Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 12 Juni 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Ridwan Saidi di ILC, Menjengkelkan Malam Ini!

Posted: 12 Jun 2012 11:26 AM PDT

OPINI | 13 June 2012 | 01:25 Dibaca: 0   Komentar: 0   Nihil

Enak saja Ridwan Saidi - tokoh Betawi yang sangat saya hormati itu - bicara ceplas-ceplos di ILC malam ini. Cak Wong Plembang bae, mentang-mentang sekarang beliau menjadi jurkam-nya Alex Nudin. Ia berkata: "Yusril Ihza Mahendra buru-buru pulang karena baru punya orok….!" Memang apa salahnya merindukan bayi di rumah? Keruan saja ucapannya itu mengundang gelak tawa hadirin.  Mungkin Ridwan Saidi belum tahu kalau Yusril itu sekarang telah menjadi kompasianer!

Tapi jujur saja, ILC malam ini agak istimewa, meskipun tetap menjengkelkan. Menjengkelkan, karena Karni Ilyas tidak adil mendistribusikan waktu bicara.  Untuk mencerdaskan bangsa, semestinya waktu bicara lebih banyak diberikan kepada pakar-pakarnya, sehingga waktu yang sangat terbatas itu termanfaatkan secara maksimal. Pakar dimaksud tentulah mereka yang memiliki wawasan hukum yang matang, sekaligus memiliki sifat kengarawanan. Dengan integritas semacam itulah kita semakin memahami hukum, jiwa dan prakteknya.

Salah satu yang paling dinanti-nanti adalah pendapat dari  Kompasianer Yusril Ihza Mahendra. Tampak lelah menunggu, sampai terkantuk-kantuk, akhirnya dapat giliran ketika acara hampir usai.  Yusril memberian pandangan yang sepenuhnya saya dukung. Komisi III DPR tidak bersalah, KPK pun tidak bersalah. Karni Ilyas menyimpulkan bahwa yang salah adalah sifat bangsa ini yang menyuburkan sikap saling curiga satu sama lain.

Secara pribadi saya sendiri tidak mendukung pemindahan persidangan Wako Sumarno ke Jakarta, dengan alasan, kasus-kasus korupsi di Jakarta saja tak bisa diselesaikan oleh KPK, buat apa menarik kasus dari daerah? Bikin sumpek Pengadilan Tipikor Jakarta saja!

Kembali kepada Pak Yusril Ihza Mahendra. Sebagai sesama Kompasianer, saya ingin mengucapkan selamat atas hadirnya kebahagiaan baru di keluarga Anda.  Semoga menjadi anak yang gagah berani, pejuang hukum pula di masa depan!

Salam Bahagia!

13395252871965950065

Gub. Alex Nurdin dan Kompasianer S. Ritonga (dok pribadi)

*****

Siapa yang menilai tulisan ini?

Tak Ada Keadialan di Masa Penjajahan

Posted: 12 Jun 2012 11:26 AM PDT

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil.

Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan

Dalam perjalan saya kemarin tepatnya hari Minggu, 10 Juni 2012 saya mengunjungi Galeri Nasiaonal Indonesia di Jln Medan Merdeka Timur, Jakarta . Kebutulan dalam minggu ini, ada acara pameran ukisan moden hasil karya Raden Saleh. Beliau adalah seniman modern yang malang melintang berkarya di Eropa khususnya di Belanda, Jerman, dan Perancis kemudian kembali ke Indonesia. Beliau juga adalah seorang keturanan  bangsawan dan masih bersaudara dengan Pangeran Diponegoro.

Dari hasil karyanya, ada satu lukisan yang membuat saya tertarik, yaitu Lukisan dengan judul "Penangkapan Pengeran Diponegoro". Berdasarkan  pemandu wisata yang menjelaskan bahwa lukisan dengan judul "Penangkapan Pengeran Diponegoro" ada dua versi , yaitu versi pelukis Belanda  Nicolaas Pieneman dan versi Raden Saleh.

1339524491135689685

Dalam lukisan tersebut di gambarkan ada beberapa Penguasa Belanda(Kompeni) menemui Pangeran Diponegoro, akan tetapi Pangeran Diponegoro digambarkan sejajar dengan Orang-orang Belanda dan dengan posisi tegap yang menggambarkan bahwa Pangeran Diponegoro tidak takut kepada orang Belanda dan tetap tegar walaupun ingin ditangkap, inilah karyanya yang menjadi Masterpice.

Dari lukisan tersebut saya teringat akan sejarah, batapa kejamnya Belanda menjajah bangsa Indonesia selama 3,5 abad atau tiga ratus lima puluh tahun. Banyak tindakan-tindakan yang tidak berprikemanusiaan yang terjadi, diantaranya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Suatu system yang ditetapkan Pemerintah Belanda untuk memerintahkan rakyat Indonesia untuk menanam tanam-tanaman pokok seperti padi, jagung, ketela dan jarak. Kemudian hasil panen di jual kepeda pemerintah Belanda dengan harga yang tidak setimpal dengan persentasi 75% untuk Belanda dan untuk rakyat Indonesia 25 %. Selain itu setiap desa diwajibkan menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Bukan kah, hal-hal seperti demikian bukanlah suatu keadilan ?.

Tidak hanya  Cultuurstelsel atau Tanam Paksa saja, yang menunjukan suatu tindakan ketidakadilan terhadap bangsa Indonesia oleh Belanda. Tetapi juga ada suatu sistem yang diberlakukan pemerintahan Belanda dibidang pendidikan pada masa itu. Pemerintahan Belanda hanya memperbolehkan orang-orang tertentu yang dapat mengenyam pendidikan seperti anak bangsawan, juragan tanah, dan  orang-orang yang berderajat tinggi lainnya, sedangkan orang biasa dan orang yang kelas ekonomi kebawah tidak bisa mengenyam pendidikan. Mereka hanya dijadikan budak dan dipandang sebelah mata.

Raden Saleh  adalah salah satu orang Indonesia yang beruntung dapat menhgenyam pendidikan karena beliau adalah seorang anak keturunan Bangsawan. Bupati terkenal dan salah seorang nenek moyangnya mungkin berasal dari Arab seperti ditunjukan oleh gelar  Syarief yang tertera dalam nama lengkapnya: Raden Saleh Syarief Bustaman. Pada sebagian masa kanak-kanaknya Raden Saleh diasuh oleh pamannya, Raden Adipati Sosrohadimenggolo, Bupati Terboyo, Semarang. Ayahnya ialah Sayid Bin Alwi Bin Awal dan ibunya Raden Ayu Sarief Husen Bin Alwi Bin Awal

1339524853503451784

Beliau mengenyam pendidikan seni modern di negeri Belanda, setelah itu  ia berkelana di daratan Eropa hampir selama 22 tahun dengan mengahasilkan karya yang mengagumkan. Kemudian beliau merasa cukup untuk berkelana di negeri orang, akhirnya beliau kembali ke tanah kelahirannya yaitu Indonesia. Di Negeri sendiri pun tidak kalah dengan negeri ornag lain, beliau menghasilkan karya-karya yang mengagumkan. Salah satunya lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" yang menjadi masterpiece-nya.

Itulah masa-masa penjajahan, dijaman masa itu keadilan belum dapat dirasakan oleh bangsa ini. Akibat kekejaman dan kerakusan bangsa Lain yang menjajah negeri ini. Sekarang bangsa ini telah bebas dari penjajahan bangsa lain. Semoga keadilan dapat kita rasakan karena keadailan adalah milik bersama, sebagaimana yang tertera pada dasar negera kita Pancasila yaitu Keadilan Bagi Seluruh Rakyat  Indonesia (sila ke-4).

Kita Yatim Piatu

Posted: 12 Jun 2012 11:26 AM PDT

Yatim Piatu, menurut kamus Bahasa Indonesia berarti, sudah tidak berayah dan beribu lagi.

Mungkin basi, tulisan menjadi sekedar tulisan, jangankan tulisan, teriakan di forum resmi, media massa, bahkan di jalan sekalipun tidak merubah apa pun lagi (yang substansial).

Mulai dari yang sopan, berbahasa indah penuh kiasan, sampai caci maki, tak punya pengaruh apa-apa, selain politik, politik, politik, uang, uang, uang, kekuasaan, kekuasaan, kekuasaan.

Semua berkelit, semua bersilat lidah, semua saling menutupi, kolektif, kolektif, kolektif, tidak ada tempat untuk hitam dan putih, abu- abu, semua abu-abu, abu-abu,abu-abu, percaya mati, bahwa seumur hidup abu-abu tetap abu-abu, lupa kalau suatu kali semua menjadi abu.

Anak-anak tak lagi terurus, cari makan, cari sendiri, cari aman, cari sendiri, cari keadilan, "eitssssss…..", berani bayar berapa? Apik sekali, pernah digambarkan pada iklan sebuah perusahaan besar makanan cepat saji, anak tidak lagi mengerjakan tugas membantu orang tua tanpa pamrih (boro-boro, bantu orang tua aja pakai pamrih, apalagi bantu orang lain), uang, uang, uang, buat apa? Ya buat anak itu sendiri, kepuasan anak itu sendiri, terus didik seperti ini, terus pertahankan abu-abu, hidup abu-abu!

Lebih baik menjadi anak yatim piatu, menyadari diri bahwa kita yatim piatu, daripada bercermin pada orang tua yang tak lagi memberi perhatian, rasa aman bahkan cenderung menjerumuskan, bagaimana tidak dibilang menjerumuskan, orang tua yang memegang kekuasaan, memberi landasan bagi masa depan, sukses sekali memberi teladan untuk bersikap munafik, cari selamat sendiri, sistematis memberi pelajaran bagaimana memiliki muka badak, bagaimana memainkan kartu ketulusan palsu, bagaimana bersikap berani bertindak tapi tanggung jawab atas tindakan itu ditanggung yang lain, capek kalau menjabarkan satu demi satu trik-trik tauladan orang tua macam ini, lebih baik jadi anak yatim piatu, jelas posisinya.

Tapi kita, anak-anak yatim piatu ini, tahu orang tua tak lagi peduli (baca: pengertian yatim piatu di kamus Bahasa Indonesia - Online, tidak dijelaskan apakah tidak berayah dan beribu itu disebabkan karena kematian, minggat dan lain sebagainya), mungkinkah kita menjadi satu, membenahi, bersih-bersih rumah sendiri, setuju tetap mempertahankan landasan yang sudah disusun dan diwarisi sedemikian rupa oleh kakek, nenek,mbah buyut, moyang kita, lima dasar yang mampu membuat kita menjadi putra-putri yang berbudi pekerti luhur?

Keluarga besar tanpa ayah dan ibu………

Bahagia dalam panggang ubi

Posted: 12 Jun 2012 11:26 AM PDT

13395244711121775608

bahagia tak pernah kemana-mana

kadang dalam sepanggang hangat ubi rambat

entah dalam tumpukan bakaran daun nangka

atau dalam oven tanpa jelaga.

bisa juga dalam sebaring pada jerami

seraya menikmati redupnya sore matahari

sambil memeluk seutas benang layang-layang

atau pada sebaring sofa yang diterpa mentari senja

yang menyelinap di antara tirai-tirai tanpa warna

yang membunuh tv sepanjang petang dan hari.

bahagia tak kemana-mana

berlarian

berlompatan

antara akal budi dan hati

asal kita jangan sampai melompat pagar

dan mematik api.

Buku Porno Itu Tidak Porno! (Koreksi Berita MetroTV)

Posted: 12 Jun 2012 11:26 AM PDT

13395249202007770755

Beberapa saat yang lalu, munculnya kembali buku porno di untuk kalangan SD. Kali ini buku novel yang diketemukan di perpustakaan Purworejo. Kota tempat saya tinggal. Saya kaget dengan berita yang pertama kali mendengar dari Metro TV. Dalam hati terlintas kenapa daerah saya masuk Tv eh malah berita jeleknya. Ada keinginan saya untuk mengecek langsung ke TKP, yaitu Perpustakaan Umum Purworejo. Tapi karena waktu yang belum longgar, saya belum berkesempatan untuk mengecek langsung.

Untuk beberapa hari saya terlupa masalah itu. Dan teringat kembali ketika membuka FaceBook, ada status dari Mbak Helvi Tiana Rosa, Pendiri Forum Lingkar Pena, sebuah forum penulis yang telah mengibarkan benderanya bukan hanya di nusantara tetapi sudah sampai luar negeri. Dari situ, saya bisa tahu, ternyata buku yang diberitakan porno itu adalah buku karangan dari penulis yang sudah mempunyai nama. Penulis yang lahir dari Forum Lingkar Pena.

Di situ mbak Helvy menyatakan keheranan dan menyatakan kesaksianya bahwa apa yang diberitakan di mediam, bahwa buku buku novel berikut : Jazimah Al-Muhyi Full (Duka di Wibeng), Galang Lufityanto (Tidak Hilang Sebuah Nama) dan Intan Savitri (Syahid Samurai dan Festival Syahidah). Saya pribadi sudah membaca buku yang terakhir. Dan saya tidak menemukan ungkapan ungkapan porno di situ. Lebih lebih lagi, mereka para pengarang adalah penulis penulis yang lahir dari forum yang religius. Sangat tidak mengkin mengumbar tulisan berbau porno. Forum Lingkar Pena, sangat menekankan adanya nilai nilai agama yang taat. Jadi ada beberapa keanehan yang membikin geleng geleng kepala bagi yang tahu.

Dalam statusnya di facebook, Mbak Helvy mengatakan ada yang salah kaprah dalam hal ini.

1. Tim seleksi buku pengayaan yang ditunjuk di tingkat nasional/pemda yang memberi rekomendasi buku tersebut cocok untuk anak SD

2. Beberapa guru SD yang tidak membaca betul dan langsung menyatakan buku-buku tersebut mengandung pornografi.

3. Beberapa media yang mengutip tanpa mengecek lagi kebenaran hal tersebut.

Dalam kesaksiannya Mbak Helvy berkata. "Saya kenal secara pribadi nama-nama penulis di atas sebagai pengurus Forum Lingkar Pena di masa saya menjadi Ketua Umum dan sudah membaca semua buku yang diberitakan. Saya bersaksi bahwa tidak mungkin dan tidak benar tulisan tersebut mengandung pornografi. Sungguh aneh, buku yang salah peruntukkannya (yang bahkan bukan salah penulis dan penerbit, melainkan tim seleksi buku pengayaan) diberi stigma seperti itu. Nah buku-buku yang porno betulan malah didiamkan ck ck ck.."

Untuk langsung membaca status mbak helvy silahkan ke Mbak Helvy

Sangat disayangkan, bila masih ada para pendidik yang tidak jeli membaca dan menilai buku buku yang ada. Ironisnya ada media yang dengan sangat senang bila ada berita buruk karena akan membuat laku medianya. Tapi tanpa mengkoreksi atau melihat lebih jauh apa yang ada.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar