Kompasiana
Kompasiana |
- (PM-FF) Ketika Ayam Jago Bersedih
- Photography cermin diri
- Tabloid Pulsa Edisi 235
- Kalau Situ Jadi Saya, Mau Begitu?
(PM-FF) Ketika Ayam Jago Bersedih Posted: 05 Jun 2012 11:23 AM PDT Setiap jelang diri hari Dengan kokok yang mendayu ayam jago membangunkan majikannya Dari tidur lelapnya Entah kenapa, esok Subuh berikutnya suara merdu itu tidak terdengar Dan dia memilih pulang ke Desa Rangkat Sehingga si Udin pun kesiangan " Udin Mulai esok dini hari, aku tidak mau lagi berkokok Membangunkan majikanku Karena dia sudah tidak butuh aku lagi "Ada apa ayam jago? Apakah kau sudah tidak setia, atau sakit hati Jangan kau simpan uneg-uneg dalam hatimu "Tidak Udin Aku bukan tidak setia, atau juga sakit hati Justru aku berterima sama majikanku Karena aku tidak kekurangan makan "Kalau begitu Kenapa kau tidak mau bekokok lagi "Aku bersedih, majikanku sekarang bangunnya lebih pagi dari aku Mungkin hawa nafsu duniawi telah mengalahkannya ______________________________________________ |
Posted: 05 Jun 2012 11:23 AM PDT aku terdampar di dunia entah berantah menyihir pesona ilalang imajinasi membentur purnama mati dikutuk senja yang datang menyeruak. Aku terhimpit sepi terjebak sunyi. Begitu senyap di ruang ini sungguh, kesunyian yang begitu sederhana nan indah kesunyian yang tandas, kesunyian tanpa bapal batas bersama lorong gelap yang terus memanjang tanpa ujung. Mungkin itu yang mempengaruhi sebagaian karyaku mengekspresikan diri sendiri keluar dari sebuah alam despresi. Setidaknya aku akan merasa lebih baik. Keheningan yang aku rasakan tiap kali aku mencoba mengekspresikan diri .Tanpa titik cahaya di sana aku tak melihatnya bercanda dalam kesunyian ini dan slalu berlari larian dari tembok satu ke tembok lain meraba dan terus meraba. Emotive photographer begitu aku selalu menyebutnya. In silence, you can't hide anything. As you can in words,. Gloomy and dark mungkin itu sebagian dari karakter ini. Aku mencoba mengaktualisasi dari mimpi setiap individu dan mimpi sebagai sesuatu yang absurd. Aku menyukai hitam dan putih dalam karyaku begitu juga hasil fotoku. "It tell a story. It's a both emotional and beautiful. This is what originality of black–and-white-photography is all about. BW is so powerful. Begitu juga dengan kehidupan ini bagaikan hitam dan putih. Aku bisa melihat semua kegundahan dan keinginan hati setiap manusia yang mengantarkannya pada kulminasi pemikiran dan bergerak menuju cinta sebagai pemilik individunya. Bersama fotography aku mencoba mengkolaborasi karya tulisku menjadikan keindahan sisi lain agar sepuasnya bersenggama dengan sepi. Perlahan sebuah karya mencumbuinya dengan linangan tawa dan airmata dari kerinduan dan keheningan aku menyatukan energi yang ada lantas menjadi ada dari Ketiadaan. |
Posted: 05 Jun 2012 11:23 AM PDT REP | 06 June 2012 | 00:45 Dibaca: 14 Komentar: 0 Nihil Nah, kali ini Mas Jamal ingin bagi-bagi Tabloid PULSA Edisi 235 secara gratis lho? Download di official blog Mas Jamal ya…. But, sebelum dibagikan ada baiknya Anda tahu terlebih dahulu isinya. Sayangkan kalo udah didownload ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada Tabloid PULSA edisi 235 ini tema yang diangkat adalah Cloud Storage. Sudah tahu kan apa itu Cloud Storage? Kalau nggak tahu berarti Anda kurang mengikuti tren teknologi sekarang ini. Selain membahas Cloud Storage, Tabloid PULSA edisi 235 ini juga memberikan informasi mengenai pengaruh sinyal ponsel pada keselamatan penerbangan lho. Tips-Tips pada Tabloid PULSA Edisi 235
Tes Produk pada Tabloid PULSA Edisi 235
Selain tips-tips mengenai ponsel dan tes produk terbaru, Tabloid Pulsa edisi 235 ini juga akan memberikan harga-harga ponsel terbaru, seperti harga terbaru BlackBerry, Android, dan lain-lain. Tak ketinggalan, Tabloid Pulsa edisi 235 ini juga mengadu beberapa smartphone dan tablet Android. Berikut daftar smartphone dan tablet Android yang diadu.
Ok, cukup sekian dulu postingan mengenai Tabloid PULSA edisi 235. Semoga bermanfaat. |
Kalau Situ Jadi Saya, Mau Begitu? Posted: 05 Jun 2012 11:23 AM PDT Suasana kereta api Argo Parahyangan seketika mendadak runyam. Seorang Bapak dan gadis kecil tampak dikelilingi tiga petugas kereta. Seorang kondektur, keamanan dan petugas administrasi. "Anaknya berapa tahun Pak?" tanya pak kondektur dengan maksud menyelidik. . "Empat tahun" jawaban bapak itu terdengar sedikit mengambang di udara. . "Apa Bapak tidak baca tiket. Diatas tiga tahun, harus beli tiket. Bapak didenda dua kali lipat. Jadi seratus enam puluh ribu!" suara pak kondektur terdengar sedikit tegas. . "Saya tidak baca tiket Pak. Tadi pagi saya juga naik bisnis." . Jawaban bapak itu langsung disambar pak kondektur tanpa ampun. "Tidak ada bisnis Pak. Semua eksekutif! Kereta bisnis nanti terakhir, jam sembilan." . Bapak itu beberapa kali menghela nafasnya. Wajahnya menyiratkan ragu. Keadaanya begitu sangat terjepit. . "Maaf Pak, saya tidak tahu. Di stasiun pun tidak ada pemberitahuan." sepertinya ini akan menjadi dalih yang sia-sia saja. Suara bapak itu begitu sangat pelan. . "Di stasiun ada Pak. Bapak bisa tanya informasinya." . Tak ada lagi kata yang bisa ditimpalkan pada pak kondektur. Bapak itu cuma bisa tunduk saja. . "Bapak didenda yah… atau mau diturunkan?" pak kondektur pun mengambil sikap. . Sejenak bapak itu berpikir. Sambil tengadah, dia mencoba untuk bernegosiasi. "Baik, saya akan bayar. Saya ada uang empat puluh ribu." . Pak kondektur tidak merespon ucapan bapak itu. Dia malah menengok ke arah petugas keamanan. "Turunkan di Purwakarta!" perintah pak kondektur pada bawahannya. Suaranya sedikit bergetar, seolah tengah menahan emosi. Tapi sepertinya ini bukan dikarenakan kereta sudah mencapai bekasi. *** "Sebentar Pak. Coba Bapak jelaskan maksud dari tiket ini." Dari kursi di depan Anak dan Bapak ini, tiba-tiba saja seorang pria bertanya pada kondektur. Pria itu kemudian bangkit berdiri sambil menyodorkan tiketnya. Wajah pak kondektur terlihat sedikit tidak ramah Mungkin itu karena langkahnya yang dicegat. Dengan ketus dia kemudian berucap, "Disitu jelas ditulis, –ANAK DIATAS 3THN HARUS BELI TIKET–" . "Betul Pak. Tapi sepertinya Bapak ini tidak baca. Bagaimana kalau selanjutnya, anaknya dipangku saja." Sambil menunjuk ke arah bapak yang terkena masalah, pria ini mengajukan sebuah tawaran pada pak kondektur. . "Kalau situ jadi saya, mau begitu?" sambil menyeringai, pak kondektur malah balik bertanya. Dan ini sepertinya membuat pria didepannya menjadi bingung. . Dengan memberanikan diri pria itu kemudian bersuara, "Maksudnya apa Pak?" . "Iya, seandainya situ jadi saya, situ mau bolehkan begitu?" . "Walah, bukan begitu maksud saya Pak. Mohon pertimbangannya lah Pak. Ini kan anak kecil. Kasihan lah Pak." setelah mengerti maksud dari ucapan pak kondektur, pria ini malah memohon-mohon. Sepertinya dia sadar kalo usahanya ini sia-sa belaka. . "Tidak bisa begitu. Peraturannya sudah jelas kok. Sekarang situ lihat, dibelakang sana banyak karyawan KAI, semuanya membeli tiket. Tentara juga membeli tiket. Semua penumpang harus membeli tiket. Ada kok undang-undang nya." . Pernyataan pak kondektur berhasil membuat pria itu diam. Hanya kedua matanya saja yang masih terlihat bergairah, seperti mampu menerawang jauh menembus isi kepala pak kondektur. . "Bapak itu nanti harus turun di Purwakarta!" perintah pak kondektur pada petugas keamanan. Mendengar perintah pak kondektur, pria itu kembali angkat bicara. Namun kali ini suaranya terdengar sedikit lirih dan mengiba. . "Maaf Pak. Saya mohon kebijakan Bapak. Ini anak kecil Pak. Saya mohon Pak." . "Tidak bisa. Aturannya sudah jelas." pak kondektur semakin keras mengambil sikap. . "Bapak ini akan membayar denda. Kenapa dia harus diturunkan?" tanpa jera, pria itu kembali mencoba. Dia hanya mengeluarkan apa yang terlintas dipikirannya saja. . "Silahkan situ menghadap managemen saja. Terserah mau kemana. Bapak ini harus turun di Purwakarta." suara pak kondektur semakin tidak enak didengar. Penampilannya yang berwibawa, menjadi tidak enak untuk dilihat. . "Loh kok begitu Pak? Sudah begini saja. Kalau Bapak bersikeras, tetap harus ada yang turun. Bagaimana kalau tiket saya buat anak ini, dan nanti saya yang akan turun!" sepertinya pria itu sudah mulai kehilangan harapan. Beberapa kali matanya melirik ke arah anak kecil yang tengah terlelap dalam tidurnya. Bapaknya sudah tidak bisa apa-apa lagi selain mengelus kening si kecil. . "Silahkan saja kalau Anda mau seperti itu. Saya tidak akan melarang." ucapan penghabisan pak kondektur seolah menjadi tanda habisnya persepsi yang bisa dibangun. Pak kondektur dan petugas administrasi pun berlalu menuju gerbong 3 meninggalkan seorang petugas keamanan yang tetap berjaga di gerbong 4. *** Akhirnya seorang nyonya muda angkat bicara. Dengan santun dia bertanya pada petugas keamanan itu. "Apa tidak bisa ada sedikit kelonggaran saja. Kenapa kejam sekali sih Pak?" . "Susah Bu. Kondektur yang ini memang kejam. Kemarin, ada tentara dia turunkan juga. Orangnya usah Bu. Dia tidak punya keluarga. Memang dia ini tidak disukai Bu." petugas keamanan merespon pertanyaan nyonya muda dengan antusias. . "Pantas saja. Kejam sekali!" nyonya muda ini tidak bisa menyembunyikan kegeraman hatinya. . "Saat saya tahu dia yang bertugas, saya sudah merasa tidak enak Bu. Pasti ada masalah." seolah berbicara dengan temannya, petugas keamanan ini tidak canggung untuk bicara terbuka. *** |
You are subscribed to email updates from Kompasiana To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar