Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 16 Agustus 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Jangan sampai anda ditolong oleh orang kafir….

Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT

OPINI | 17 August 2012 | 00:34 Dibaca: 0   Komentar: 0   Nihil

Fenomena kafir-mengkafir orang lain di luar ajaran tertentu, semakin banyak saja. Ada yang mengatakan "kafir" karena orang lain memeluk keyakinan di luar ajaran agamanya. Ada juga yang mengatakan "kafir" kepada kaum sesamanya dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu hal.
Terkadang saya bertanya dalam hati, apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka diri kita mendapatkan pengakuan yang sah / mutlak tentang kebenaran sudut pandang kita? Apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka serta merta kita telah / langsung mendapatkan tiket ke surga? Apakah dengan meng-kafir-kan orang lain maka diri kita serta merta mendapatkan "bintang kehormatan" berupa lingkaran kuning di atas kepala seperti malaikat? Jawabannya bisa anda temukan sendiri di dalam hati nurani anda, bukan dalam akal pikiran anda….

Yesus mempertegas Hukum Taurat di dalam Lukas 10:25-28 tentang hukum terutama di dunia ini, yakni hukum Kasih yang berbunyi "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Dan Yesus mempertegas definisi "manusia" yang dimaksud pada ayat tersebut di Lukas 10:29-37 dengan menceritakan tentang orang Samaria yang baik hati. Disini dengan gamblang Yesus memberikan contoh bahwa jabatan seseorang (imam / pemimpin rohani) dan identitas lahiriah seseorang (lewi merupakan salah satu suku yang mempunyai kedudukan khusus diantara ke 12 suku Israel) tidaklah menentukan perilaku seseorang dalam mempraktekan keyakinannya. Justru sebaliknya, belas kasihan, cinta kasih dan sifat-sifat kemanusiaan bisa saja datang dari kaum yang selama ini bersebrangan / kafir (dalam cerita ini adalah orang Samaria).
Saya percaya bahwa hidup di dalam dunia ini adalah ujian untuk menghadapi kehidupan kekal yang telah menunggu. Dan saya yakin setiap orang pasti mengalami berbagai ujian dengan kadar yang sama, hanya saja bentuk ujiannya yang berbeda (ini opini saya pribadi). Dan salah satu ujian tersebut adalah sudut pandang diri kita mengenai kesadaran pluralitas (baca: kemajemukan masyarakat) selagi kita hidup di dalam dunia ini.

Bagi saya pribadi, saya tidak mau hidup dalam pengkotak-kotakan kafir / non-kafir…karena saya tidak mau paranoid ketika nanti ada -meminjam istilah- orang kafir yang membantu saya….

Salam.

Siapa yang menilai tulisan ini?

Indonesia Rayap

Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT

Saya tidak sedang memplesetkan lagu Indonesia Raya. Ini murni tentang Indonesia, dan tentang rayap-rayap yang hidup di Indonesia.

Baiklah, akan saya mulai.

Saya tidak tahu kenapa hewan yang mirip semut ini diberi nama rayap. Mungkin karena cara berjalannya yang merayap, dengan jumlah koloni yang banyak. Sebagaimana pada koloni semut atau pada lebah sosial. Pantaslah jika dalam bahasa Inggris, rayap disebut juga "white ant" atau semut putih.

Dalam koloni, rayap tidak memiliki sayap. Namun demikian, beberapa rayap dapat mencapai bentuk bersayap. Mereka lalu keluar dari sarangnya secara beramai-ramai di awal musim penghujan. Orang-orang di desa saya memanfaatkan fenomena ini sebagai pertanda perubahan ke musim penghujan. Dan ada nama tersendiri untuk rayap bersayap, yaitu laron.

Adalah sangat mudah untuk mengundang datangnya para laron-laron ini. Kita hanya butuh cahaya lampu yang terang, maka dengan sendirinya mereka akan datang berbondong-bondong.

Di wikipedia, saya mendapati kenyataan bahwa rayap adalah jenis serangga yang merugikan.

Rayap adalah serangga sosial anggota bangsa Isoptera yang dikenal luas sebagai hama penting kehidupan manusia. Rayap bersarang di dan memakan kayu perabotan atau kerangka rumah sehingga menimbulkan banyak kerugian secara ekonomi. Rayap masih berkerabat dengan semut, yang juga serangga sosial.

Di sebuah portal berita online (www.suarapembaruan.com) bertanggal 18 April 2012 ada juga tertulis tentang kerugian yang dihasilkan oleh rayap.

Rayap hingga kini dikenal sebagai musuh kayu dan bangunan yang menakutkan. Diperkirakan kerugian akibat serangan rayap di Indonesia setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 250 miliar.

Tak hanya di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap juga dialami Malaysia. Kerugian negara itu mencapai 50 juta ringgit Malaysia dan di dunia mencapai US$ 22 miliar.

Wew, ternyata rayap ada dimana-mana. Serangga yang mempunyai daya jelajah yang cukup jauh dan berpopulasi tinggi ini seperti tak mengenal kata berhenti menggerogoti kayu, terutama kayu mati. Wajar jika akhirnya orang-orang mencari cara yang paling tepat (dan cepat) untuk menghadapi rayap. Sayangnya, usaha untuk mengurangi kerugian akibat serangan rayap masih dilakukan masyarakat dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya yang tidak ramah lingkungan.

Bagaimana cara menghadapi rayap?

Mari kita tengok ulang slogan kembali ke alam. Misalnya, memanfaatkan tumbuhan alam yang berpotensi untuk mengendalikan serangan rayap. Misalnya : Bintaro, Kecubung, Nimba, Srikaya, Sirsak, Cengkeh, Tembakau, Pinang, Keluek, Saga, Kemukus dan Serai.

Atau membuat pertahanan rumah yang kuat terhadap rayap, di bagian fondasi. Yaitu dengan memperlakukan tanah di bawah dan di sekitar fondasi dengan termitisida yang tahan pencucian serta memiliki afinitas dengan tanah.

Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah mempergunakan kayu yang awet, atau kayu yang telah diawetkan dengan bahan pengawet anti rayap. Jika masih terserang rayap, kita gunakan saja cara pengendalian yang ramah lingkungan, seperti pengumpanan dan pengendalian koloni dengan menggunakan insektisida penekan pertumbuhan kutikel seperti heksaflumuron (suarapembaruan).

Intinya adalah tidak memberi kesempatan kepada rayap untuk bekerja. Karena kita tahu, rayap adalah serangga sosial yang memiliki naluri bekerja (perusak) tingkat tinggi.

Indonesia Rayap

Indonesia rayap. Atau, Indonesia dan Rayap. Sahabat kompasianer pasti sudah bisa menebak apa yang akan saya tuliskan selanjutnya. Ya benar, saya mengibaratkan sosok koruptor seperti rayap-rayap yang saya jlentrehkan di atas.

Banyak cara untuk menghadapi koruptor, sama seperti ketika kita menghadapi rayap. Kita bisa saja misalnya, memulung koruptor rayap untuk dijadikan makanan kodok, ayam, cicak, atau lele. Tapi ada yang lebih sederhana. Mempergunakan kearifan lokal (regional dan nasional) dan tidak memberi kesempatan pada koruptor untuk 'bekerja'.

Berikut adalah cara yang lebih sederhana lagi.

Koloni rayap dalam tanah bisa berjumlah ratusan ribu hingga jutaan dan dipimpin oleh seekor ratu rayap yang terlindungi oleh ribuan rayap tentara dalam bangunan kokoh yang tersusun dari tanah.

Kita hanya tinggal mencari dimana sang ratu berada. Eh, cara yang ini tidak sederhana ding, hehe..

Hari ini, 17 Agustus 2012, adalah HUT RI ke-67. Saat yang tepat untuk mengibarkan merah putih lebih tinggi lagi. Dan saat yang pas untuk mengembalikan rayap pada habitatnya. Sudah sewajarnyalah jika rayap menggerogoti kayu yang lapuk. Tapi jika rayapnya berdasi dan menggerogoti uang rakyat, itu baru namanya nggak wajar.

Sahabat kompasianer, Salam MERDEKA…!

Sungai Dua dan Sepotong Ironi Tanah Merdeka

Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT

1345137979996405054

Kampung Sungai Dua dari kejauhan/@huzer

Sebuah kapal pompong membawa kami merapat di sebuah dermaga kayu yang mulai rapuh. Anak-anak berlari di dermaga sepi itu. Matahari mulai terbenam di bawah garis cakrawala saat kuinjakkan langkah di Sungai Dua. Dusun mungil ini memiliki nama resmi Kelemantan, tapi Sungai Dua jauh lebih terkenal dari nama resmi pemberian pemerintah itu.

Sungai Dua sendiri lebih merupakan nama geografis, karena di dusun ini terdapat pertemuan dua anak sungai. Hinga lekatlah nama sungai dua. Mayoritas penduduknya adalah orang suku hutan yang merupakan satu keturunan dengan suku akit di Pulau Rupat. Petang yang kian tandas membuat pandang hanya sekilas pada lampu-lampu minyak yang memancar dari rumah-rumah di sekitar dermaga.

Tak ada listrik yang mengaliri dusun ini, hanya beberapa rumah saja yang memiliki mesin listrik. Itupun hanya mereka hidupkan sebelum pukul sembilan tiba. Tak ada yang istimewa di Sungai Dua, hanya kisah tentang perjuangan mereka melawan stigma saja yang terdengar hingga ke ibukota kabupaten.

Sekian lama orang-orang di Sungai Dua dilabeli sebagai pembuat onar, pemalas dan juga penjudi. Kadang terpaksa mereka menutupi identitas sebagai orang suku hutan. Karena sebutan itu akan membuat mereka tersingkir dari pergaulan. Mereka kini menyebut diri sebagai orang asli. Label itu diberikan oleh dinas sosial. Dulu mereka bangga disebut Orang Hutan tapi kini itu adalah aib.

Secara antropologis, suku hutan memiliki akar sejarah yang sama dengan suku akit. Mereka adalah kelompok manusia yang penuh dedikasi berjuang untuk Kesultanan Siak. Legenda yang melekat pada mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang diberi tugas oleh Sultan Siak Sri Indrapura untuk mengumpulkan kayu-kayu berkualitas guna membangun penggung megah kesultanan. Mereka bahu membahu, sebagian bertugas masuk ke hutan-hutan menebang kayu dan sebagian lagi bertugas merakitkan kayu di sungai-sungai. Mereka yang merakitkan kayu kemudian dikenal dengan suku akit dan yang bertugas menebang kayu dikenal dengan suku hutan.

Kesultanan sangat menghargai perjuangan mereka, sehingga mereka diberikan keleluasaan untuk menempati tanah-tanah kosong di bawah kesultanan Siak. Tapi itu dulu, seiring waktu kesetiaan mereka pada tradisi membuat mereka dialienasi dan dianggap terbelakang.

13451380611472457289

Aktivitas orang akit yang memiliki akar sejarah sama dengan suku hutan/@huzer

Pada akhirnya sebagai sebuah strategi mempertahankan diri, banyak dari mereka yang menikah dengan pendatang keturunan Tionghoa. Setelah menikah dengan keturunan Tionghoa, biasanya secara sosial mereka lebih bisa diterima oleh masyarakat luas. Termasuk juga kawin campur dengan orang-orang dari suku Batak atau Melayu. Pelan tapi pasti identitas suku hutan tergerus oleh stigma yang melekati mereka. Anak-anak muda sudah tak mau mengakui identitas kultural mereka.

***

Hari ini tepat 67 tahun nusantara kita merayakan kemerdekaannya, sadarkah kita betapa banyak airmata bahkan darah yang tertumpah agar identitas kultural sebagian suku marjinal bisa bertahan. Stigma yang keliru dan ketidak pedulian bangsa ini pada akar identitas telah membuat suku-suku kecil marjinal melepuh ditelan zaman.

Sebut saja orang rimba di Jambi dan Sumatera Selatan, Suku Hutan , Orang Akit, Orang Talang Mamak, Orang Bonai dan banyak lagi suku-suku marjinal di Kawasan Sumatera. Mereka hidup di bawah bayang-bayang tirani stigma. Benarkah mereka telah benar-benar merdeka ? Saat identitas mereka diporak poranda oleh cara pandang kita.

Suku marjinal di masa orde baru kerap dianggap sebagai "sampah" pembangunan karena dianggap sulit menerima pembangunan. Saat orde baru menggulir program transmigrasi untuk memeratakan penduduk dan mempersatukan bangsa, suku-suku marjinal di Sumatera biasanya resisten, karena segera setelah itu konflik lahan tercipta. Antara suku marjinal yang mengandalkan hidup dari hutan dan transmigran yang haus lahan. Semakin menjadi-jadi kala Hak Guna Usaha (HGU) hutan diberikan ke perusahaan sawit dan juga hutan alam dibuka menjadi HTI (hutan tanaman industri) baik itu karet maupun tanaman semacam akasia. Makin porak porandalah suku-suku marjinal ini.

Tanah ulayat mereka direnggut paksa, adat mereka diinjak-injak tiada tara. Tinggallah mereka yang berjuang dalam tirani stigma. Bukan tanpa alasan politis negara melakukan pelabelan tersebut. Suku marjinal dipaksa untuk menerima perubahan, mereka didesak untuk menerima nilai-nilai baru yang tak mereka paham. Sungai dua menjadi saksi betapa kejamnya diskriminasi atas suku-suku marjinal. Hanya dihitung sebagai statistik penduduk tapi tak pernah benar-benar ada dalam percaturan negara.

Suku-suku marjinal di Sumatera sekian lama mengandalkan berburu dan meramu sebagai tumpuan penghidupan mereka. Namun ketika mereka kehilangan hutan sebagai ruang hidup, mereka kebingungan melakukan adaptasi. Maka terkesan mereka adalah pemalas yang tak mau bekerja, padahal negara dengan berbagai kebijakan eksploitatiflah yang memenjarakan mereka dalam kemalasan.

Tak jauh dari Sungai Dua, sebuah HTI terus menerjang ruang hidup Suku Hutan, tapi kita tak peduli. Karena yang kita tahu selalu tentang investasi. Investasi berarti kemajuan, pendapatan dan harapan. Tapi kita lupa ada airmata yang mengalir dibalik itu semua. Suku hutan di Sungai Dua tak sendiri, ada Orang Rimba yang tergolek lesu di bawah tandan-tandan sawit perusahaan. Ada Orang Sakai yang tanpa sadar diperdaya perusahaan tambang. Ada Orang talang Mamak yang mendapat kebahagiaan semu dari korporasi. Masih ada Orang Bonai, Orang Akit dan berbagai suku-suku kecil majinal yang terhimpit di negeri yang mengku merdeka ini. Sungguh sepotong ironi di tanah merdeka, bernama Indonesia ini.


Informasi didapatkan dari laporan survei suku-suku marjinal yang dilakukan KKI-Warsi dimana penulis terlibat sebagai salah satu surveyor.

Puasaku Hanya Tersisa Lapar dan Dahaga

Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT

Puasa sebentar lagi lewat

tetapi…

mengapa aku tetap seperti yang dulu…

hanya terasa lapar dan dahaga

aku bingung…

Katanya setan dibelenggu

tetapi buktinya…

maksiat tetap menggebu

perut tetap buncit

badan tetap kaku

pikiran tetap kotor

mulutku tidak bisa berhenti bergosip

tidak bisa menahan menggunjing orang

dari kejelekan hingga aib ..

belum lagi sifat borosku…

Untuk takjil dan baju baru

sampai ku lupa pada zakatku …

Di kantorpun tetap sama…

korupsi tetap idola…

komisi jadi pemanis…

modal kuat berlebaran

Gila

kenapa aku tega pada agamaku?

pada perintahNya?

pada laranganNya?

pada nabiNya?

Ataukah memang ini sebuah tanda

ketika dunia semakin gila

aku ikut gila

Ketika tiada lagi kesempatan

aku akan menyesal

ketika tiada lagi bulan puasa

aku akan berkaca

walaupun aku tahu itu sia-sia

Hingga tersisa satu pertanyaan dalam dada

Pantaskah aku masuk surga?

Akankah Pemilihan Umum Kepala Daerah di Seluruh Tanah Papua (PEMILUKADA PAPUA) Melahirkan Pemimpin Daerah Pro Rakyat Papua

Posted: 16 Aug 2012 10:36 AM PDT

Tahun 2011 - 2012 adalah tahun yang sangat padat terisi dengan agenda Pemilihan Umum baik ditingkat Propinsi, Kabupaten, dan kota diseluruh tanah papua khususnya di Propinsi Papua.
Pemilihan Umum kepala daerah atau yang sering diistilahkan dengan PEMILUKADA yang dilaksanakan diseluruh wilayah Indonesia sering menuai konflik horisontal antar pendukung yang marak menelan korban harta, benda, dan bahkan nyawa.

Bentuk konflik horisontal pun beranekaragam ada yang dipraktekan dalam bentuk perang mulut, perang urat saraf/tidak nampak wujudnya namun dirasakan dampaknya, perang bersenjata tajam, dan lain-lain. Konflik yang terjadi itu sungguh membinggungkan sebab massa pendukung salah satu kandidat terkadang tidak memahami, mengerti, mengetahui latar belakang persoalan namun karena telah terprofokasi sehingga tega membiarkan dirinya dipukuli atau bahkan terbunuh seperti yang terjadi dikabupaten Puncak Papua, Tolikara, Propinsi Papua Barat, Dogiai, dan mungkin akan menyusul diseluruh kabupaten/kota/propinsi ditanah papua.


Berdasarkan hasil pengamatan PEMILUKADA ditanah papua untuk sementara ini berdampak perang urat saraf, pembakaran bangunan umum, dan bahakan berdampak pada kekerasan fisik yang mengantarkan situasi macetnya pembagunan disegala sektor, dan melahirkan persoalan baru akibat; pengembalian hutang politik pada massa kampanye, tingginya angka Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), Penandatanganan Kontrak Karya Perusahaan tanpa Melibatkan Masyarakat Adat Pemilik Hak Ulayat (kontrak karya MIFFE, BP/LNG TANGGUL, TAMBANG TRADISIONAL DEGEUWO, KELAPA SAWIT di NABIRE, dll), dan kasus-kasus lainnya.


Selain itu penghambatan pembangunan disegala sektor juga terjadi karena pengalihan Dana APBD kedalam kepentingan Pemilihan Kepala Daerah, padahal jika ditelusuri dari RAPBD tahun sebelumnya (sebelum pemilukada berlangsung) tidak pernah terlihat keterangan terkait pangalihan dana dari setiap pos pemerintahan untuk melaksanakan PEMILUKADA, yang ada adalah sekian persen dari APBD yang akan dikucurkan dari APBN demi pelaksanaan PEMILUKADA dan pada pos-pos pemerintahan lainnya tetap menjalankan program kerjanya sesuai dengan program yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan besaran dana yang telah ditetapkan pula, sebagai contoh;

Proyek-Proyek Pemerintah Tetap Berjalan, Dana Pengembangan SDM Tetap Diberikan (Bantuan Pendidikan, Penyuluhan, Bantuan Sosial Untuk Modal Usaha, Dll), Pembangunan Fasilitas Umum (Jalan, Jembatan, Rumah Sakit, Terminal, Sekolah, Pengairan, Penerangan, Dll), Dan Lain-Lain.
Jika diamati fenomena yang terjadi diseluruh kabupaten/kota atau bahkan Propinsi diseluruh tanah papua dimana setahun sebelum memasuki massa PEMILUKADA dana-dana yang tersedian disetiap pos-pos dinyatakan tidak ada, yang menjadi pertanyaan adalah kemana perginya dana-dana itu ?.


Masyarakat papua kini menyakini bahwa biaya kampanye memang sangat tinggi sehingga siapapun dia yang ingin mencalonkan diri sebagai CABUP atau CAGUB harus menyiapkan dana miliaran rupiah, yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa dana miliaran rupiah itu disiapkan, dan dari siapa miliaran rupiah itu berasal/diperoleh ?, bukankah ini sudah mengarah pada indikasi adanya dugaan manipulasi yang akan terlaksana dalam PEMILUKADA, jika demikian mengapa KPUD atau bahkan masyarakat intelektualnya (MRP/Tokoh Masyarakat/Tokoh Pemuda/Mahasiswa) tidak mengambil ketegasan dalam hal membatasi fenomena proyek manipulasi itu, buankah hal itu kemudian akan berdampak pada pembelajaran politik yang keliru bagi masyarakat papua dalam hal politik praktis.


Sikap KPUD dan masyarakat intelektualnya (MRP/Tokoh Masyarakat/Tokoh Pemuda/Mahasiswa) yang demikian kemudian melahirkan dugaan yang miring bahwa jangan-jangan mereka juga ikut bermandi dana dengan adanya PEMILUKADA yang selalu berujung pada konflik berdarah. Artinya KPUD dan masyarakat Intelektual Papua juga menginginkan masyarakatnya menjadi korban dalam pesta demokrasi daerah yang sudah, sedang, dan akan dilaksanakan jika sikapnya tetap demikian.


Indikasi hutang politik yang berkembangbiak dalam pesta demokrasi telah menjadi budaya kaum kapitalis diseluruh indoneia, PEMILUKADA ditanah papua juga tidak terlepas dari praktek ekonomi politik kaum kapitalis itu sehingga Hutang Politik sanggat subur terlihat disana. Hutang politik yang sanggat tebal dalam pesta demokrasi di Papua itu kemudian menimbulkan suatu situasi yang mirip POLITIK BALAS BUDI yang mengakibatkan mandulnya pembangunan disegala sektor, perampokan tanah ulayat atas nama hukum (pemilik HPH, HGU, dan Hak Pakai), dan semakin tingginya kasus kriminal akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap generasi mudanya.


Dengan melihat sistim pemerintahaan Indonesia yang mengarahkan pemimpin daerah bagaikan BUDAK yang hanya tahu melaksanakan apapun yang dikehendak BAGINDA RAJA yaitu PRESIDEN INDONESIA sangat jelas terlihat pada beberapa kasus yang terjadi ditanah papua, diantaranya sebagai berikut :


• maraknya kasus pembunuhan Orang Asli Papua, dan penembakan terhadap Mako Tabuni yang benar-benar menyalahi KUHAP dan telah melanggar UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang belum ada pertanggungjawaban,
• Penutupan Ruang Demokrasi diseluruh tanan Papua yang telah jelas melanggar UU No 8 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Berekspresi di Muka Umum
• Intruksi Presiden SBY terkait penambahan pasukan sebaganyak 20.000 (dua pululuh ribu) orang diseluruh tanah papua yang secara jelas akan melahirkan pelanggaran UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan sebagainya
namun semua itu hanya diterima begitu saja oleh pemimpin-pemimpin didaerah baik Eksekutif (Gubernur, Bupati, Walikota) dan Legislatif (DPRP, DPRD), serta Lembaga Kultur Papua (MRP) tanpa protes ataupun penolakan, atau bahkan meminta pertanggungjawaban apapun.


Kondisi diatas telah jelas melahirkan situasi PERBUDAKAN SECARA SISTEMATIK didalam sistim pemerintahan indonesia yang terimplementasi ditanah papua. Perbudakan sistematik itu benar-benar terlihat jelas dalam penerapan UU No. 21 tahun 2001 Tentang OTONOMI KHUSUS dimana isi pasal-pasalnya sangat AMBIGU (pengertian yang keliru) dan AMBIFALEN (memiliki dua pengartian) yang berujung pada PERBUDAKAN PEMERINTAH DAERAH pada PEMERINTAH PUSAT. Sebagai contoh adalah sejak dirumuskan, disahkan, dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang OTSUS belum pernah ada satupun Kebijakan Publik di Papua yang disahkan atau bahkan diusulkan oleh MRP atau bahkan GUBERNUR, BUPATI/WALIKOTA, DPRD Propinsi, DPRD Kab/kota se-Tanah Papua untuk melindungi Hak-Hak Masyarakat Papua seperti :


• RAPERDA/PERDA Tentang PERLINDUNGAN HAK HIDUP MASYARAKAT PRIBUMI PAPUA,
• RAPERDA/PERDA Tentang PERLINDUNGAN HAK ULAYAT,
• RAPERDA/PERDA Tentang PERLINDUNGAN dan PELESTARIAN BUDAYA dan BAHASA DAERAH, dan lain sebagainya,

atau bahkan memperjuangkan hasil keputusan bersama yang baru-baru ini dihasilkan oleh MRP, Tokoh Agaman, Tokoh Masyarakan, dan Tokoh Pemuda yang disimpulkan dalam 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA yang entah kemana rimbanya kini ??,,,, tanpa ada sedikitpun upaya yang dilakukan oleh MRP dalam hal mengejar atau mewujudnyatakan atau bahkan memperjuangkan 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA itu dengan sikap yang jelas yaitu dengan membentuk PANITIA KHUSUS (PANSUS) 11 REKOMENDASI RAKYAT PAPUA yang didanai langsung oleh DANA OTSUS sampai pada tingkat NASIONAL INDONESIA dan bahkan dunia INTERNASIONAL agar dapat ter-Realisasi dengan maksimal.


Mungkin MRP sedikit menepuk dada dengan lahirnya PERDASUS No. 6 Tahun 2011 Tentang Kepala Daerah yang wajib bagi ORANG ASLI PAPUA namun faktanya sampai saat ini masih menuai perselisian antara DPRP dan KPUD Papua, yang berdampak pada molornya pemilihan Gubernur Papua. Berkaitan dengan isunya jika diamati memang sebelum dibuat dan disahkan PERDASUS itu kepala daerah telah ditempati oleh Orang Asli Papua sehingga lahirnya PERDASUS itu bukan menjadi suatu hal yang harus dibahas panjang lebar, dan juga jika ditarik muatan politiknya maka akan tercium bauh busuk Kepentingan Partai Politik dan Kandidat yang ingin mencalonkan diri menjadi Gubernur atau Bupati/walikota pada PEMILUKADA diseluruh tanah Papua yang artinya telah menyeret MRP pada pusaran amisnya kepentingan Politik Praktis dan sekaligus telah mengubah Lembaga Kultur Papua yang disebut MRP menjadi Lembaga Kultur Partai Politik dan Ekonomi Politik Golongan Tertentu (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kapitalis/Bisnismen) di Tanah Papua.

Dengan demikian maka pemilihan MRP jilid ke III alangkah baiknya tidak harus terjadi/dipilih jika akhirnya akan menjadi BUDAK PARTAI dan BUDAK JAKARTA. Akhirnya hanya tersisa sebuah pertanyaan yaitu apakah PEMIMPIN DAERAH ORANG ASLI PAPUA yang telah, sudah, dan akan terpilih itu akan Berpihak Pada Rakyat Papua ataukah sebaliknya menjadi Pembantai Rakyat Papua, dengan menjadi "Budak-Budak Belian" Neu Kolonialis Republik Indonesia (NKRI), dan Kapitalis Indonesia dan Internasional di tanah Papua. (  Oleh : Devisi Advokasi dan HAM Papua)

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar