Kompasiana
Kompasiana |
- Pola Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis
- Menggeser Pantat Tuhan dari Etalase Ilmu Pengetahuan
- Saya, Tiga Puluh Tahun Lalu! [3]
- Sabang, The Small Paradise
- Laskar Kroto Serbu Rumah Warga
Pola Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis Posted: 21 Jun 2012 11:56 AM PDT Pembiayaan usaha pertanian di Indonesia dalam masa globalisasi dan ancaman kekurangan pangan secara Global masih belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam hal memberikan regulasi yang tepat agar dapat menjaga kesetabilan produksi dan harga di tingkat petani. Seperti diketahui, Karakteristik usaha pertanian adalah sektor Riil, memiliki sifat usaha yang mengandung banyak resiko; kegagalan panen, mahalnya agri input, harga komoditas yang fluktuatif, dan memerlukan penangganan penyimpanan untuk menjaga stok. Hal hal ini menyebabkan analisa usaha pertanian tidak menarik untuk dibiayai oleh perbankan yang hanya bergerak di sektor moneter, bila dibiayai, proporsi penyaluran kredit hanya dilakukan dengan skema pinjamanan dengan bunga yang tinggi (bunga komersial) , atau seleksi ketat memilih usaha yang memiliki nilai komersial tinggi (high return investment) atau merupakan perpanjangan tangan (chanelling) dari program pemerintah yang dananya terbatas. Pembangunan pertanian Indonesia secara merata masih tergolong bersifat tradisional minim teknologi, situasi ini menjadi kendala dan sangat berat bila diharapkan menjadi industri pertanian yang hanya dibiayai kekuatan pendanaan lokal, menyebabkan pendapatan petani masih minim, dan penyerapan bahan baku beralih ke kota daerah lain yang padat modal dalam pengolahan bahan mentah. Keterbatasan modal ini menjadikan masyarakat lokal tidak mampu mengakses teknologi yang lebih baik dan menahan panennya untuk mendapatkan harga terbaik, terlebih juga akan menghambat kegiatan lokal yang bersifat added value untuk memenuhi permintaan kualitas pasar modern. Sejarah Pembiayaan Pertanian Desa. Di beberapa tempat, pengijon dan individu yang meminjamkan uang dengan tanpa jaminan terkadang malah menjadikan petani sebagai object pendapatan yang diharuskan membayar dengan tingkat bunga yang lebih tinggi, sehingga terkadang meresahkan masarakat, namun selalu menjadi solusi cepat pada saat yang dibutuhkan. Dalam penyaluran kredit mikronya, agar perbankan tetap mendapatkan keuntungan bunga dan tidak menyalahi peraturan, banyak perusahaan yang menawarkan sebagai avalis atau penjembatan penjaminan, dengan cara menjaminkan aset perusahaan tersebut dalam bentuk surat berharga, maupun sertifikat deposito, untuk menjadikan plafon pinjaman yang akan disalurkan kepada masaarakat dengan spread bunga tertentu. Alternatif Pembiayaan Syariah Perbedaan Pembiayaan Syariah dengan konvensional pada dasarnya adalah pada niat akad yang dilakukan, dan fungsi Bank Syariah adalah lembaga intermediasi (pengelola/mudharib) para investor penabung (wadi'ah) langsung kepada peminjam, bersifat risk sharing yang memberikan kesetaraan keuntungan dan kerugian pada penggunaan dananya, namun didalam perbankan syariah Indonesia hanya revenue sharing, bukan loss sharing karena Bank Indonesia menjaminkan kerugian dari perbankan syariah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Dari beberapa akad yang difahami dalam Perbankan Syariah adalah: NISBAH BAI' ALMUTHLAQ MUQAYYAD MUZARA'AH SHARF MURABAHAH SALAM ISTISHNA' MUDHARABAH MUDHARABAH MUQAYYADAH MUSYARAKAH MUSYARAKAH MUTANAQISAH WADI'AH WAKALAH IJARAH KAFALAH HAWALAH RAHN Menurut saya, dalam usaha pertanian yang memiliki resiko usaha cukup tinggi ada beberapa skema yang cocok untuk dilakukan dalam interaksinya terhadap petani dan pengusaha tani, sebagai contoh;
Tentunya menjadi harapan para praktisi usaha tani, apabila satu saat sentuhan Perbankan pun sampai pada lahan-lahan yang digarap. |
Menggeser Pantat Tuhan dari Etalase Ilmu Pengetahuan Posted: 21 Jun 2012 11:56 AM PDT Bagaimana cara menulis Tuhan dengan benar? Contoh: "Bagi saya "Menurut saya, Artinya, "Matahari terbit di Timur Itu baru layak Artinya Tuhan itu bukan hasil Ilmu Pegetahuan. Tapi adalah hasil keyakinan. Konstruksi pikiran dan mental. Lalu menyatakanNya dengan kalimat tegas, sebenarnya salah alamat. Itu sama artinya dengan tindakan semena-mena. Memperlakukan sesuatu yang hanya berdasarkan penghayatan sebagai sebuah Kebenaran Mutlak yang tak terbantah. Yang disebut Ilmu Pengetahuan, Tidak berdasarkan keyakinan. Apalagi perasaan Bagi saya ini dasar. Tanpa pemahaman akan hal ini, Misalnya, Masya Allah astagfirullah: Tahu darimana? Yang disebut Ilmu Pengetahuan, Artinya, setelah membuktikan segala sesuatu Artinya, Menurut saya, ini tidak bisa tidak. Ini bukan berarti saya ingin menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah segalanya Sejauh yang saya pahami, Nabi Baru |
Saya, Tiga Puluh Tahun Lalu! [3] Posted: 21 Jun 2012 11:56 AM PDT
Saya sekolah MIN cuma sampai kelas 5. Waktu naik kelas 6 harus pindah ke SD. Karena waktu itu ada semacam 'ancaman' dari dinas pendidikan kecamatan yang menegur ayah karena tidak ada satupun anaknya yang sekolah di SD, sedangkan ayah adalah guru SD. Kalian dapat bayangkan, waktu itu masa-masa orde baru (Soeharto). Sekolah agama sangat di batasi ruang geraknya. Waktu kelas 6 saya menjadi murid SD selama setahun, bertemu dengan kawan-kawan baru, sekolahnya tidak juga jauh, Cuma beda kampung saja. Ada perhatian lebih dari guru2 yang mengajar di SD itu kepada saya, karena mereka kenal dekat dengan Ayah. Saya mesti tidak bisa bandel berlebihan, demi menjaga nama baik Ayah yang guru. Selanjutnya semua adik adik saya harus sekolah di SD, tidak lagi di MIN. Sewaktu SMP sekolah juga tidak jauh2 amat dengan kampung saya, Cuma beda dua kampung saja. Kami sekolah dengan sepeda, waktu itu lagi tren-tren nya sepeda BMX, saya Cuma pakai sepeda Phoniex. Sepeda pakai ramai-ramai di rumah. waktu SMP boleh di bilang prestasi saya di sekolah, selalu dapat rangkit 3 besar, kami Cuma bersaing 5 orang yang terus tukar ganti rangking, tapi saya selalu dapat 3 besar. Dua dari teman itu adalah kawan saya waktu SD. Waktu itu pernah mewakili sekolah ikut cerdas-cermat tingkat kecamatan, bangga bukan main. Sampai di lokasi bertemu dengan dengan kawan-kawan ayah yang guru, dapat kalian bayangkan seperti apa raut wajah bahagia seorang Ayah yang melihat anaknya ikut cerdas-cermat? Aku masih bisa mengingat masa itu sampai sekarang. Hidup dikampung, kalian akan diajarkan segala macam pekerjaan sambil membantu orang tua, bagi yang jadi anak rajin pastinya. Soal bagaimana bercocok tanam yang menjadi pekebun itu memang sudah diajari sambil membantu, semua anak-anak kampung rata rata mampu kerja di sawah atau di kebun. Kami semua dapat sekolah hingga ke perguruan tinggi karena terbantu dengan biaya panen padi disawah, kalau diandalkan dari gaji Waled sebagai Guru, tentu saja tidaklah cukup. Dulu gaji guru benar-benar serba kekurangan, sekarang sudah sangat lumayan. Tetapi itu tidak jadi soal kami mesti berhenti sekolah karena gaji Waled sebagai guru tidak cukup, semua dapat diatasi dan diatur, hidup berhemat-hemat. Kami Cuma dapat uang jajan sekolah tiap pagi senin yang sudah di letakkan di meja makan, sesuai dengan tingkatan sekolah. Ngak ada uang jajan selain itu, beda dengan anak anak yang lain, dapat uang jajan juga ketika mereka pulang sekolah. Kama berpandai-pandailah kami menghemat selama seminggu. Waled beralasan, buat apa lagi dikasih uang misalnya kalau mau beli kerupuk, semua sudah ada dikios, tinggal ambil. Ramai ibu di kampung yang pandai mengatur supaya dapur bisa mengepul, keluarga bisa makan sehari tiga kali. Ibu saya orang yang paling pelit dalam soal bermewah-mewah hidup kepada anak anaknya, jarang kami dibeli mainan yang di jual di toko semisal mobil-mobilan. Tapi kalau soal kami butuh uang untuk bayar SPP atau beli buku, itu tak pernah diabaikan. Untuk mobil-mobilan seringnya kami bikin sendiri dari pelepah rumbia, ada masa dan musimnya permainan ini dikampung. Lalu dengan layang-layang, kami bisa bikin sendiri, bahkan aku ingat persis sering bikin buat anak orang lain, tentunya dengan upah seadanya. Ada musim mencari anak burung dan berketapel. Ini asyiknya bukan main. Pernah sekali dikebun tetangga kampung sebelah sewaktu kami mencari burung dengan ketapel, ada kebun mentimun. Lama kami tunggu melihat kondisi aman, kami mencuri timun-timun itu karena kehausan. Kami tak tau siapa pemiliknya. Ada 7 orang waktu itu. Sehabis makan mentium, mandi diirigasi. Bikin rakit dari pohon pisang. Ada banyak kebandelan lainya, satu persatu akan ku tulis semua sebagai ingatan kemudian kelak.[] |
Posted: 21 Jun 2012 11:56 AM PDT Pulau itu teramat kecil. Memiliki luas tidak lebih dari 118 km2. Melihat pulau itu dari Ulee Lheue, Banda Aceh, saat cuaca sedang bagus, Sabang terlihat seperti kapal yang sedang beristirahat dari perjalanan panjangnya. Nah, jika ke sana dengan mempergunakan ferry, sensasi perjalanan yang seakan sedang merayap di perut lautan, akan lebih kuat terasa. Pada 2007 lalu, saya ke kota kecil berpenduduk 35.220 jiwa tersebut. Sudah terbilang lama, karena dari tahun saat saya ke sana dengan saat ini terdapat jarak waktu sampai lima tahun. Ketika itu, bersama satu rombongan rekan-rekan pekerja kemanusiaan, kami merayap lautan dari Ulee Lheue menuju Sabang. Sebuah ferry berbadan besar mengangkut kami ke sana. Lazimnya perjalanan laut, apalagi dengan kapal besar seperti itu, kesempatan melihat panorama laut lebih terasa. Ikan-ikan kecil yang berloncatan dengan mudah akan terlihat. Pelan-pelan, Ulee Lheue yang menjadi titik keberangkatan terasa makin jauh. Persis saat sudah berada antara Banda Aceh dan Sabang, terasakan seperti ekstase. Bagi Anda yang suka merenungi alam, di titik itu akan terasakan, betapa diri kita bukanlah apa-apa. Kemahaan Tuhan akan lebih terasa. Ketika kapal sedang berjalan, karena saya sendiri adalah ureung Aceh tulen, memori saya terbawa pada masa 1996. Pada masa itu, sebuah kapal tenggelam di lautan yang sedang saya seberangi. Ratusan jiwa melayang. Aceh ketika itu didera oleh duka cita begitu mendalam. Akibat musibah yang terjadi, banyak masyarakat Aceh yang bahkan enggan untuk memakan ikan dari laut. Ingatan saya terbawa dengan kondisi di kampung, Jeuram, Nagan Raya, yang sebagian besar pedagang ikan mengeluh karena dagangannya hampir tidak ada yang laku. Banyak dari ikan itu lantas disulap menjadi ikan asin, untuk lebih awet andai pun nantinya lama baru terjual. Atau, paling sederhana, mereka membanting harga ikan menjadi jauh lebih murah dari biasanya. Atas musibah itu pula, seorang penyanyi Aceh, Alm. Doeles Marsael mengabadikan tragedi di Teluk Balohan itu dalam lirik syairnya: Meureutoeh duem nyawoeng, habeh meulayang. Meuton-ton duem barang, ka habeh binasa...(beratus-ratus nyawa musnah melayang, berton-ton harta benda musnah binasa; terj). Beberapa lama di dekade itu, arus kedatangan dan arus balik dari dan ke Sabang jauh berkurang. Tak bisa ditampik, bayangan betapa mengerikannya kejadian saat itu, lumayan memberi bekas di memori masyarakat Aceh sendiri. Tentunya, termasuk di memori saya sendiri yang lahir dan besar di tanoeh rencong itu. Penyebab Sabang sempat lama sepi seperti hilang, juga tidak lepas dari konflik yang terbilang cukup lama membungkam Aceh. Dari 1987 status Daerah Operasi Militer sudah diberlakukan diam-diam oleh rezim Soeharto. Sedang pasca reformasi 1998, masyarakat lebih banyak berpikir bagaimana agar periuk nasi mereka tetap terisi, daripada berpikir berjalan-jalan. Apalagi ke Sabang yang waktu itu terasa mahal bagi sebagian masyarakat. Tidak kurang pada awal 1999 sampai dengan 2005, Aceh kian panas dengan konflik. Untuk bepergian bisa berarti pilihan untuk mengambil risiko. Paling sederhana akan diinterogasi oleh pihak bersenjata, baik militer maupun pejuang GAM. Atau, boleh jadi juga terperangkap pertempuran yang berlangsung. Terperangkap dan diinterogasi di perjalanan ini yang saya sendiri berkali-kali mengalaminya. Begitulah, merayap di lautan menuju Sabang, tidak bisa tidak akan begitu membawa pengaruh pada pikiran untuk merenung dan berpikir. Menatap matahari sore (sunset), kekaguman pada ciptaan Tuhan menjadi kian bertambah-tambah. Kombinasi warna lautan yang membiru, dengan matahari yang beranjak tenggelam, menghadirkan lukisan-lukisan kemahaan yang cukup memukau. Tiba di pelabuhan Sabang, matahari ketika itu sudah mulai kian tenggelam. Meski saya Aceh asli, tapi itu adalah kunjungan saya pertama kali ke sana. Lazimnya di pelabuhan, hirup pikuk calo angkutan, kondektur dan pedagang begitu saja menghinggapi kuping. Wajar, jika di pikiran penduduk setempat, kedatangan tamu wisatawan, baik mancanegara maupun domestik terasakan seperti "tangan Tuhan" yang sedang membawa uang untuk pundi-pundi mereka. Hal yang sama akan Anda temukan di sini. Menumpang sudako, angkutan umum yang tersedia di sana, selanjutnya jalanan penuh tanjakan akan menjadi medan yang akan dihadapi. Bagaimana tidak, tekstur pulau itu memang berbukit-bukit dengan jalanan yang meliuk-liuk. Dari tanjakan pertama sampai menuju ke kota Sabang, Anda bisa merasakan seperti apa apiknya pulau itu tertata. Di sana Anda akan mendapati pohon-pohon yang tidak terlalu besar berjajar di pinggir jalan. Terasakan seperti serombongan pengawal ramah yang menyambut kedatangan Anda. Sedang di belakang pepohonan itu, lautan Hindia menyapa dengan debur ombaknya yang seperti tawa girang. Perpaduan suara, warna, dan cahaya yang datang dari alam di sana, dipastikan akan membawa sensasi yang sulit untuk Anda lupakan, seperti halnya juga saya rasakan. Kota ini memang memiliki sejarah panjang sekali. Ia kerap dikait-kaitkan dengan Singapore. Bagaimana tidak, jauh sebelum Singapore menjadi sebuah negara, ketika masih bernama Temasek, Sabang sudah jauh lebih dulu menjadi pelabuhan. Sebelum Perang Dunia Kedua terjadi, kota pulau ini menjadi pelabuhan paling terkenal untuk transaksi pedagang-pedagang Asia dan bahkan luar Asia. Sejak 1881—berdasar catatan sejarah Aceh—Pemerintah Belanda menjadikan pulau tersebut sebagai Kolen Station. Dari era pemerintah kolonial itu, pulau ini mulai dibangun. Bermula dari dua instansi, Sabang Haven dan Firma Delange, mereka mengajukan permohonan pada pemerintah untuk bisa membangun kawasan pulau tersebut. Persetujuan pemerintah, memudahkan mereka membenahi berbagai hal di sana. Itu sudah dimulai enam tahun kemudian, atau pada 1887. Dalam perjalanannya, usaha pihak kolonial membangun Sabang harus pupus. Terjadi ketika serangan sekutu terhadap Jepang yang menduduki kota sejak 1942. Tak pelak, banyak fasilitas harus hancur ketika itu. Kemudian berujung pada kebijaksanaan menutup kawasan itu dari kalangan luar. Apa boleh buat, belakangan, saat Temasek menjadi negara, Sabang hanya terhenti menjadi kota madya. Tak ayal, Temasek (baca: Singapore) jauh lebih familiar bagi banyak kalangan daripada pulau ini. Di pulau ini, memang Anda tidak leluasa mendapati berbagai fasilitas seperti laiknya di berbagai kawasan wisata lainnya. Di sini, Syariat Islam yang diberlakukan di Aceh, dengan sendirinya juga diterapkan di sini. Fasilitas hiburan bebas, jikapun ada, itu hanya di beberapa lokasi tertutup saja. Namun, jika menginginkan kegiatan Diving, Snorkling, dan kegiatan penjelajahan, terdapat banyak tempat yang menarik dikunjungi. Satu tempat yang paling banyak didatangi adalah Tugu Nol Kilometer. Tentu saja, ini menjadi titik paling utara Indonesia. Di kawasan menuju Nol Kilometer, jalanan yang harus dilalui memang sangat curam. Saat saya ke sana, karena kebetulan harus menyiasati hujan yang turun, tak ayal jalanan itu menjadi licin. Anda pasti tidak sulit membayangkan jalanan curam dan licin. Tentunya, di sini kewaspadaan tinggi mutlak sangat dibutuhkan. Saya dengan rekan-rekan ketika itu sempat merasakan sport jantung karena kendaraan yang kami naiki mundur sendiri saat berjalan. Kejadian yang hampir membuat kami celaka dan berisiko terlempar ke jurang dalam itu, karena ban mobil yang memang sudah tidak terlalu baik. Mungkin ini menjadi pertimbangan juga untuk Anda yang membawa kendaraan pribadi, kondisi ban harus benar-benar diperhatikan. Syukur-syukur jika tidak hujan, risiko demikian bisa terhindari. Jika tidak, nyawa pun bisa jadi taruhan. Pastinya, kita ke sana untuk berwisata, bukan untuk menyumbang nyawa. Ada banyak tawaran tempat yang lain juga di pulau ini. Tak terkecuali Gapang, Iboih, dan Pulau Rubiah. Biasanya mereka yang menyukai wisata bawah laut, akan menyambangi kawasan-kawasan tersebut. Apalagi, seperti di Gapang, sudah lama disediakan Cottage yang disewakan untuk tamu dengan harga yang bervariasi. Biasanya tidak lebih dari IDR 300.000 per malam. Nah, sebagus apapun tulisan yang bisa Anda baca tidak akan pernah bisa sama dengan pilihan untuk langsung ke lokasi. Menikmati debur ombak dan sejuknya Pulau Weh, dan sejuknya kota Sabang. Tidak terkecuali, untuk Anda yang berbulan madu, pulau ini layak menjadi sasaran. Beningnya lautan Malaka dan Hindia, mungkin menjadi inspirasi agar pernikahan Anda sebening air di lautan itu. (FOLLOW: @zoelfick) |
Laskar Kroto Serbu Rumah Warga Posted: 21 Jun 2012 11:56 AM PDT REP | 22 June 2012 | 01:49 Dibaca: 0 Komentar: 0 Nihil Baru-baru ini terjadi penyerbuan ribuan laskar kroto ke rumah salah seorang warga sebuah desa terpencil di wilayah Jawa Timur. Setelah di telusuri…hal ini akibat ulah sang pemilik rumah sendiri yang menginginkan kaya mendadak. Sebuah kamar ukuran 4 x 6 m2 memang sudah lama di siapkan oleh pemilik rumah untuk menampung kedatangan para laskar kroto. Makanan serta minuman siap di atas rak yang berderet rapi, dengan toples- toples yang bagian bawahnya di lubangi. Puluhan nampan juga sudah di isi air. Tapi herannya tetangga sekitar cuma tertawa simpul melihat kejadian ini. Baca cerita selengkapnya di http://laskarkroto.co.nr Tags: laskar kroto, laskar, krotoSiapa yang menilai tulisan ini? ARTIKEL TERKAIT |
You are subscribed to email updates from Kompasiana To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar