Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 23 Agustus 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Widuri, Biarkan Aku Bersamamu (Selesai)

Posted: 23 Aug 2012 11:21 AM PDT

Memo untuk Tuhan dan Payudara Dewi

Posted: 23 Aug 2012 11:21 AM PDT

BAHASA INDONESIA: “SANG PERANGKAI MAKNA, SI PEMADU RAGAM WARNA BAHASA DI NUSANTARA”

Posted: 23 Aug 2012 11:21 AM PDT

134574549356704989

Oleh : Agus Puguh Santosa*)

Pada tahun 1983 hingga 1987 penulis menghabiskan sebagian masa kecil di sebuah desa yang cukup terpencil di kabupaten Tuban, Jawa Timur. Di sebuah sekolah negeri yang bernama SDN Ngrayung I, penulis mulai mengenal bahasa Indonesia berkat jasa guru-guru di kelas 1 sekolah dasar. Penulis terkadang ingin senyum-senyum sendiri bila kembali mengenang masa-masa itu. Pada hari-hari pertama kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia, penulis diwajibkan mengeja kalimat yang berbunyi, 'Ini Budi,' yang kemudian berlanjut dengan beberapa kalimat lainnya, 'Ini ibu Budi', 'Ini bapak Budi', 'Ini kakak Budi', 'Ini adik Budi', 'Adik Budi namanya Iwan', 'Kakak Budi namanya Wati.' Meski tampak sederhana, namun hampir seperempat abad kemudian, kalimat-kalimat tersebut masih melekat dalam ingatan penulis. Sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mungkin bisa jadi tidak akan dialami oleh anak-anak sekolah dasar di jaman sekarang.

Pelajaran bahasa Indonesia yang penulis terima kala itu tidak dengan serta merta mudah untuk dimengerti, karena dalam percakapan sehari-hari penulis lebih banyak mempergunakan bahasa Jawa. Sehingga kemudian dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang penulis tempuh terjadi proses penyesuaian di sana-sini; mulai dari penulisan kata per kata, kalimat per kalimat, hingga pada pengucapannya yang memiliki logat berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya.

Pengalaman selama menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar di tanah Jawa harus penulis akhiri saat penulis hendak naik ke kelas tiga, karena tanpa disangka-sangka penulis harus mengikuti ayahanda yang dipindahtugaskan ke pulau Dewata. Sebagai seorang bocah yang baru belajar mengenal bahasa Indonesia, rasa kaget muncul manakala harus berhadapan dan bercakap-cakap dengan teman-teman sebaya yang baru penulis kenal di SD No. 1 Pedungan. Rasa kaget tersebut tak dapat penulis hindari, karena bahasa Indonesia yang penulis jumpai mempunyai logat yang berbeda dengan logat Jawa yang biasa penulis praktekan. Bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Bali, menuntut penulis lebih banyak lagi belajar dari hari ke hari agar dapat segera menjadi fasih saat melafalkannya.

Meskipun penulis adalah asli orang Jawa, namun rasa bangga muncul ketika pihak sekolah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mewakili sekolah dalam ajang menulis aksara Bali. Sebelum mengikuti kompetisi tersebut, penulis harus bersaing dengan teman-teman sebaya yang notabene adalah asli orang Bali. Dalam proses di atas, penulis merasa sangat terbantu dengan adanya bahasa Indonesia. Jika tidak, tentu mustahil bagi penulis untuk dapat menyesuaikan diri dalam waktu singkat terhadap bahasa maupun aksara Bali. Dalam hal ini bahasa Indonesia menjadi 'bahasa pengantar' yang menghubungkan kebudayaan Bali dengan kebudayaan Jawa yang telah tertanam dalam diri penulis.

Penulis merasa bersyukur bertemu dengan seorang guru bahasa Bali yang dengan sabar dan penuh perhatian berkenan mengajarkan kemampuan berbahasa dan menulis aksara Bali dengan menterjemahkan bahasa Bali yang diucapkannya di kelas, ke dalam bahasa Indonesia yang mampu penulis pahami. Rasanya penulis tak kuasa menahan air mata ini menetes di pipi, tatkala penulis teringat akan semua kebaikannya.

Terkait dengan pelajaran bahasa Indonesia di kelas, penulis mempunyai kenangan menarik yang hingga kini masih saja tetap terkenang. Pada waktu itu penulis kerap kali mendapatkan pekerjaan rumah untuk membuat karangan bebas dengan tema tertentu. Penulis akui, dalam bidang pelajaran yang lain, penulis mampu mengerjakan hampir semua soal maupun tugas yang diberikan. Akan tetapi saat memperoleh tugas mengarang dari guru kelas, penulis merasa kesulitan untuk menuangkan gagasan dan menuliskannya di atas kertas dalam bentuk kalimat maupun paragraf. Dan jalan keluar yang selalu penulis tempuh untuk menyelesaikan tugas tersebut adalah dengan meminta pertolongan kepada kedua orang tua penulis untuk membuatkan karangan yang penulis kehendaki. Kebiasaan ini berlangsung hingga penulis duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Motivasi untuk mulai menekuni dunia menulis sebenarnya berasal dari puluhan surat yang pernah penulis terima dari belasan sahabat pena yang penulis miliki. Pada jaman itu komunikasi melalui kegiatan surat menyurat masih terbilang populer dan digandrungi oleh kaum remaja. Dan dunia sahabat pena menjadi sebuah dunia yang diimpikan oleh remaja para era tahun 1990-an. Tak terbayang betapa bahagianya hati penulis ketika sebuah atau beberapa surat penulis terima sekaligus. Surat-surat tersebut berasal dari beberapa kota besar di Indonesia, dengan beragam dialek yang unik yang muncul dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masing-masing pemilik surat. Dalam setiap surat, penulis menemukan beragam kisah yang berbeda-beda, meski kadang terjadi kisah itu akan bersambung dalam surat berikutnya.

Hal yang menuntut penulis belajar menulis secara mandiri adalah, ketika penulis merasa mempunyai kewajiban untuk membalas satu per satu dari surat-surat tersebut. Awalnya tidak mudah untuk merangkai kata dan melahirkan kalimat-kalimat yang mampu mengekspresikan emosi dan perasaan jiwa kita terhadap sahabat pena yang kita miliki. Namun lambat laun semuanya terasa mengalir begitu saja. Jika pada surat edisi pertama penulis hanya mampu menulis selembar surat saja, lama kelamaan jumlah lembar yang penulis hasilkan dari aktivitas bersahabat pena ini pun kian bertambah. Bahkan khusus untuk beberapa orang sahabat pena yang terbilang istimewa, penulis rela menghabiskan waktu sebelum tidur hanya untuk menulis surat saja. Lagi-lagi bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mampu memadukan beragam kebudayaan yang penulis jumpai dalam setiap surat yang penulis terima dan penulis kirimkan.

Jika saja penulis menerima surat dari sahabat pena dalam bahasa Batak, sedangkan penulis hanya mampu berbicara dalam bahasa Jawa dan Bali, maka penulis tidak akan mampu membalas surat tersebut dengan baik, karena adanya perbedaan jenis bahasa para penuturnya. Dan bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di kemudian hari, bilamana realitas tersebut tidak menemukan jalan keluarnya, yaitu adanya 'bahasa penghubung' di antara dua atau lebih jenis bahasa maupun kebudayaan yang hendak berkomunikasi satu sama lain.

Dari aktivitas bersahabat pena tersebut, penulis pun mulai mengenal dunia sastra secara lebih intens. Entah bagaimana awal mulanya, saat mulai duduk di bangku sekolah menengah atas penulis mulai menyukai beragam karya sastra pujangga kenamaan Kahlil Gibran. Beberapa judul buku karya Gibran berhasil penulis lahap habis, hingga akhirnya pola-pola penulisan kalimat dan pemilihan kata yang dilakukan oleh Gibran meracuni pikiran penulis. Kemudian lahirlah puluhan judul puisi yang tidak pernah penulis pikirkan sebelumnya. Seandainya bahasa Indonesia tidak ada, tentu karya Gibran akan penulis temukan dalam bahasa asing yang belum tentu penulis mengerti. Dan proses penulisan puisi di atas mungkin tidak akan pernah terjadi.

Jika di masa lalu Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak melakukan promosi bahasa Melayu di sekolah-sekolah maupun melalui karya sastra dalam bahasa Melayu, mungkin penggunaan bahasa Indonesia tidak akan mampu mencakup areal yang luas seperti yang kita dapati dewasa ini. Pada masa itu, bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal dari bahasa Indonesia, dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk membantu administrasi di kalangan pegawai pribumi yang penguasaan bahasa Belandanya dinilai lemah. Untuk mewujudkan maksud tersebut, sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam proses standarisasi bahasa.

*) Guru Jurnalistik di SMP Sanjaya Banjarbaru

Plagiat

Posted: 23 Aug 2012 11:21 AM PDT

OPINI | 24 August 2012 | 01:11 Dibaca: 1   Komentar: 0   1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat

Plagiat adalah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri. namun banyak orang yang tak mengerti tentang konsep ini. Karya seseorang yang hampir mirip dengan karya seseorang mendapat julukan sebagai plagiat dan seolah-olah orang tak dapat membuat hasil karya. Pedahal jika kita tinjau lebih dalam, bahwa tak ada satu pun seseorang yang tak terinspirasi dari seseorang, apalagi jika ia seorang musisi, penyair, dsb.

Ketika seorang musisi menciptakan sebuah lagu, tentunya ia mempunyai referensi. yang secara tak di sadari referensi-referensi yang ia dengarkan masuk ke dalam karya nya. Seorang musisi bisa disebut sebagai plagiat jika ia mengambil nada yang terdiri dari 8 bar atau lebih.


Siapa yang menilai tulisan ini?

1

Bermanfaat

Misteri dibalik kematian orang-orang besar di usia 27 tahun

Posted: 23 Aug 2012 11:21 AM PDT

OPINI | 24 August 2012 | 01:09 Dibaca: 0   Komentar: 0   Nihil

Ada apa di balik angka 27 ? Mengapa kebanyakan orang-orang yang meninggal pada usia 27 tahun menjadi tekenal. Misalnya Chairil Anwar Ia meninggal di usia 27 tahun. Tentunya siapa yang tidak mengenalnya dalam dunia sastra, khususnya di Indonesia. Hal ini juga terjadi pada Soe Hok Gie yang sangat terkenal dikalangan Mahaiswa. Ia juga meninggal pada usianya yang ke-27. Hal ini juga tidak terbatas pada nama besar di Indonesia saja, bahkan musisi sekaliber Jimmy Hendrix yang namanya sampai merebak ke seluruh dunia, juga mninggal di usia ini. Dan masih banyak lagi seperti Jim Morrison, Janis Joplin.


Siapa yang menilai tulisan ini?
Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar