Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 19 Juni 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Terserah Kau Mau Apa

Posted: 19 Jun 2012 11:30 AM PDT

Awalnya

lahir bayi putih tanpa dosa

lembut kulit terasa, sejuk tangis dan rengek nan manja

pelan-pelan air kencing bercampur najis

memecah damai hati yang tak pernah gundah

satu, dua dan banyak dosa terkumpul

menggumpal aliran darah

lambat laun masuk syaraf

lelahpun tak terasa karna senangnya rasa

Ketika

dulu, kini dan nanti semakin tak segaris

Kesucian menjadi sesuatu yang tak lagi dicari

Kejujuran menjadi sesuatu yang langka

hitam putih terlihat abu abu

apa salah manusia?

Lalu

menggema siapa aku siapa kamu

dilusi dengan iri dan nista

menyumbat darah dalam otak

mengubur dalam jalan norma dan logika

membabat waras dan nalar

terbelenggu dalam napsu dan ego

penyakit yang membutakan mata hati

ada apa dengan manusia?

Apakah

harta membawamu pada nafsu tak terpuaskan

terganti sifat mulia terbenam oleh kehinaan

ikatan erat nafsu sikap perilaku manusia

baik dan benar hanya berbatas persepsi

mengapa lalu marah?

haruskah kulempar telur busuk di wajahmu?

Wajah akan selalu punya jelaga

Lalu, bagaimana kau akan menutupinya?

Andai

Tuhan tak lagi ada

Terserah kau mau apa

Bercermin Pada Diri Sendiri Tentang Budaya Korupsi

Posted: 19 Jun 2012 11:30 AM PDT

Berbicara tentang korupsi, Di Negeri ini Sesungguhnya korupsi itu telah mengakar dan menjadi bagian dari budaya kita sehari-hari. Hari ini korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,melainkan sekedar suatu kebiasaan. Meski Indonesia memiliki undang-undang pemberlakuan hukuman seberat mungkin terhadap koruptor namun nyatanya koruptor tak mampu dihentikan, para koruptor dengan bebasnya berinovasi,membangun jaringan untuk mengamankan hasil rampokannnya. Dimana jaringan korupsi sudah begitu kuat,melibatkan petinggi hingga bawahan,bahkan dilindungi orang-orang ''kuat'' negeri ini sudah terbiasa menyelesaikan berbagai pelanggaran di meja,bahkan diatas meja alias terang-terangan.

Pemberian hukuman ringan,pengurangan masa kurungan penjara,dibiarkannya tersangka koruptor berkelana di mancanegara,sudah hal biasa.. Coba kita lihat pemberian remisi kepada koruptor pada dua hari besar di Negara kita. Setelah Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 2011 para koruptor memperoleh remisi, Idul Fitri 1432 H mereka kembali mendapatkan Remisi. Kalau saya menyatakan ini adalah bentuk legalitas terselubung terhadap praktek korupsi.

Perilaku para pejabat Negara kita saat ini memang sudah sangat kelewatan, legislatif dan eksekutif dari periode ke periode selalu menghasilkan kebohongan yang terekam jelas dibenak rakyat Indonesia. Pencitraan selalu hadir dari para pejabat kita ditengah kondisi memilukan yang tengah terjadi di masyarakat. Omongan kosong selalu diutarakan di media, sehingga rakyat semakin apatis.

Melihat kondisi ini,seringkali kita bertanya siapa penyebab semua ini. Bahkan kita sering mengucap sumpah serapah ketika mereka korupsi. Tapi Jika kita bercermin pada diri sendiri bahwasanya kita (rakyat) lah penyebab perilaku korupsi dikalangan para pejabat kita. Coba kita ingat sebelum Pemilu dulu disaat para pejabat kita sekarang ini terpilih. Mereka gencar menabur janji-jani manis minta dukungan kepada kita.

Ibarat Iklan pulsa menjanjikan yang termurah, terjernih, terbanyak fasilitasnya, dan aneka janji lainnya yang menggiurkan namun ternyata di belakangnya dipenuhi syarat yang pada akhirnya pulsa tersebut tetap mahal, maka para kontestan Pemilu pun sama, memberikan janji kesejahteraan, pendidikan gratis, anti penggusuran, dan aneka janji "gombal" lainnya. Padahal di belakang hari ketika mereka telah terpilih, mereka seakan linglung akan janji-janji mereka.

Seorang kontestan dalam pemilihan di ibaratkan seperti seorang pedagang. Dimana seorang calon dalam pemilihan harus menyiapkan modal dalam jumlah tertentu untuk memulai usahanya. Dan setelah terkumpul modal, maka ia akan membagi-bagikan sembako atau selembar uang dalam amplop demi memenangkan pemilu. Dan setelah menang dan diambil sumpah sebagai pejabat adalah seperti pengusaha yang mempunyai ijin usaha. Lima tahun adalah masa kontrak tempat usaha maka dalam kurun waktu tersebut ia harus berupaya untuk mengembalikan modal awal beserta bunga dan keuntungan. Akibatnya, terjadilah proyek anggaran.

Hanya karena selembar amplop atau beberapa kilogram sembako menjelang pemilihan, Mereka kita pilih walau kita sudah tahu bagaimana sifat dan kelakuannya sehari-hari. Tentunya salah kita sendiri. Kalau kelakuan para pejabat kita demikian, tentunya kita sebagai rakyat umumnya demikian. Karena mereka merupakan representasi dari kita.

Uang yang dibagi-bagikan para calon dalam pemilihan itu bukan untuk sedekah yang pahalanya dinanti di akherat tetapi itu adalah modal usaha. Jadi wajar apabila beliau yang terhormat itu akan mengharapkan keuntungan dari usahanya. Siapa yang salah dalam hal ini atau apa yang salah dalam pemilu kita.?

Tulisan ini bukan bermaksud membenarkan perilaku korupsi para pejabat kita, Saya hanya ingin mengingatkan, mari kita mencermati memilih calon pemimpin yang akan kita pilih. Karena itu mulai dari sekarang perlu dipikirkan dan dilihat siapa sebenarnya yang paling cocok dan bisa diharapkan menjadi pemimpin yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri.

Hal yang bisa kita jadikan patokkan dalam memilih calon nantinya adalah dengan terlebih dahulu meneliti satu persatu kepribadian para calon-calonnya dan melihat "kebersihan" permainan mereka dalam kampanye. Entah itu dalam hal pendanaan kampanye, ataupun aturan kampanye lainnya. Hal ini penting dilakukan, karena secara rasional seseorang yang telah berbuat "kotor" dalam kampanyenya, maka peluang untuk berbuat hal yang sama ketika telah menjadi pejabat tentunya terbuka lebar.

Semoga dalam Pemilu nanti kita tidak termakan oleh jebakan-jebakan manis yang diobral oleh para calon-calon pemimpin yang ternyata berbuah kebohongan dibelakangnya. jangan sampai dibelakang hari menjadikan kita kembali lagi menelan kekecewaan yang panjang gara-gara salah memilih.

Judi Warisan

Posted: 19 Jun 2012 11:30 AM PDT

Kedirijaya.com, 16 Juli 2010 - Supar (36), warga Dusun Kalasan, Desa Jarak, Kecamatan Plosoklaten, dan Gatot Subroto (40), warga Dusun Goji, Desa Tempurejo, Kecamatan Wates diamankan dalam penggerebekan arena sabung ayam di Desa Jarak, Plosoklaten.
Selain mengamankan dua pejudi, petugas juga menyita sejumlah barang bukti. Diantaranya, dua ekor ayam jago, satu ember warna hitam dan uang tunai Rp 10 ribu.
Kapolsek Plosoklaten AKP Ismu Kamdaris mengatakan, penggerebekan arena sabung ayam yang berada di area persawahan itu bermula dari informasi yang diberikan masyarakat.
Polisi mendatangi lokasi dengan cara mengendap-endap. Rerimbunan kebun tebu yang mengelilingi arena, membuat para pejudi tidak mengetahui kedatangan petugas.
Para pejudi, dan penonton semburat setelah petugas menyergapnya. Mereka lari tunggang-langgang meninggalkan lokasi.
Tapi sial bagi Supar dan Gatot, mereka tidak berhasil kabur. Keduanya dibekuk petugas. Selanjutnya, pelaku beserta barang bukti dibawa ke Mapolsek Plosoklaten, untuk dilakukan pemeriksaan.
"Keduanya akan kami jerat dengan pasal 303 KUHP tentang tindak pidana perjudian dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara," pungkas mantan Kapolsek Puncu itu.

Berita ini aku baca di Internet tadi pagi, dan kemarin sore sekitar setengah empat aku berada di tempat kejadian.

*

Sebenarnya aku lebih suka duduk di kantor. Tapi kuasa apa, pekerjaan memaksa untuk terjun ke lapangan. Agak lapar perutku. Tapi aku tahan, istriku pasti sedang memasak di rumah untuk hidangan nanti malam. Perutku yang mulai mengempes tidak boleh membuat wibawaku berkurang, jadi sebisa mungkin seragam yang kupakai harus tetap rapih. Mukaku yang sedikit berkeringat aku usap pakai sapu tangan kecil yang seharian tadi sudah beberapa kali keluar dari saku.
Mobil dinas terus melaju. Mobil ini membawaku dan keempat rekan yang lain. Seorang rekan yang mengoperasikan setir nampak serius memperhatikan jalan. Di sebelahnya duduk pula rekan sejawat sedikit mengajaknya ngobrol. Nampaknya ia juga tidak mau terlalu banyak bicara. Kami bertiga duduk di belakang, leluasa mau bicara apapun.
"Nanti kamu dari selatan," kataku sambil menggerakkan tangan, "dan kamu utara." Aku melanjutkan, "Kita hampir sampai".
Desa itu masih terbelakang. letaknya berpuluh-puluh kilometer dari jalan raya utama. Sepanjang jalan makadam dipagari beluntas setinggi satu meter. Terkadang bukan beluntas, tapi pohon bambu. Kuburan, jurang, sudah beberapa kali kami lewati. Lebar jalannya pun tak lebih dari dua setengah meter. Lebar sedemikian bisa merusak cat mobil kalau sang sopir tidak menguasai medan. Dan kami yang menumpangi berpegangan kalau tidak mau salto di mobil. Ini pula alasan kenapa aku jadi berkeringat lebih. Rerumahan menghiasi sisi tepi jalan batu berlubang itu. Nampaknya hanya ada beberapa rumah dari batako atau bata. Mayoritas masih kayu, triplek. Jumlahnya pun tidak banyak seperti rerumahan yang ada di pusat kota Surabaya. Ya namanya juga jauh dari kota, pedalaman, identik dengan sawah dan tegalan (kalau tidak disebut hutan). Inilah potret ketidakmerataan pembangunan.
Kami menjadi tontonan karena naik mobil. Atau karena mobil yang kami tumpangi memang menyita perhatian? Siapa tahu. Orang-orang keluar rumah, menyaksikan mobil kami melintas. Petani di tengah sawah sejenak berhenti menanam dan berdiri menyaksikan. Kakek-kakek yang kebetulan melintasi jalan tiba-tiba berhenti dan menganggukkan kepala sejenak sambil tersenyum hormat pada kami, anak-anak berlarian di belakang ban mobil sambil berteriak, ayo ayo ayo. Balita yang masih digendongan ibunya menangis. Di depan, dibalik kebun tebu itu sudah mentok area persawahan. Mobil diparkir di salah satu pelataran rumah penduduk. Kami turun, dan segera bersiap.
Pak Daris berbincang dengan penduduk, aku dan empat rekan kerja lainnya berjalan menuju semak-semak tebu. Pistol sudah berada di pinggir kepala, dipegang dengan dua tangan. Sedikit demi sedikit kami berhasil menyibak rerimbunan pohon tebu dan mulai terdengar suara gaduh ayam dan manusia. Kami menunjukkan muka dari empat penjuru, dan kegaduhan semakin menjadi. Mereka berlari berhamburan, ayam-ayam ikut berlari, sementara kurungannya terlempar ke udara. Pistol sengaja tidak ditembakkan karena ada anak kecil di situ. Dua orang nampak kesusahan untuk melarikan diri. Seorang karena kurang keseimbangan: tangan kanannya untuk membopong balita, tangan kirinya untuk membopong ayam, sedangkan kakinya harus memilih jalan jangan sampai terperosok ke dalam tanah persawahan yang retak karena kering. Seorang lagi karena harus mengejar ayam seharga satu jutanya yang lepas. Dan keduanya berhasil diborgol ke kantor polisi naik mobil yang sama. Ayam-ayam dan si anak balita dibawa serta. Terlalu panjang untuk menceritakan perjalanan pulang ke kantor polisi. Sama saja suasananya, kecuali orang-orang yang menyaksikan mobil kami melintas tambah banyak. Nampaknya profesi sebagai polisi itu membanggakan juga, bisa jadi tontonan. Makanya ada polisi yang nekat jadi artis seperti Norman Kamaru.
Memang sejak ayam Cindelaras memenangkan pertarungan di Istana Jenggala, sabung ayam jadi ngetren di kalangan orang biasa. Mungkinkah karena mereka ingin jadi bangsawan? Bisa jadi. Ya, bisa jadi karena memenangkan taruhan berpuluh-puluh juta. Dan pikir mereka bangsawan adalah orang yang punya uang banyak. Mobil telah menginjak aspal, dan mulai terjadi pembicaraan, "Adu jago itu adat pak, mbah buyutku dulu juga adu jago, gak ono sing ngelarang!" Seorang tersangka mengguruiku. "Tapi itu melanggar hukum, itu judi! Adat jelek harus diubah!" Aku balik menggurui sambil sedikit menarik tangan kananku yang terborgol menjadi satu dengan tangan kirinya. "Hobi pak…." Kata yang lain. "Ssst….!" Sela seorang rekanku. "Memangnya orang seperti kami gak punya hak bicara pak?" Sahut yang lain lagi. "Lagipula KUHP Indonesia dasarnya apa to? KUHP penjajah, Londo! Adu Jago kok ditangkap." Dengan lancangnya ia berkata sambil memangku balitanya yang tiada henti menangis. Tau apa dia soal KUHP. Ah, dasar orang buangan, pikirku.
Jam empat seperempat mobil tahanan sudah sampai di halaman Polsek Plosoklaten. Semua barang bukti diturunkan dan dibawa masuk. Tak lama setelah kedatangan kami, dua orang ibu-ibu datang diantar dua orang laki-laki naik motor. Seorang ibu bajunya putih lusuh, memakai celana baby doll biru ¾, berperawakan hitam, kurus, pendek, rambutnya sebahu agak kusam, mukanya jarang dibedaki, dan sepertinya belum mandi. Berbeda dengannya, yang seorang lagi memakai baju panjang dan jilbab berwarna krem, berlipstick, bergelang emas besar, dan sepertinya sudah mandi. Anak balita tadi ternyata anak si ibu kurus, dan suaminya bernama Supar. Tak lain, si ibu berjilbab dan bergelang emas adalah istri dari Gatot.
Setelah mendapat balitanya dari polisi, si ibu kurus dan ibu yang satunya lagi (nampaknya mereka berdua sudah saling kenal) keluar ruangan kantor polisi. Aku tidak tahu apakah mereka pulang atau menunggui suami mereka di ruang tunggu. Supar dan Gatot segera diperlakukan sebagaimana seharusnya diperlakukan: dikorek isi mulutnya kemudian menuju ruangan selanjutnya, sel. Aku bukan petugas yang menangani masalah interview. Aku hanya menguping dari belakang petugas, yang tidak lain adalah rekan kerjaku. Beberapa bagian dialog aku dengar.
"Pekerjaan apa? Gatot," Tanya petugas.
"Bos Giro pak."
"Supar." Lanjut ia bertanya.
"manjing pak."
"Sudah lama judi ayam?"
"Sudah," Jawab Gatot.
"Sudah pak." Tambah Supar.
"Sering? Berapa kali seminggu biasanya?"
"Dua pak."
"Ya, dua kali pak."
"Alasan?"
"Kelangenan! Penghilang stress, bisa sorak-sorak, kumpul sama tetangga-tetangga."
"Tambahan penghasilan."
…………
Jam lima lebih seperempat, mereka digiring menuju ruang pengap berbahan besi, dan meringkus hingga pagi ini.

*

Aku berangkat kerja jam setengah tujuh pagi, dan tiba jam tujuh kurang seperempat. Tadi pagi aku masih ingat istriku berpesan agar aku segera pulang karena malam ini anak kami mengajak jalan-jalan. Aku duduk di ruang kerjaku, sesegera mungkin mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Termasuk browsing internet, update berita.
Seorang tamu yang tak asing masuk ke kantor, ibu-ibu berjilbab. Tapi kali ini ia tak datang sendiri, dengan seorang lelaki berperawakan gendut berjenggot. Keduanya masuk ke ruang Pak Daris. Aku, dan rekan yang lain melanjutkan saja apa yang kita kerjakan sebelumnya. Sebenarnya ingin menguping pembicaraan ketiganya, tapi sayang posisiku hanya bawahan, jadi tidak boleh menguping. Blackberryku tiba-tiba berdering. Istriku menelpon, dan aku wajib mengangkatnya, karena dia belahan jiwa! Aku keluar ruangan sebentar karena tak ingin pembicaraan kami dikuping. Dan aku pun tak mau menceritakannya pada kalian, rahasia kami berdua! Suasana pagi itu cerah, langit berwarna biru dengan mantari mulai terasa teriknya. Aku berdiri di depan pintu masuk. Dua puluh menit kami berbicara melalui telepon, sebelum kemudian aku masuk kembali ke dalam kantor dan berpapasan dengan ibu-ibu dan laki-laki berjenggot, dan seorang lagi, Gatot, pergi meninggalkan kantor polisi. Aku melanjutkan langkah masuk, namun aku lihat di sel masih ada Supar. "Ada apa?" tanyaku ke seorang rekan. "Jaminan." Jawabnya.[]

Cinta Sang Pelacur

Posted: 19 Jun 2012 11:30 AM PDT

Suryana namanya, seorang lonte paling laku di losmen tua nan kamseupay itu. Dalam satu malam ada saja yang ingin berebutan tidur dengannya tapi hanya satu pria beruntunglah yang di-ACC-kan Suryana. Uangnya melimpah karena melonte dan kehidupannya sudah mendekati mewah. Ah, Suryana… Mirisnya nasibmu menikmati kemewahan di tengah-tengah dosa.

Lain lagi cerita hidup si Doli, seorang security penjaga losmen itu, bertopengkan tempat penginapan namun aktivitas jual diri banyak di dalamnya. Doli si lelaki tampan namun nasibnya kurang beruntung karena pendidikan yang dikecapnya hanya sampai SMA, itupun di SMA yang tidak terakreditasi. Ah, Doli… Malangnya nasibmu.

"Hai…" Sapa Suryana pada suatu malam yang sangat buta dan dingin saat dia baru menuruni taksi dan berjalan genit mendekati pos satpam. Doli hanya tersenyum kecil, dalam hatinya selalu deg-degan bila bertemu Suryana walaupun itu hanya berpapasan di lobi losmen. Entahlah, mungkin Doli takut tertular penyakit kelamin yang mungkin saja diderita Suryana atau mungkin Doli menyukai Suryana? Secara Suryana lonte paling cantik di losmen tua itu.

Suryana menghisap rokoknya yang mulai habis. Doli hanya bisa duduk termangu memandangi jalanan tanpa berani menatap Suryana. Tapi kemudian diberanikan dirinya membuka pembicaraan.

"Sudah saatnya Mba Suryana pindah ke hotel-hotel berbintang," Kata Doli dengan suara yang terkesan kaku. Suryana memandang Doli dengan senyuman gelinya.

"Kok ngomong gitu? Kalo aku pindah tempat mangkal bisa-bisa aku 'ngga ketemu kamu lagi," Suryana tersenyum nakal. "Jangan malu-malu…" Sambung Suryana saat melihat Doli tertunduk dengan wajah memerah. "Kamu menarik jadi ga salah aku kepengen ketemu kamu terus. Malah berharap bisa tidur sama kamu suatu saat. Swear… Aku mau jadi pacar kamu" Suryana mencampakkan puntung rokoknya ke jalanan.

Blarrr!!! Bagai petir di siang bolong membuat Doli merasa ke-GR-an. Ah, Suryana seriusan atau tidak? Ingin dia pertanyakan, namun urung karena sesuatu yang sangat rahasia berada dalam dirinya lagipula seorang pria datang mendekati Suryana seperti sedang bernegosiasi tarif untuk malam ini.

Bukan keberuntunganku. Pikir Doli  sambil mengerucutkan tubuhnya di atas meja yang ada di pos satpam itu. Lagian, Suryana sudah berlalu ke dalam losmen tanpa permisi pada Doli. Yah, lagian si Doli siapa baginya? Hanya seorang satpam yang bodoh.

Doli tetap termangu di dalam posnya tanpa mau beranjak entah itu untuk membeli kopi ke warung sebelah. Dia masih berharap bisa melihat Suryana lagi saat sudah usai tugasnya memuaskan isi dari sempak si lelaki hidung belang. Oh, Suryana cantik, pantas saja Doli menyukainya. Tapi… Ah, tapi…

Sudah 3 jam berlalu. Entah sudah berapa lonte dan hidung belang yang berlalu lalang di depannya. Entah sudah berapa sepasang kekasih sesaat itu bertengkar karena masalah tarif dan pelayanan yang kurang memuaskan. Tapi, Doli masih tetap bertahan mengusir kantuk menunggu Suryana lewat kembali.

"Hiks…" Terdengar isak tangis dari sesosok yang berantakan berdiri tepat di pintu depan losmen dan di sampingnya terlihat lelaki yang masuk bersamanya tadi ke dalam kamar losmen. Doli sudah mengetahui hal itu, pasti lelaki yang tidur bersamanya malam ini memiliki kelainan dalam bermain seks, akhirnya yang tersiksa jadi Suryana. Terlihat di wajah cantiknya telah bercucuran airmata kesakitan.

"Makasih, yah…" Ucap lelaki itu lalu pergi meninggalkan Suryana sendirian. Suasana sepi dan jam menunjukkan pukul 5 pagi, Suryana dan Doli saling berpandangan membuat Doli kikuk.

Kadang suka dan kadang pula senang, semuanya mereka rasakan secara bergantian. Sampai cerita mereka di losmen tua terlalu banyak, akhirnya Suryana bosan dengan kehidupan malamnya dan sampai suatu ketika…

"Aku mau berhenti jadi lonte…" Kata Suryana pelan di pos satpam Doli. Doli tersenyum memandangi Suryana. Karena memang sudah seharusnya Suryana menyadari bahwa dia terlalu cantik untuk tetap bertahan jadi seorang lonte.

"Bagus, Mba…"

"Jangan panggil Mba lagi…" Katanya pelan. "Sekarang rasanya sudah terlalu lama…" Ucap Suryana dengan suara bergetar.

"Apa?" Tanya Doli.

"Aku mau jadi kekasihmu beneran… Dan jangan tolak lagi, ini entah sudah berapa kali kamu menolak. Kalau menolak, tolong kasih alasanmu yang masuk akal." Suryana terdengar tegas dan ternyata benar bahwa dari sanubarinya yang paling dalam dia betul-betul menyukai Doli.

"Tapi… Engga, Mba… Eh, Sur…" Doli terlihat gugup dan ada sesuatu hal yang tak bisa dia ungkapkan di depan Suryana namun sepertinya Suryana tetap memaksa.

"Ayolah…" Wajah Suryana memelas. "Aku dengar dari Ibu-ibu pemilik kedai kopi di seberang sana bahwa kamu pernah bercerita tentang aku. Untuk apa? Pasti kamu suka aku juga, khan?" Paksa Suryana. Doli merasa seperti terperangkap, antara perasaannya, wanita itu dan kelaminnya.

"Bilang…" Suryana terlihat tak sabaran sambil menarik-narik lengannya.

"Mba… Eh, Sur… Aku… Aku… Aku…. Ehmmm… Duh, gimana yah omongnya… Aku…" Doli masih terbata-bata.

"Apa???" Suryana melebarkan kedua bola matanya.

"Okey… Kalo memang kamu maksa, aku bakalan jujur… Aku sebenarnya…" Doli menarik napas panjang untuk sesaat. Dan… "Bu… Bu… Burung aku kecil…" Doli sudah terlanjur mengatakan hal yang memalukan itu lalu menutupi wajahnya yang malu dan penuh kesedihan. Suryana ternganga mendengar kejujuran yang menyakitkan. "Itu alasannya… Alasan aku ga bi… bisa… Puas kamu?"

Ah, yang benar saja? Burung kecil? Padahal sebelumnya sudah puluhan yang datang pada malam-malamku dan masak harus digantikan dengan Doli? Cinta sich cinta tapi realistis dong! Suryana berjalan meninggalkan Doli sendirian di pos satpam itu, bahkan tak mau lagi menjumpainya.

***

3 tahun kemudian…

Di sebuah taman bermain terlihat Doli sedang menggendong anak kecil sambil memegangi sebuah baloon. Tiba-tiba pundaknya yang lebar terketuk oleh jemari seorang wanita yang sudah memandanginya sedari tadi.

"Ya, Mba…?" Kata Doli sambil berbalik namun betapa terkejutnya dia saat yang dia lihat adalah Suryana, si lonte yang pernah membuatnya jatuh cinta.

"Kamu benar-benar Doli…" Suryana menjentikkan jemarinya. Namun Doli seperti buang muka lalu menjawab dengan ogah-ogahan. "Ya…"

"Kamu… Kamu berubah…" Suryana terheran-heran sambil memandangi anak kecil yang digendongnya. "Anak kamu?" Tanyanya lagi.

"Iya… Kenapa? Heran yah?" Tanya Doli balik dengan ketus.

Suryana tampak sedih mendapatkan sikap berbeda dari Doli yang dulu. Namun pandangannya tetap saja liar, pandangannya tertuju pada sudut celana Doli. Besar?

"Hahahaha…" Tiba-tiba Suryana tertawa. "Kamu operasi? Atau apa?" Tanya Suryana sepele.

"Tenang saja… Aku masih bersyukur, kok. Ini hanya gulungan sapu tangan yang kutumpuk-tumpuk." Wajah Doli berubah menjadi merah. Tiba-tiba ada seorang wanita datang dan dia tidak lain adalah istri Doli. Doli langsung melangkah jauh tanpa permisi pada Suryana yang terpaku memandang mereka yang penuh dengan kebahagiaan. Namun Suryana sendiri, malah mengagungkan nafsu untuk bahagia. Ah, Suryana malangnya dirimu menjadi perempuan bekas yang terlanjur sombong….

***

Thanks yah udah baca… :)

Pak Mahfud MD, Indonesia Juga Bukan Bangsa Religius

Posted: 19 Jun 2012 11:30 AM PDT

kompas.com

kompas.com

Saya heran melihat pandangan Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi di Kompas.com. "Indonesia bukan negara agama, namun Indonesia juga bukan negara sekuler. Indonesia, ungkap Mahfud, adalah negara kebangsaan yang religius. Indonesia mendasarkan gagasan filsafatnya pada Pancasila, yang menjadi idiologi hidup berbangsa dan bernegara."

Seandainya Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler. Lantas apa maksudnya dia mengatakan Indonesia negara kebangsaan yang religius. Apakah dia menganggap hal itu menjadi penengah antara bukan negara agama dan sekuler. Artinya sebagai "dialektika" dari kedua hal tersebut.

Kata religius kan sangat identik dengan keberagamaan. Nyaris jadi hal umum untuk mengasingkan kata agama itu menggunakan kata religi, religius. Jika pun tidak harus dikaitkan dengan agama, setidaknya kata bertuhan tidak akan hilang dari kata "religius" ini.

Jadi ungkapan negara kebangsaan yang religius ini, tetap saja cenderung menitik beratkan kehidupan masyarakatnya pada paham keberagamaan, atau setidaknya bertuhan (meski) tidak beragama. Dan hal itu, tidak mewadahi seluruh masyarakat. Sebab ada (tidak sedikit) masyarakat keluar dari kedua golongan tersebut, yakni tidak beragama sekaligus tidak bertuhan, atheis!

Lebih jauh lagi, pak MD ini mengkaitkan istilah kebangsaan yang religius ini sebagai gagasan Pacasila. Saya pribadi setuju, dalam 'wilayah' tertentu. Namun mengingat di Indonesia masih banyak orang-orang yang tidak bertuhan, berarti sangat jelas sekali masyarakat itu tidak masuk kategori kebangsaan yang religius, lebih tegasnya tidak Pancasialis!

Jika seperti itu, berarti ada 2 permasalah. Pertama, Sila Pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, itu sudah tidak bisa mewadahi seluruh masyarakat. Kedua, jika Indonesia mau konsisten dengan negara yang Berketuhanan YME, berarti harus ada sikap tegas pada masyarakat yang (mengaku) tidak bertuhan itu.

Pancasila adalah Dasar Negara, jika tidak ada kejelasan dan ketegasan di dalam Pancasila sendiri. Berarti negara ini sudah luntur kebangsaannya. Sebab idiologi bangsanya saja sudah tidak jelas.

Masukkah sebagai tindakan pelanggaran Pancasila bagi masyarakat yang tidak bertuhan dan tidak beragama?

Salam kenal

Admin Palsu

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar