Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 01 Januari 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Inilah Salah Satu Bukti Cinta FIFA Kepada Sepakbola Kita.. Hehe..

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

OPINI | 02 January 2013 | 02:04 Dibaca: 0   Komentar: 0   Nihil

kesulitan dana yg dialami oleh federasi sepakbola kita pssi ternyata nasibnya masih jauh lebih baik daripada yg dialami oleh Asosiasi Sepak Bola Zimbabwe (ZIFA).. bagaimana tidak salah satu negara di afrika tersebut telah dinyatakan pailit oleh fifa.. karena tidak mampu lagi melunasi hutang yang sekarang totalnya mencapai 3 juta Euro atau sekitar 38,4 miliar Rupiah..

sebagai akibat krisis keuangan yg dialami tersebut mrka terpaksa harus mengubur mimpinya untuk bisa tampil di Kualifikasi Piala Dunia 2014 wilayah Afrika, di Mesir.. bahkan tidak sampai disitu saja tanpa dukungan finansial dari pemerintah dan sponsor, ZIFA juga membatalkan rencana mengirimkan timnas U20 dan U17 untuk tampil di laga2 internasional.. ckckckck..

inilah salah satu bukti betapa kita beruntung menjadi salah satu negara besar di dunia.. walau nasib federasi kita sama2 kesulitan dana dan konon hutang yg ditanggung oleh pssi lebih besar dari negara afrika tersebut.. toh fifa masih memberi kesempatan kepada kita untuk berbenah..

jelas sekali kalau fifa sudah pilih kasih dalam hal ini.. padahal kalau dilihat dari rangking fifa peringkat zimbabwe jauh lebih baik dari kita.. mrka ada diperingkat 101 sedangkan kita berada di rangking 156 tetapi kenapa sikap yg diambil oleh fifa berbeda jauh.. semoga saja masalah yg dialami pssi tidak sampai terdengar ketelinga para elite sepakbola di zimbabwe.. karena bisa saja ini akan memicu terjadinya kecemburuan sosial.. ahahaha..

bravo sepakbola indonesia..

salam..

aldi doank..

————————-

http://bola.inilah.com/read/detail/1942633/tak-punya-duit-negeri-ini-tak-bisa-ke-piala-dunia

Siapa yang menilai tulisan ini?

Air Mata Ayah

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

Suap, Korupsi dan Image Negara

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru yang diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai diundangkan dengan UU No 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut ditransfer dari KUH Pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).

Penerapan pasal suap seperti tercantum dalam Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, semakin sering dipakai oleh KPK untuk menjerat para pihak yang terlibat. Hal ini merupakan fenomena baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya, secara historis, penerapan pasal-pasal suap dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak mencapai 0,1 persen dari total perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum.

Bagaimanakah sebenarnya budaya suap di Indonesia? Menurut penulis, setidaknya ada dua hal pokok yang membuat budaya "upeti" lestari di Indonesia. Pertama, sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dan imbalan material. Kedua, kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti dan gratifikasi. Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam bukunya Power, Corruption, and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik.

Bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting. Maka terjadilah apa yang disebut venal office, yaitu bahwa kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang, melainkan karena memiliki dana besar untuk kampanye, memiliki modal untuk membeli perusahaan publik, membeli suara pemilih, bahkan membeli suatu jabatan publik. Terlebih lagi situasi ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar.

Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Para pelaku, baik 'aktor intelektual' maupun 'aktor pelakunya', telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-­norma sosial yang lain.

Dalam konteks hukum nasional, tidak semua suap-menyuap adalah kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja, misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif, seperti diatur dalam UU No 11 Tahun 1980.

Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam UU No 10 Tahun 1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum tindak-tindak pidana suap ini kurang terangkat ke permukaan, karena jarang digunakan penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di masyarakat.

Namun dalam konteks hukum internasional, instrumen kriminal dari perbuatan suap-menyuap secara umum dikriminalisasikan sebagai kejahatan korupsi. Menurut Muladi (2005), banyak sekali instrumen regional (misalnya EU, Inter-American, African Union, Southern African Development Community) ataupun organisasinya (misalnya OECD, GRECO) yang merumuskan untuk mencegah dan memberantas korupsi termasuk suap-menyuap. Dalam pertumbuhannya, instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003.

Dalam Konvensi PBB ini, ruang lingkup "bribery" ini diperluas dan mencakup penyuapan terhadap pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan pejabat publik dari organisasi internasional, baik aktif maupun pasif. Bahkan dianjurkan pula mengkriminalisasikan perbuatan suap di lingkungan swasta (private sector) dalam kegiatan komersial, ekonomi, dan finansial, termasuk juga pelbagai bentuk suap yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur dan independen (obstruction of justice).

Indonesia sendiri telah menandatangani UN Convention Against Corruption yang saat itu diwakili oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman dan HAM. Secara normatif dalam konvensi tersebut terdapat empat hal yang menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi yang lebih luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan aset yang dilarikan ke luar negeri. Secara faktual di Indonesia, telah banyak pelaku suap saat ini yang dijebloskan ke penjara, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, pejabat Bank Indonesia, dan pejabat-pejabat eksekutif lainnya; kalangan legislatif (anggota DPR dan DPRD) serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, petugas LP), dan sebagainya.

Akan tetapi, perspektif suap ini agak berbeda atau mencapai titik nadir inkonsistensinya apabila dikorelasikan dengan image sebuah negara berkembang seperti Indonesia, mengingat indeks korupsi di negara kita ini selalu menempati peringkat yang buruk di bandingkan negara-negara tetangga. Hal ini sesungguhnya tak lepas dari kejahatan suap yang dimasukan dalam kategori korupsi itu sendiri.

Fakta itu dapat terlihat dari indeks yang menunjukkan bahwa lebih dari 90% perkara yang disidangkan oleh pengadilan Tipikor maupun yang tengah disidik dan dituntut KPK adalah kasus suap. Akibat kategorisasi ini, maka secara statistik, korupsi di Indonesia tergambarkan selalu tinggi. Padahal, di negara-negara lain, dalam praktik dan regulasi nasional mereka saat ini, rata-rata unsur suap ini tidak dimasukkan dalam kategori korupsi.

Negara-negara semisal Jepang, Singapura atau Malaysia, perilaku suapnya juga banyak, akan tetapi mereka tidak memasukan suap dalam kejahatan korupsi. Makanya angka korupsi kita selalu melejit mengalahkan mereka. Tolak ukur korupsi seharusnya berpijak pada ada tidaknya kerugian keuangan negara atau tidak.

Penulis berpendapat bahwa tingginya indeks korupsi di Indonesia sebagai bagian dari pekerjaan negara asing lewat MNC (LSM-LSM) mereka. Jika angka korupsi Indonesia tinggi, maka investor enggan masuk, dan  mengalihkan modalnya ke negara lain. Meski suap masuk kategori kejahatan biasa, bukan berarti kita tidak serius memberantasnya. Dan jika suap masuk kejahatan biasa, saya yakin pengadilan tipikor akan sepi.

Dengan demikian pidana suap justru harusnya hanya masuk dalam kategori kejahatan biasa dan tidak perlu disidangkan ke pengadilan Tipikor. Perubahan kategori ini diperlukan untuk kembali membangun image negara yang telah rusak akibat angka korupsi yang selalu tinggi. Dalam perspektif yang lebih global, pemberantasan korupsi sejatinya hanyalah agenda asing yang telah mencengkeram negeri ini sejak era reformasi 1998. Agenda lainnya antara lain adalah privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, pasar bebas dan globalisasi.

Beberapa pengamat bahkan menyatakan secara sinis bahwa korupsi di Indonesia "masih diperlukan" bagai oli diperlukan untuk kerja sebuah mesin. Hanya, olinya saja yang dikorup, jangan mesinnya yang menggerakkan seluruh kendaraan yang dikorup. Bagaimana membebaskan Indonesia dari korupsi, jika sistem politik dan ekonomi yang dianut justru otomatis pasti melahirkan koruptor? Apalagi, bagi negara-negara miskin di manapun di dunia hampir tidak ada yang bebas dari korupsi. Sebaliknya bagi negara-negara kaya-raya seperti negara di Eropah Utara, mulai Skandinavia, Finlandia, Swedia, dipastikan minim bahkan terbebas dari image korupsi.

Contoh lain yang lebih telak adalah Amerika Serikat yang menjadi besar justru dibangun oleh para "Koruptor" pasca Perang Saudara (Civil War) di akhir abad ke-IXX. Saat itu AS memasuki era Pertumbuhan yang amat cepat dan dijuluki pada era itu sebaga Periode Gilded Age atau era Robber Baron, karena di era itulah lahir para "Baron" para konglomerat, AS, seperti Raja Minyak John D. Rockefeller, Cornelius Vanderbit, Andrew Carnegie, dan JP Morgan. Para "Baron" inilah kemudian yang membangun Amerika menjadi negeri raksasa yang sukses. Sejalan kemajuan di segala bidang di Amerika dan kemakmuran dinikmati rakyat Amerika, maka image korupsi pun terkikis di Negeri Paman Sam.

Terakhir, dalam suatu forum debat yang diselenggarakan di London (Global Development Debate) antara Peter Eigen (pendiri International Transparancy, yang selalu diagung-agungkan beberapa tokoh KPK atau Aktivis Anti Korupsi di Indonesia) dengan Professor Mushtaq Khan (pakar ekonomi dari University of London). Khan bertanya kepada Eigen, "tolong buktikan bahwa dengan pemberantasan korupsi, suatu negara itu bisa dapat lebih sejahtera?" Eigen tidak bisa menjawab. Faktanya, tidak ada satupun negara, karena program pemberantasan korupsi ala Transparansi Internasional itu akan lebih sejahtera. Berdirinya KPK tidak lain adalah "driving force engineering" sesuai program "combating corruption"-nya World Bank. Yang seolah-olah bahwa jika korupsi diberantas, maka pembangunan di suatu negara menjadi lancar. Pendapat yang sebenarnya sangat ahistoris dan tidak pernah terbukti secara global empiris.

Corruption is inevitable, ia ada di tiap negara, baik di negara maju, negara berkembang terlebih negara miskin. Bahkan dalam satu teori dikatakan bahwa korupsi justru adalah "greases the will", ia menjadi boli bagi pembangunan, seperti halnya eksistensi korupsi yang terjadi tidak hanya di negara otoritarian, tapi juga di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat yang masih berlangsung hingga saat ini. Perang di Irak merupakan bagian dari korupsi yang sangat telanjang, melibatkan Cheney dan Halliburton, sebagai bukti nyata dari teori ini.

Namun di sisi lain, korupsi bisa dipertanyakan sebagai "way of life" atau "fact of life". Di Indonesia secara sistemik mungkin sudah dapat dikatakan "way of life", sehingga menurut beberapa pengamat, pemberantasan korupsi ini mungkin diperlukan. Namun dengan cara berpikir dan proses kelahiran KPK sebagaimana telah digambarkan diatas, realitasnya justru tidak akan menghasilkan apa-apa, dan hanya membuat KPK menjadi alat dari kekuasaan. KPK sebagai institusi independen adalah bagian dari institusi yang korup nantinya, karena ia sudah "misused the public power" yang diserahkan kepadanya dan saat ini seolah-olah menjadi superbody.

Dengan demikian ketika ia melakukan tebang-pilih atau tebang-pesan dalam penegakannya (enforcement), maka sesungguhnya ia sedang melakukan korupsi yang nyata, sehingga semboyan anti-korupsi yang didengung-dengungkan oleh pemerintah selaku representasi negara saat ini tidak lain hanyalah sebuah image yang paradoks. **

"Lukmanulhakim A.P."

Negeri Sentosa, Tak Tersorot Kamera

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

Indonesia ternyata tidak kekurangan pemimpin berkualitas. Saat mata banyak tertuju ke Jokowi di Jakarta dengan gebrakannya, di daerah-daerah kita sebenarnya punya banyak inspirasi lain. Salah satunya dari Sinjai, sebuah kabupaten kecil di Sulawesi Selatan. Kepemimpinan yang kuat mampu membuat daerah ini berkembang. Jokowi dijamin minder atas apa yang diperbuat bupatinya. Cerita perjalanan ini akan menjelaskan sedikit tentang wilayah tersebut.

13570610101148230494

salah satu pemandangan di Pulau Sembilan, Sinjai sumber: dok.pribadi

Sebelum masuk Sinjai, saya ditantang taruhan oleh Mail, supir rental yang menemani saya dari Makassar. "Abang boleh cari jalan jelek di Sinjai, bahkan di kampung-kampung sekali pun. Atau coba cari pengendara motor yang keluar rumah tanpa helm, walau cuma ke warung terdekat. Kalau Abang ketemu, boleh potong honor saya setengah" tantangnya.

Awalnya saya anggap itu angin lalu saja, namun Mail semangat sekali berpromosi. Di sepanjang perjalanan dia bercerita perkembangan Sinjai di bawah kepemimpinan Rudiyanto Asapa, Bupati dua periode yang saat ini juga maju sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan.

Masuk Sinjai menjelang maghrib, saya menginap di Hotel Sahid Sinjai, sebelah kediaman resmi Bupati.  Target pertama saya adalah menikmati satu-satunya kehidupan malam di Sinjai. Kehidupan malam yang sangat sehat. Sebuah perputaran ekonomi yang mensejahterakan nelayan maupun warga secara keseluruhan, yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sinjai.

13570611811150915402

Suasana TPI Sinjai di pagi hari (sumber: dok pribadi)

Pusat pelelangan ikan Sinjai mulai ramai sekitar pukul 19.30. Ratusan kapal penangkap ikan parkir dan berbaris rapi di pinggir pelelangan. Parkir dengan retribusi resmi yang menguntungkan daerah.  Nelayannya bukan hanya dari Sinjai, nelayan dari Bantaeng, Bulukumba, bahkan dari Makassar lebih suka parkir dan menurunkan ikan di pusat pelelangan ikan ini. Sebab manajemennya transparan dan rapi. Taka ada tengkulak yang memonopoli harga.

Ikan diturunkan dan langsung disambut oleh para pedagang. Masyarakat lalu-lalang bertransaksi  baik membeli ikan partai besar maupun eceran untuk kebutuhan  sehari-hari. Ini pasar yang hampir sempurna, tidak ada cukong atau tengkulak yang bisa mengintervensi harga ikan. Nelayan, penjual, dan pembeli sama-sama diuntungkan. Jika ikan tidak habis, dinaikkan lagi ke peti pendingin yang ada di kapal untuk dijual lagi pada malam berikutnya.

Dengan uang lima puluh ribu, anda bukan hanya dapat 3-4 ekor ikan, tapi seperti meraup tauge. Bagi yang ingin segera menikmati ikan segar, di pintu masuk pelelangan terdapat banyak warung yang menyediakan pembakaran ikan. Inilah satu-satunya kehidupan malam di Sinjai.

Pulang dari pelelangan saya mampir di sebuah toko serba ada untuk membeli perlengkapan mandi dan sikat gigi. Jangan harap anda akan menemukan waralaba semacam Alfamart atau Indomaret di tempat ini. Bupati Sinjai, hanya mengijinkan waralaba masuk ke daerahnya jika bersedia menampung produk industry rumahan warga dengan kuota tertentu. Satu hal yang sepertinya berat dipenuhi oleh perusahaan waralaba. Namun bagi sang kepala daerah, itu bentuk perlindungan terhadap sektor ekonomi kerakyatan agar tidak digilas pasar-pasar modern.

Keesokan pagi saya bersiap-siap berkeliling ke pelosok Sinjai. melihat langsung hasil kepemimpinan Rudiyanto Asapa yang disanjung-sanjung warga Sinjai tersebut.

Saya mulai dengan menikmati pemukiman di pusat kota. Jalan-jalan yang mulus, rapi, serta pohon rindang terbentang di sepanjang jalan. Lalu saya lanjutkan perjalanan ke Sinjai Utara. Lagi-lagi Mail mengingatkan saya soal tantangannya. "Nanti coba cari jalan jelek ya bang," tantangnya sembari senyum-senyum.

Saya tidak tertarik mencari jalan jelek tetapi sibuk memperhatikan motor-motor yang berseliweran. Penampilan motor-motor dan pengendaranya rata-rata sama, konservatif.  Hampir tidak ada modifikasi. Motor harus dengan dua spion pabrikan, tanpa knalpot yang bikin berisik, serta pengedara yang lengkap dengan helm standar SNI. Konon tak ada kawasan khusus tertib lalu lintas di sini. Seluruh jalan adalah kawasan tertib lalu lintas. Sebab, polisi bisa melakukan tilang di jalan-jalan kampung sekalipun. Nama Kasatlantas Sinjai, H. Eddy, adalah nama terpopuler kedua setelah sang Bupati.

Saya berhenti di Bukit Gojeng. Ini awalnya adalah tempat makam purbakala. Namun fosil-fosilnya sudah dipindahkan ke dalam museum. Lokasi situs purbakala ini sendiri diubah menjadi taman kota yang sangat asri dan indah. Sekelas dengan resort-resort super mahal di pulau jawa. Ini merupakan ruang publik tempat muda-mudi menghabiskan waktu, terutama di akhir pekan. Dan yang bikin saya kaget, petugas penjaga taman ini memberitahu saya, password free wifi yang bisa dinikmati di Bukit Gojeng. Masukkan saja password digojengku, anda bisa berselancar di internet sambil menikmati nuansa resort berkelas yang sangat asri.

1357061283290486734

Kota Sinjai dilihat dari bukit gojeng

13570613531955348319

keasrian bukit gojeng seperti dikelola swasta, bukan pemerintah (sumber: dok pribadi)

13570614341240036214

himbauan menjaga dari pemerintah daerah (sumber: dok pribadi)

Dari Bukit gojeng, saya menuju dataran rendah. Ada deretan pulau-pulau yang menarik perhatian saya ketika  melayangkan pandangan dari puncak bukit gojeng. Menurut warga setempat, namanya Pulau Sembilan. Ada sembilan pulau yang terpisah dari daratan utama Kabupaten Sinjai.

Saya menuju pelabuhan untuk mendapatkan speed ke Pulau Sembilan. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin tahu kondisi pulau-pulau yang terpisah dari daratan utama. Saya menuju pulau yang paling ramai, dan juga merupakan Pusat kecamatan Pulau Sembilan, namaya Pulau Kambuno.

13570615041663276668

Perkampungan nelayan di pulau Kambuno (foto: dok. pribadi)

Pulau ini dihuni oleh para nelayan. Tapi jangan bayangkan sebuah kampung nelayan yang berantakan dan kumuh. Ini jauh di luar perkiraan. Yang terlihat justru sebuah pemukiman yang sangat rapi dan bersih. Rumah-rumah panggung berjejer rapi dan gang-gang yang bersih. Hampir tidak ada rumah yang jelek, begitu juga perahu-perahu mereka yang bersandar di pinggir pulau. Persis di tengah-tengah pulau terdapat sebuah ruang publik berupa lapangan yang multifungsi. Jika diptret dari udara, akan mirip seperti stadion di tengah pulau, dikelilingi oleh rumah-rumah panggung dan tebing. Ini contoh kearifan lokal yang tidak tunduk pada keserakahan.

1357061564770267785

Suasana kampung yang asri dan bersih tidak mencerminkan perkampungan nelayan yang biasa dianggap amis dan kotor. (foto. dok pribadi)

Dulu pulau ini gelap gulita. Tidak ada listrik. Namun setelah dipimpin oleh Rudiyanto Asapa, Kambuno sudah dialiri listrik. Mekipun masih terbatas pada malam hari, namun membuat kemajuan dalam banyak hal, terutama pendidikan. Anak-anak bisa melajar dengan baik. Kehidupan pulau juga lebih semarak, dan sebagian di antara mereka justru bisa berselancar di internet. Ternyata pulau ini juga tersedia fasilitas Free Wifi yang dipancarkan dari kantor kecamatan.

Saya telusuri semua sisi pulau. Wajah-wajah cerah penghuni pulau, terutama anak-anak menghiasi setiap langkah saya menyisir pulau. Seorang anak mengajak saya melihat bangunan SMP tempat dia bersekolah. Tempatnya ada di puncak tertinggi pulau kambuno. Katanya pemandangannya sangat indah dan tak akan bisa dilupakan. Ah, saya pikir itu hanya hiperbola saja.

Saya susuri jalan  setapak menanjak yang sudah dibeton. Di kiri kanan terdapat hamparan hutan kaktus seperti di gurun pasir. Sungguh nuansa yang sangat berbeda ketika sadar bahwa ini masih di pulau tropis. Di tengah-tengah hutan kaktus, terdapat sebuah balai nikah, di puncak tebing dan menghadap ke laut. Sejenak saya layangkan pandangan. Mulut ternganga dan takjub. Hamparan laut bening dengan warna kehijauan membentang di hadapan mata. Bisa dibayangkan betapa romantisnya jika pernikahan digelar di balai nikah ini. Besarnya tidak seberapa, tapi pemandangannya akan membuat moment pernikahan sebagai kenangan yang sangat berkesan.

13570666852126611470

Pemandangan dari balai nikah pulau sembilan (foto. dok pribadi)

Tidak jauh dari Balai Nikah itu, berdiri megah sebuah SMP negeri. Klaim anak kecil tadi ternyata bukan hiperbola. Pemandangan dari ruang guru maupun ruang belajar SMP ini setara dengan resort-resort mewah di Bali. Pantai pasir yang sempit, pohon kelapa yang tidak terlalu banyak, dan hamparan laut bening berwarna kehijauan. Saya tidak tahu apakah pemandangan ini akan membuat semangat belajar bertambah atau malah membuat ngantuk.

Namun, memang harus diakui bahwa 100 persen anak-anak di sinjai sudah menempuh pendidikan dari SD sampai SMA, dan itu gratis, baik di sekolah negeri mapun swasta. Bupati Sinjai Rudiyanto Asapa sudah menerapkan kebijakan ini sejak tahun 2003. Kalau mau jujur, mungkin dia pelopor pendidikan gratis di Indonesia. Seorang Bupati yang pernah dilaporkan warganya ke polisi sebagai penculik anak, karena membawa anak-anak yang bekerja di sawah ke sekolah meski mereka tak punya seragam.  Hanya sayang, tidak ada kamera wartawan Jakarta yang mampir di sini.

13570616451140721249

SMP di pulau sembilan (foto: dokpribadi)

Menjelang sore saya kembali ke daratan Sinjai. Bersiap-siap kembali ke Makassar. Rasa tidak puas memenuhi dada. Sebab, selalu ada kejutan di setiap pelosok Sinjai. Dan itu inspirasi untuk membuat Indonesia lebih baik. Tapi sayang, pekerjaan terlalu banyak menumpuk di Makassar dan Jakarta. Suatu saat, saya pasti kembali menyusuri sisi lain daerah ini.

Sinjai memang bukan daerah ternama. Bahkan jarang ditulis media. Namun bagi yang hadir dan menikmati langsung akan segera paham bahwa ini seperti sebuah negeri yang diperintah raja bijak. Kebijaksanaan yang melahirkan ketenangan dan kesejahteraan bagi warganya

Saya dan Guru (Bag.2)

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

#1

Kerinduan dengan para guru di pondok pesantren dulu mendorong saya untuk menulis sekelumit memoar ini. Tulisan ini juga adalah untuk membayar janji untuk melanjutkan catatan bagian pertama Oktober 2011 silam. Janji adalah hutang, harus ditepati meski baru bisa terlunasi lebih dari setahun kemudian.

Kebetulan hari Minggu lalu (30/12) saya dan beberapa alumni berkunjung ke tempat KH Abdullah Syukri Zarkasyi menjalani terapi penyembuhan stroke di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Penyakit stroke terjadi pada pembuluh darah otak yang dapat menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini terjadi ketika darah yang masuk ke otak terganggu karena pembuluh darah dalam otak tersumbat oleh darah yang beku atau pecah, sehingga beberapa sel-sel saraf dalam otak tidak bisa berfungsi secara normal dan mati. Hal inilah yang menyebabkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara dan penurunan kesadaran seperti yang dialami Ustadz Syukri.

Tak terbayang, beliau yang dulu begitu gagah di podium memotivasi para santri sekarang tak berdaya. Aktivitas beliau kebanyakan dilakukan di atas kursi roda. Alhamdulillah selama menjalani masa pengobatan, sudah ada kemajuan berarti. Beberapa gerakan sederhana sudah bisa dilakukan. Beliau pun sudah bisa berucap meski tidak jelas dimengerti.

Aktivitas Ustadz Syukri buat pondok memang luar biasa. Kami mengenal beliau sebagai pimpinan yang bertugas di garda depan. Tugas beliau lebih kepada membuka jaringan dan hubungan ke berbagai kalangan. Tak heran jika beliau sering bepergian baik dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk urusan 'dalam negeri' Ustadz Hasan dan Ustadz Syamsul yang lebih banyak berperan. Berkat sinergi yang kompak inilah, pesantren kami bisa mendirikan belasan cabang di Jawa, Sumatera hingga Sulawesi. Solid luar dan dalam.

Kehadiran saya dan kawan-kawan adalah untuk mengkhatamkan al-Qur'an di kediaman sementara beliau. Kami yang berjumlah 15 orang diberi jatah masing-masing membaca satu juz. Pemimpin ritual ini adalah Farid, teman satu angkatan saya yang hafiz—hafal 30 juz al-Qur'an—sekaligus qori ulung bersuara merdu sejak semasa di pondok dulu. Sisa bacaan sejumlah kira-kira 15 juz kemudian diselesaikan oleh 'pasukan khusus' pimpinan Farid semalam suntuk hingga subuh.

Ada satu momen malam itu yang membuat hati saya terharu-biru. Sewaktu berjalan ke arah dapur, Pak Kyai yang duduk tidak jauh dari kami berusaha mengucapkan sesuatu. Beliau berdiri ditopang oleh terapis yang juga kakak kelas saya.

"Terima kasih banyak sudah datang. Mohon maaf atas jamuan saya yang ala kadarnya ini," ucapan beliau yang sekilas lebih mirip gumaman itu diterjemahkan oleh si terapis.

Saya hanya bisa mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya ingin sekali membalas ucapan beliau, "Justru kami yang berterima kasih. Perjuangan ustadz demi kami jauh lebih besar. Seharusnya kami yang minta maaf karena tidak bisa berbuat banyak buat ustadz," kata-kata ini hanya bisa saya ucapkan dalam hati.

Tercatat hanya ada beberapa orang yang menghadiri suasana melankolis saat itu. Kalau saja saya termasuk lelaki perasa, mungkin saat itu juga saya sudah menangis. Mungkin teman-teman yang ada saat itu juga merasakan hal yang sama. Keterharuan itu hanya bisa saya terjemahkan lewat tangan saya yang gemetaran memegangi piring.

#2

"Kalau kamu tidak lebih baik dari saya, lebih baik kamu tidak usah lahir, dan saya tidak usah mati! Hanya nambah jatah beras saja."

Saat mendengar ucapan ini ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi; tertawa, merenung atau tertawa sambil merenung. Itulah petuah KH Hasan Abdullah Sahal, salah satu pimpinan pesantren Darussalam Gontor tempat saya nyantri dulu. Kyai Hasan ini terkenal dengan ceramahnya yang menggugah dan suka menelurkan gurauan berupa kata-kata sederhana tapi mengena.

Di satu sisi beliau keras dalam mendidik. Tak segan untuk mendamprat santri atau guru sekalipun yang tidak disiplin. Saya dan kawan-kawan santri pernah menjadi saksi hidup omelan beliau yang menusuk hati dan mendirikan bulu roma di aula balai pertemuan. Saat itu memang kami yang salah karena datang terlambat. Ketika naik pangkat jadi ustadz, kami juga tak luput dimarahi habis-habisan.

Meski begitu, Ustadz Hasan rendah hati dan dekat dengan santri. Beberapa kali beliau turun ke lapangan sepakbola ikut bermain karena di masa mudanya beliau adalah striker handal dengan tendangan geledek. Beliau juga berjiwa seni sebagai musikus penggebuk drum atau sekadar memetik gitar. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mengundang Ustadz Hasan dalam acara yang diadakannya.

#3

Sosok pimpinan pondok ketiga yang memiliki kesan kuat adalah KH Imam Baderi yang wafat tahun 2006. Saat itu saya duduk di kelas 6—setingkat kelas 3 SLTA. Meski sudah memasuki kepala tujuh, Ustadz Badri masih energik dan sering terjun ke acara santri. Pernah di suatu pagi buta di bulan puasa, beliau sudah berdiri tegak di depan tangga mesjid merazia santri yang terlambat shalat subuh. Melihat kyai yang disegani itu, kami lari membabi buta. Kantuk langsung lenyap.

Sosok legendaris ini pernah ikut berjuang di masa penjajahan Jepang. Pada era pemberontakan PKI di Madiun pun, beliau termasuk guru yang melindungi para kyai dari kejaran komunis.

Mudah-mudahan bisa berlanjut ke bagian 3. Kapan-kapan.

Pesta Kembang Api Liar Itu Menyiksa Anakku

Posted: 01 Jan 2013 11:33 AM PST

13570644472117572304

Pesta kembang api (dokumentasi pribadi)

"Suruh kembang api dan petasannya berhenti, Papa.."Kata Tius anakku yang masih 8 tahun sambil menangis dan menutup kupingnya.

"Tidak apa-apa,itu cuma permainan cahaya saja, Tius. Tidak berbahaya dan kena kita apinya,karena jauh dari sini."Kataku berusaha menghiburnya.

"Tapi suaranya kuat sekali Papa. Tius takut,hiks..hiks."Dia menangis pelan dengan wajah sedih sekali.

"Nanti sebentar lagi selesai kataku."Waktu itu menunjukkan pukul 21.23 WIB di malam pergantian tahun dan ternyata sampai pukul 02.00 dini hari bunyi menggelegar kembang api di atas Kota Medan bukannya berkurang namun tambah ramai.

Si Tius anakku jadi tak berhenti menangis sampai akhirnya tertidur sendiri di tengah malam, mungkin karena kelelahan secara fisik maupun mental.

Walaupun belum berat,namun anakku yang pertama ini ada kecenderungan ketakutan yang berlebihan pada suara yang keras (lygirophobia), karena dulu pernah waktu usia 2 tahunan dia pernah ketakutan ada balon yang tiba-tiba meledak di dekatnya. Malah sempat dua tahun si Tius takut dengan balon, namun akhirnya tidak lagi sampai sekarang.

Tetapi kalau ada suara yang keras seperti petasan dan kembang api dia suka pucat pasi dan kalau suaranya sangat keras dia bisa sampai menangis ketakutan. Malam pergantian tahun itu kembang apinya sangat gila-gilaan. Suaranya benar-benar menggelegar seperti film perang.

Namun terkadang dia tidak terlalu takut kalau bunyi-bunyian itu terdengar saat dia bermain sepak bola atau main game di tablet punya mamanya.

Itu adalah salah satu keburukan pesta kembang api yang tidak terlokalisir dan berkuantitas serta kualitas besar seperti malam tahun baru kemarin, bisa dibayangkan berapa banyak anak-anak kecil yang akan mengalami trauma masa kecil pada suara ledakan? Padahal negeri ini tidak sedang perang?

Perlu ada kebijakan untuk lebih menertibkan lagi penjualan kembang api ini dan kalau tidak bisa dicegah pun seharusnya disarankan tempat-tempat meluncurkannya jangan di pemukiman warga.

Mudah-mudahan fobia anakku pada suara keras ini bersifat sementara dan dapat hilang sejalan dengan pertumbuhan mentalitasnya dan tidak perlu bantuan psikolog segala, cukup pendampingan dan pengertian orang tuanya saja.

Dan semoga maniak-maniak pembakar dan penjual kembang api yang tidak peduli lingkungan dan kejiwaan anak-anak dapat disadarkan oleh penyuluhan dan teguran atau kalau tidak bisa diingatkan ya dihukum saja.

1357066176788726468

(dokumentasi pribadi)

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar