum mengalami anomali, yaitu semacam kerusakan beberapa elemen sistem yang menyebabkan sistem tersebut tak berjalan sebagaimana mestinya.

Berbeda dengan kala ini, zaman ini, era ini, abad ini, semuanya serba sudah rusak. Sudah mengalami anomali. Bentuk anomali yang paling nyata terlihat dari begitu tebalnya polusi yang mengitari dan melingkungi alam kehidupan kita. Banyaknya pengendara sepeda motor, pengontel, dan para pejalan kaki di kota besar seperti Jakarta yang memakai masker untuk menjaga keamanan nafasnya, menjadi bukti bahwa kehidupan kita ini sudah terlalu akrab dengan polusi. Udara yang kita hirup telah tak segar lagi.

Ini belum lagi bila kita menyebutkan satu-persatu fakta penyerangan besar-besaran terhadap lingkungan alam. Saat ini telah ada berhektar-hektar tanah-sawah anak bangsa yang "hilang". Berganti dengan sentra hiburan dan gedung perbelanjaan maharaksasa yang ternyata cukup berperan dalam menjadikan kota kita sebagai pusat kemacetan. Dalam kemacetan itu, jangan ditanya berapa kubik polusi udara yang masuk ke paru-paru kita tanpa terasa.

Kata kunci untuk mengakui kerusakan kehidupan itu adalah polusi. "Polusi" di sini, selain memang menunjuk pada pengertian wujudnya sebagai polusi, juga merangkap pengertian simbolis, yaitu "polusi" sebagai gambaran kehidupan kita yang kian hari kian remuk. "Polusi" yang paling populer saat ini adalah perilaku dan tindak-tanduk korup, budaya menyantap rezeki tak halal, syubhat (meragukan), dan cenderung diperoleh dengan membolehkan atau menghalalkan segala cara. Polusi tersebut tak hanya terjadi di tingkat atas, tapi juga sampai ke bawah-bawah.

Maka saat ini, saat kita tengah berpuasa ini, di dalam hati kita perlu ditegaskan bahwa hidup itu tak lagi untuk mampir minum seteguk air. Tapi untuk mampir berpuasa. Urip mung mampir poso. Hidup itu cuma mampir untuk berpuasa. Dengan kata lain, puasa adalah cara terbaik untuk melawan "polusi" atau kerusakan peradaban ini. Sekali lagi, saat ini urip mung mampir ngombe sudah tidak mungkin lagi dipakai sebagai sikap untuk menghadapi remuknya kehidupan. Ngombe di abad penuh kecurangan dan era sarat korupsi ini berarti kita telah mengikutkan diri ke dalam kecurangan dan korupsi tanpa kita sadari. Ngombe, walau seteguk, akan merusak kemurnian darah keturunan kita. Padahal kita rutin berdoa untuk selalu diberikan keturunan yang soleh, baik, dan berbakti. Ngombe, walau secimit, akan menyebabkan kita terperosok ke dalam jurang penuh mayat berbau busuk.

Jadi, kesimpulannya adalah; urip mung mampir poso. Hidup adalah hanya untuk mampir sebentar sambil berpuasa. Puasa artinya menahan, mencegah, dan menghalau diri untuk tak ikut-ikutan rusak, tak tergolong ke dalam kelompok pecandu kecurangan, dan tak terdata di dalam daftar orang-orang yang dimurkai Tuhan. Poso atau puasa artinya kita bersumpah untuk tak akan makan atau menyantap kehidupan yang sudah rusak ini. Maka, saat banyak manusia rusak yang sudah punya "rumah mapan" di sini mengajak kita mampir untuk ngombe-ngombe di rumahnya, kita harus bilang bahwa kita sedang "berpuasa".

Urip mung mampir poso, dudu mung mampir ngombe. Hidup itu ya cuma mampir untuk berpuasa, bukan untuk minum-minum. Wallahu a'lam bil-urip mung mampir poso.

Siapa yang menilai tulisan ini?

Satu sisi wajah Jakarta

Posted: 14 Aug 2012 11:27 AM PDT

OPINI | 15 August 2012 | 01:10 Dibaca: 4   Komentar: 0   Nihil

Sejak sekitar pertengahan tahun 1990 an saya sudah merantau ke Jakarta. Awal tahun 2000-an sudah mengantongi KTP Jakarta sampai sekarang. Menurut peraturan Forum Betawi Rempug, saya sudah boleh menjadi anggota FBR (he he he bercanda). Saat ini suasana Jakarta dipanaskan oleh eskalasi suhu politik jelang Pemilukada tahap kedua antara petahana dan walikota Solo. Saya hanya ikut menonton dari jauh karena sedang merantau dari Jakarta. Sebagai warga Jakarta, saya memiliki berbagai pengalaman tentang Jakarta dan hiruk pikuknya. Jakarta merupakan lembaran kisah yang tak habis-habisnya. Begitu banyak orang yang mengadu nasib, sukses, ataupun gagal di Jakarta.

Saya tidak akan menulis tentang politik Jakarta, namun akan menuliskan beberapa pengalaman selama berada di Jakarta. Semoga kejadian yang kurang nyaman yang saya alami selama di Jakarta, bisa berkurang karena kerja keras Gubernur terpilih nanti. Jakarta telah menjadi tempat bekerja dan domisili saya,

Terminal dan Naik Metromini

Terminal di Jakarta masih banyak yang tidak terkondisikan dengan baik, akibatnya penumpang malas masuk ke terminal. Hal ini disebabkan karena terminal bau, banyak pedagang kaki lima, banyak calo, banyak pengamen, dan sering terjadi kejahatan pencopetan, dan sebagainya. Petugas DLLAJR dan Polantas sepertinya tidak berdaya mengatur moda angkutan dan terminal. Menjelang Lebaran di Terminal Kampung Rambutan mencari bus untuk mudik ke Bandung harus hati-hati. Karena ketika masuk ke bus banyak orang-orang yang ikut-ikutan masuk dan berdesak-desakan di di pintu masuk, tetapi tidak benar-benar pergi ke Bandung, itulah kaum kriminal terminal.

Metromini jurusan Kampung Rambutan Blok M merupakan salahsatu moda transportasi yang sering saya kendarai, sejak pertama ke Jakarta sampai awal 2011. Metromini nomor 76 melewati jalan tol sehingga ongkosnya lebih mahal daripada yang tidak masuk tol. Pengalaman naik metromini ini sama saja sejak dulu. Penumpang berjejal bagai ikan pindang, bahkan pak sopir sampai miring-miring karena harus berbagi tempat duduk dengan penumpang. Selama lima belas tahun lebih nasib pengguna Metromini 76 tidak berubah, berpanas-panas dengan moto 'biar cepat asal selamat'. Selain metromini, Mayasari, PPD, Kopaja, Damri dan yang lainnya kondisinya tidak jauh berbeda. Harus selalu waspada, dan perjalanan bisa berhenti di tengah jalan karena penumpang di-oper ke kendaraan lainnya.

Pengalaman tawuran pelajar dan amuk massa

Kejadian ini mungkin sudah berkurang, namun masih saja terjadi secara sporadis di berbagai tempat terutama di pinggiran Jakarta. Siswa SMP atau SMA memiliki 'musuh turunan' untuk saling melempar batu dan lainnya. Mencegat bus ditengah jalan dan menumpang bus dengan tanpa membayar. Pengalaman saya yang menegangkan adalah ketika terkepung diantara dua massa anak sekolah yang sedang bertawuran. Waktu itu saya baru setahun tinggal di Jakarta, wah rasanya seperti setengah mati, tegang sekali. Mudah-mudahan kegiatan pelajar seperti ini bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini sudah menjadi patologi sosial, penyakit sosial, karena itu penanganannya harus benar-benar melibatkan semua pihak terkait.

Satu hal lagi yang bisa meletup tanpa terkendali adalah amuk massa. Pernah di di dekat tempat saya ada angkutan kota menabrak pejalan kaki. Sopir dan kendaraan menjadi korban amuk massa masyarakat sekitar yang biasanya tidak beringas. Tetapi karena ada kejadian, tiba-tiba saja semua orang melampiaskan kemarahannya dengan melakukan kekerasan terhadap kendaraan dan sang sopir. Kejadian ini mencirikan apa? Saya kurang begitu yakin jawabannya.

Pengalaman berurusan dengan birokrasi pemerintahan

Birokrasi di kelurahan di Jakarta berbeda dengan di daerah lainnya. RT maupun RW kadang hanya bisa ditemui warga pada malam hari karena siang harinya sibuk bekerja. Untuk membuat KTP di Jakarta bisa dengan cara cepat atau cara lambat. Kalau cara lambat dengan mengurus prosedur memiliki KTP Jakarta yang memakan waktu cukup lama. Kalau cara cepat dengan menyediakan sejumlah dana, maka KTP akan segera diproses. Munculnya isu terorisme membuat proses pembuatan KTP Jakarta dengan cepat ini semakin susah dilakukan oleh para oknum. Mudah-mudahan sekarang semuanya cepat, tepat dan tanpa pelicin.

Perbedaan demografis dan sosial

Jakarta dengan berbagai wilayahnya memiliki perbedaan kondisi sosial budaya. Jakarta Selatan masih banyak pohon-pohon menghijau, Jakarta Utara beraroma pelabuhan yang gersang, Jakarta Timur yang masih kurang terbangun, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat yang sangat metropolis. Kepulauan Seribu ? wah saya belum pernah kesana, katanya sih penduduknya ramah-ramah dan pemandangannya indah-indah. Saya tinggal di Jakarta Timur, disini pengaruh budaya Jawa atau Sunda terasa di lingkungan permukiman. Condet di Jakarta Timur adalah wilayah dengan pengaruh Betawi Arab yang cukup kuat. Secara umum warga Jakarta cukup ramah untuk diajak berkomunikasi asalkan kita mau membaur dengan mereka.

Naik Ojek, Sepeda, Transjakarta atau Taksi

Taksi di Jakarta jumlahnya ribuan, dan mungkin jumlahnya terus bertambah. Tarif taksi ada dua jenis, tarif atas dan tarif bawah. Namun kadang-kadang ada taksi tarif bawah tetapi argometernya bergerak lebih cepat, sehingga ongkos kita mahal, bahkan kadang lebih mahal dari taksi tarif atas. Baiknya cari taksi yang terkenal dan memiliki reputasi yang baik, kalau mau aman. Beberapa taksi bisa dipesan dengan telepon. Ketika sedang terburu-buru menggunakan taksi adalah alternatif berkendara di Jakarta.

Kalau lebih terburu-buru lagi, naik ojek adalah pilihan saya. Tentu saja biayanya bisa lebih mahal daripada taksi. Beberapa abang tukang ojek menyediakan nomor telepon untuk di es em es atau ditelepon. Dijamin dengan moda angkutan ini kemacetan bisa dilalui. Meskipun kadang-kadang harus melawan arus, menyalip mobil dari arah kiri atau kanan, masuk ke perkampungan, masuk ke pelataran kantor atau toko, masuk ke kompleks, serta jalan-jalan 'tikus' yang tidak pernah sama sekali dilewati. Resikonya adalah harus siap-siap rem mendadak dan kadang diomeli orang.

Transjakarta yang paling nyaman adalah trayek dari Ragunan ke Harmoni, walaupun kadang-kadang berjejalan di jam sibuk. Setelah saya coba, rute lainnya kurang menyenangkan. Apalagi jalur ini dipisahkan dengan kendaraan lainnya sehingga bisa mengurangi kemacetan dan mempercepat sampai ke tujuan.

Naik sepeda untuk berangkat kerja juga sudah pernah saya jalani pada dua tahun terakhir di Jakarta. Lebih sehat namun sayang kendaraan lain kurang bersahabat. Beberapa kali saya hampir terserempet oleh motor dan mobil. Jalur sepeda di Jakarta sepertinya hanya dipandang sebelah mata oleh pengguna kendaraan lain.  Itulahsatu wajah Jakarta yang kukenali. Wajah menariknya juga banyak. tapi mungkin akan bosan kalau itu diperbincangkan terus :)

Wuhan, 2012-08-15

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar