Kompasiana
Kompasiana |
- Jangan sampai anda ditolong oleh orang kafir….
- Indonesia Rayap
- Sungai Dua dan Sepotong Ironi Tanah Merdeka
- Puasaku Hanya Tersisa Lapar dan Dahaga
- Akankah Pemilihan Umum Kepala Daerah di Seluruh Tanah Papua (PEMILUKADA PAPUA) Melahirkan Pemimpin Daerah Pro Rakyat Papua
Jangan sampai anda ditolong oleh orang kafir…. Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT OPINI | 17 August 2012 | 00:34 Dibaca: 0 Komentar: 0 Nihil Fenomena kafir-mengkafir orang lain di luar ajaran tertentu, semakin banyak saja. Ada yang mengatakan "kafir" karena orang lain memeluk keyakinan di luar ajaran agamanya. Ada juga yang mengatakan "kafir" kepada kaum sesamanya dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu hal. Yesus mempertegas Hukum Taurat di dalam Lukas 10:25-28 tentang hukum terutama di dunia ini, yakni hukum Kasih yang berbunyi "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Bagi saya pribadi, saya tidak mau hidup dalam pengkotak-kotakan kafir / non-kafir…karena saya tidak mau paranoid ketika nanti ada -meminjam istilah- orang kafir yang membantu saya…. Salam. Siapa yang menilai tulisan ini? ARTIKEL TERKAIT |
Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT Saya tidak sedang memplesetkan lagu Indonesia Raya. Ini murni tentang Indonesia, dan tentang rayap-rayap yang hidup di Indonesia. Baiklah, akan saya mulai. Saya tidak tahu kenapa hewan yang mirip semut ini diberi nama rayap. Mungkin karena cara berjalannya yang merayap, dengan jumlah koloni yang banyak. Sebagaimana pada koloni semut atau pada lebah sosial. Pantaslah jika dalam bahasa Inggris, rayap disebut juga "white ant" atau semut putih. Dalam koloni, rayap tidak memiliki sayap. Namun demikian, beberapa rayap dapat mencapai bentuk bersayap. Mereka lalu keluar dari sarangnya secara beramai-ramai di awal musim penghujan. Orang-orang di desa saya memanfaatkan fenomena ini sebagai pertanda perubahan ke musim penghujan. Dan ada nama tersendiri untuk rayap bersayap, yaitu laron. Adalah sangat mudah untuk mengundang datangnya para laron-laron ini. Kita hanya butuh cahaya lampu yang terang, maka dengan sendirinya mereka akan datang berbondong-bondong. Di wikipedia, saya mendapati kenyataan bahwa rayap adalah jenis serangga yang merugikan. Rayap adalah serangga sosial anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting kehidupan manusia. Rayap bersarang di dan memakan kayu perabotan atau kerangka rumah sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Rayap masih berkerabat dengan semut, yang juga serangga sosial. Di sebuah portal berita online (www.suarapembaruan.com) bertanggal 18 April 2012 ada juga tertulis tentang kerugian yang dihasilkan oleh rayap. Rayap hingga kini dikenal sebagai musuh kayu dan bangunan yang menakutkan. Diperkirakan kerugian akibat serangan rayap di Indonesia setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 250 miliar. Tak hanya di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap juga dialami Malaysia. Kerugian negara itu mencapai 50 juta ringgit Malaysia dan di dunia mencapai US$ 22 miliar. Wew, ternyata rayap ada dimana-mana. Serangga yang mempunyai daya jelajah yang cukup jauh dan berpopulasi tinggi ini seperti tak mengenal kata berhenti menggerogoti kayu, terutama kayu mati. Wajar jika akhirnya orang-orang mencari cara yang paling tepat (dan cepat) untuk menghadapi rayap. Sayangnya, usaha untuk mengurangi kerugian akibat serangan rayap masih dilakukan masyarakat dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya yang tidak ramah lingkungan. Bagaimana cara menghadapi rayap? Mari kita tengok ulang slogan kembali ke alam. Misalnya, memanfaatkan tumbuhan alam yang berpotensi untuk mengendalikan serangan rayap. Misalnya : Bintaro, Kecubung, Nimba, Srikaya, Sirsak, Cengkeh, Tembakau, Pinang, Keluek, Saga, Kemukus dan Serai. Atau membuat pertahanan rumah yang kuat terhadap rayap, di bagian fondasi. Yaitu dengan memperlakukan tanah di bawah dan di sekitar fondasi dengan termitisida yang tahan pencucian serta memiliki afinitas dengan tanah. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah mempergunakan kayu yang awet, atau kayu yang telah diawetkan dengan bahan pengawet anti rayap. Jika masih terserang rayap, kita gunakan saja cara pengendalian yang ramah lingkungan, seperti pengumpanan dan pengendalian koloni dengan menggunakan insektisida penekan pertumbuhan kutikel seperti heksaflumuron (suarapembaruan). Intinya adalah tidak memberi kesempatan kepada rayap untuk bekerja. Karena kita tahu, rayap adalah serangga sosial yang memiliki naluri bekerja (perusak) tingkat tinggi. Indonesia Rayap Indonesia rayap. Atau, Indonesia dan Rayap. Sahabat kompasianer pasti sudah bisa menebak apa yang akan saya tuliskan selanjutnya. Ya benar, saya mengibaratkan sosok koruptor seperti rayap-rayap yang saya jlentrehkan di atas. Banyak cara untuk menghadapi koruptor, sama seperti ketika kita menghadapi rayap. Kita bisa saja misalnya, memulung koruptor rayap untuk dijadikan makanan kodok, ayam, cicak, atau lele. Tapi ada yang lebih sederhana. Mempergunakan kearifan lokal (regional dan nasional) dan tidak memberi kesempatan pada koruptor untuk 'bekerja'. Berikut adalah cara yang lebih sederhana lagi. Koloni rayap dalam tanah bisa berjumlah ratusan ribu hingga jutaan dan dipimpin oleh seekor ratu rayap yang terlindungi oleh ribuan rayap tentara dalam bangunan kokoh yang tersusun dari tanah. Kita hanya tinggal mencari dimana sang ratu berada. Eh, cara yang ini tidak sederhana ding, hehe.. Hari ini, 17 Agustus 2012, adalah HUT RI ke-67. Saat yang tepat untuk mengibarkan merah putih lebih tinggi lagi. Dan saat yang pas untuk mengembalikan rayap pada habitatnya. Sudah sewajarnyalah jika rayap menggerogoti kayu yang lapuk. Tapi jika rayapnya berdasi dan menggerogoti uang rakyat, itu baru namanya nggak wajar. Sahabat kompasianer, Salam MERDEKA…! |
Sungai Dua dan Sepotong Ironi Tanah Merdeka Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT Sebuah kapal pompong membawa kami merapat di sebuah dermaga kayu yang mulai rapuh. Anak-anak berlari di dermaga sepi itu. Matahari mulai terbenam di bawah garis cakrawala saat kuinjakkan langkah di Sungai Dua. Dusun mungil ini memiliki nama resmi Kelemantan, tapi Sungai Dua jauh lebih terkenal dari nama resmi pemberian pemerintah itu. Sungai Dua sendiri lebih merupakan nama geografis, karena di dusun ini terdapat pertemuan dua anak sungai. Hinga lekatlah nama sungai dua. Mayoritas penduduknya adalah orang suku hutan yang merupakan satu keturunan dengan suku akit di Pulau Rupat. Petang yang kian tandas membuat pandang hanya sekilas pada lampu-lampu minyak yang memancar dari rumah-rumah di sekitar dermaga. Tak ada listrik yang mengaliri dusun ini, hanya beberapa rumah saja yang memiliki mesin listrik. Itupun hanya mereka hidupkan sebelum pukul sembilan tiba. Tak ada yang istimewa di Sungai Dua, hanya kisah tentang perjuangan mereka melawan stigma saja yang terdengar hingga ke ibukota kabupaten. Sekian lama orang-orang di Sungai Dua dilabeli sebagai pembuat onar, pemalas dan juga penjudi. Kadang terpaksa mereka menutupi identitas sebagai orang suku hutan. Karena sebutan itu akan membuat mereka tersingkir dari pergaulan. Mereka kini menyebut diri sebagai orang asli. Label itu diberikan oleh dinas sosial. Dulu mereka bangga disebut Orang Hutan tapi kini itu adalah aib. Secara antropologis, suku hutan memiliki akar sejarah yang sama dengan suku akit. Mereka adalah kelompok manusia yang penuh dedikasi berjuang untuk Kesultanan Siak. Legenda yang melekat pada mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang diberi tugas oleh Sultan Siak Sri Indrapura untuk mengumpulkan kayu-kayu berkualitas guna membangun penggung megah kesultanan. Mereka bahu membahu, sebagian bertugas masuk ke hutan-hutan menebang kayu dan sebagian lagi bertugas merakitkan kayu di sungai-sungai. Mereka yang merakitkan kayu kemudian dikenal dengan suku akit dan yang bertugas menebang kayu dikenal dengan suku hutan. Kesultanan sangat menghargai perjuangan mereka, sehingga mereka diberikan keleluasaan untuk menempati tanah-tanah kosong di bawah kesultanan Siak. Tapi itu dulu, seiring waktu kesetiaan mereka pada tradisi membuat mereka dialienasi dan dianggap terbelakang. Pada akhirnya sebagai sebuah strategi mempertahankan diri, banyak dari mereka yang menikah dengan pendatang keturunan Tionghoa. Setelah menikah dengan keturunan Tionghoa, biasanya secara sosial mereka lebih bisa diterima oleh masyarakat luas. Termasuk juga kawin campur dengan orang-orang dari suku Batak atau Melayu. Pelan tapi pasti identitas suku hutan tergerus oleh stigma yang melekati mereka. Anak-anak muda sudah tak mau mengakui identitas kultural mereka. *** Hari ini tepat 67 tahun nusantara kita merayakan kemerdekaannya, sadarkah kita betapa banyak airmata bahkan darah yang tertumpah agar identitas kultural sebagian suku marjinal bisa bertahan. Stigma yang keliru dan ketidak pedulian bangsa ini pada akar identitas telah membuat suku-suku kecil marjinal melepuh ditelan zaman. Sebut saja orang rimba di Jambi dan Sumatera Selatan, Suku Hutan , Orang Akit, Orang Talang Mamak, Orang Bonai dan banyak lagi suku-suku marjinal di Kawasan Sumatera. Mereka hidup di bawah bayang-bayang tirani stigma. Benarkah mereka telah benar-benar merdeka ? Saat identitas mereka diporak poranda oleh cara pandang kita. Suku marjinal di masa orde baru kerap dianggap sebagai "sampah" pembangunan karena dianggap sulit menerima pembangunan. Saat orde baru menggulir program transmigrasi untuk memeratakan penduduk dan mempersatukan bangsa, suku-suku marjinal di Sumatera biasanya resisten, karena segera setelah itu konflik lahan tercipta. Antara suku marjinal yang mengandalkan hidup dari hutan dan transmigran yang haus lahan. Semakin menjadi-jadi kala Hak Guna Usaha (HGU) hutan diberikan ke perusahaan sawit dan juga hutan alam dibuka menjadi HTI (hutan tanaman industri) baik itu karet maupun tanaman semacam akasia. Makin porak porandalah suku-suku marjinal ini. Tanah ulayat mereka direnggut paksa, adat mereka diinjak-injak tiada tara. Tinggallah mereka yang berjuang dalam tirani stigma. Bukan tanpa alasan politis negara melakukan pelabelan tersebut. Suku marjinal dipaksa untuk menerima perubahan, mereka didesak untuk menerima nilai-nilai baru yang tak mereka paham. Sungai dua menjadi saksi betapa kejamnya diskriminasi atas suku-suku marjinal. Hanya dihitung sebagai statistik penduduk tapi tak pernah benar-benar ada dalam percaturan negara. Suku-suku marjinal di Sumatera sekian lama mengandalkan berburu dan meramu sebagai tumpuan penghidupan mereka. Namun ketika mereka kehilangan hutan sebagai ruang hidup, mereka kebingungan melakukan adaptasi. Maka terkesan mereka adalah pemalas yang tak mau bekerja, padahal negara dengan berbagai kebijakan eksploitatiflah yang memenjarakan mereka dalam kemalasan. Tak jauh dari Sungai Dua, sebuah HTI terus menerjang ruang hidup Suku Hutan, tapi kita tak peduli. Karena yang kita tahu selalu tentang investasi. Investasi berarti kemajuan, pendapatan dan harapan. Tapi kita lupa ada airmata yang mengalir dibalik itu semua. Suku hutan di Sungai Dua tak sendiri, ada Orang Rimba yang tergolek lesu di bawah tandan-tandan sawit perusahaan. Ada Orang Sakai yang tanpa sadar diperdaya perusahaan tambang. Ada Orang talang Mamak yang mendapat kebahagiaan semu dari korporasi. Masih ada Orang Bonai, Orang Akit dan berbagai suku-suku kecil majinal yang terhimpit di negeri yang mengku merdeka ini. Sungguh sepotong ironi di tanah merdeka, bernama Indonesia ini. |
Puasaku Hanya Tersisa Lapar dan Dahaga Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT Puasa sebentar lagi lewat tetapi… mengapa aku tetap seperti yang dulu… hanya terasa lapar dan dahaga aku bingung… Katanya setan dibelenggu tetapi buktinya… maksiat tetap menggebu perut tetap buncit badan tetap kaku pikiran tetap kotor mulutku tidak bisa berhenti bergosip tidak bisa menahan menggunjing orang dari kejelekan hingga aib .. belum lagi sifat borosku… Untuk takjil dan baju baru sampai ku lupa pada zakatku … Di kantorpun tetap sama… korupsi tetap idola… komisi jadi pemanis… modal kuat berlebaran Gila kenapa aku tega pada agamaku? pada perintahNya? pada laranganNya? pada nabiNya? Ataukah memang ini sebuah tanda ketika dunia semakin gila aku ikut gila Ketika tiada lagi kesempatan aku akan menyesal ketika tiada lagi bulan puasa aku akan berkaca walaupun aku tahu itu sia-sia Hingga tersisa satu pertanyaan dalam dada Pantaskah aku masuk surga? |
Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT Tahun 2011 - 2012 adalah tahun yang sangat padat terisi dengan agenda Pemilihan Umum baik ditingkat Propinsi, Kabupaten, dan kota diseluruh tanah papua khususnya di Propinsi Papua. Bentuk konflik horisontal pun beranekaragam ada yang dipraktekan dalam bentuk perang mulut, perang urat saraf/tidak nampak wujudnya namun dirasakan dampaknya, perang bersenjata tajam, dan lain-lain. Konflik yang terjadi itu sungguh membinggungkan sebab massa pendukung salah satu kandidat terkadang tidak memahami, mengerti, mengetahui latar belakang persoalan namun karena telah terprofokasi sehingga tega membiarkan dirinya dipukuli atau bahkan terbunuh seperti yang terjadi dikabupaten Puncak Papua, Tolikara, Propinsi Papua Barat, Dogiai, dan mungkin akan menyusul diseluruh kabupaten/kota/propinsi ditanah papua.
Proyek-Proyek Pemerintah Tetap Berjalan, Dana Pengembangan SDM Tetap Diberikan (Bantuan Pendidikan, Penyuluhan, Bantuan Sosial Untuk Modal Usaha, Dll), Pembangunan Fasilitas Umum (Jalan, Jembatan, Rumah Sakit, Terminal, Sekolah, Pengairan, Penerangan, Dll), Dan Lain-Lain.
atau bahkan memperjuangkan hasil keputusan bersama yang baru-baru ini dihasilkan oleh MRP, Tokoh Agaman, Tokoh Masyarakan, dan Tokoh Pemuda yang disimpulkan dalam 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA yang entah kemana rimbanya kini ??,,,, tanpa ada sedikitpun upaya yang dilakukan oleh MRP dalam hal mengejar atau mewujudnyatakan atau bahkan memperjuangkan 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA itu dengan sikap yang jelas yaitu dengan membentuk PANITIA KHUSUS (PANSUS) 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA yang didanai langsung oleh DANA OTSUS sampai pada tingkat NASIONAL INDONESIA dan bahkan dunia INTERNASIONAL agar dapat ter-Realisasi dengan maksimal.
Dengan demikian maka pemilihan MRP jilid ke III alangkah baiknya tidak harus terjadi/dipilih jika akhirnya akan menjadi BUDAK PARTAI dan BUDAK JAKARTA. Akhirnya hanya tersisa sebuah pertanyaan yaitu apakah PEMIMPIN DAERAH ORANG ASLI PAPUA yang telah, sudah, dan akan terpilih itu akan Berpihak Pada Rakyat Papua ataukah sebaliknya menjadi Pembantai Rakyat Papua, dengan menjadi "Budak-Budak Belian" Neu Kolonialis Republik Indonesia (NKRI), dan Kapitalis Indonesia dan Internasional di tanah Papua. ( Oleh : Devisi Advokasi dan HAM Papua) |
You are subscribed to email updates from Kompasiana To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar