Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 04 Desember 2012 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Pengaruh Profesi Orang Tua

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

REP | 05 December 2012 | 02:23 Dibaca: 4   Komentar: 0   Nihil

1354649115104159298

Semua orang tua pasti ingin anaknya mempunyai masa depan yang baik,tidak ada orang tua yang ingin anaknya terjerumus jauh dari kesuksesan seperti yang diinginkan para orang tua. Kebebasan itu hadir ketika kita melawan. Banyak anak yang masuk jurusan di perkuliahan tidak sesuai dengan yang diharapkan para orang tua. Itu dikarenakan pembangkangan seorang anak kepada orang tua dengan jaminan tingkat kreativitas yang ingin dipertaruhkan di dunia kampus nanti. Sepertinya ada juga beberapa orang tua yang ingin anaknya sukses entah dia masuk jurusan apapun. Orang tua juga ada yang otoriter terhadap anaknya,segala kemauan orang tuanya harus dipenuhi oleh seorang anak. Secara psikologis kalau itu berlawanan bisa berpengaruh sekali terhadap anak itu.

Menurut saya,tidak ada pengaruh sama sekali. Manusia itu berbeda tentunya dan itu sangat berlawanan dengan istilah "buah tidak jauh dari pohonnya" itu hanya mengambil sedikit kesamaan korelasi antara orang tua dan anak. Hanya orang tua yang punya kepentingan lewat hierarki yang biasanya ingin anaknya menyamakan apa yang pernah dilakukan orang tua. Misalnya: Orang tua mereka adalah seorang pemilik perusahaan dan punya anak satu – satunya. Pasti orang tua itu mau bagaimapun caranya anaknya itu harus meneruskan perusahaan itu dan reputasi orang tuanya juga.

Itu salah satu hambatan dalam kebebasan memilih sepertinya. Semua anak yang membangkang pasti akan membuktikan kalau mereka itu bisa memilih jurusan tanpa paksaan dari orang tua. Sekali lagi saya camkan,kebebasan itu hasil dari buah melawan. Melawan jangan dikaitkan dengan durhaka. Tapi pendekatan yang digunakan si anak kepada orang tua harus dengan persuasif tentunya serta dibalut dengan argumentatif dan rasioanal untuk membuat orang tua dan anak saling percaya dengan apa yang dipilih oleh anak.

Siapa yang menilai tulisan ini?

Aku Tak Mau Bernasib Sama Seperti Om Diego..

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

Bangsaku kini kok mirip dengan negara tetangga, maunya nerima untung tapi ga mau rugi. Om Diego itukan jauh-jauh dari Uruguay untuk bekerja, mencari uang demi sehelai roti berselai, bagi keluarga tercinta. Demi sang istri yang baru satu dan anak-anak yang baru 3, juga demi membeli obat sang mami yang sedang sakit.

Kebayang ga sich ? betapa terhinanya Om Diego, yang harus lengser keprabon, dari pemain sepakbola professional karena keterbatasan dana harus menjadi pemain sepak bola antar kampung alias tarkam.

Selama enam bulan tanpa gaji dan tunjangan, hidup yang harus menanggung makan, minum dan juga membayar biaya sewa homestay sebesar Rp.400 rb/hari. Pastinya sangat berat sekali.

Kondisi ini tentunya menjadi bahan pertimbangan sendiri bagi Om Diego untuk menahan sakit penyakitnya sekuat mungkin. Karena jangankan bayar biaya berobat, makan aja senen kemis, bahkan ketika kondisi tubuh sudah di batas maksimum kekuatannya, para sahabatlah yang setia secara sukarela menanggung dan membantu biayanya.

Aneh kan ? –kemana pejabat balkon club yang menaunginya, dan pejabat daerahnya?-

Padahal, secara logika, Om Diego sudah sangat berjasa dalam dunia persepakbolaan negara ini. Ibaratnya posisi Om Diego tidak berbeda dengan dengan posisi para TKW atau TKI diluar. Mereka sama-sama bekerja dinegara orang demi memenuhi kebutuhan hidup.

Hanya yang membedakannya, Om Diego bekerja sebagai pemain bal-balan, kalau para TKW atau TKI bekerja pada bidang selain bal-balan.

Orang bilang, kalau ada seseorang yang akan meninggal biasanya minta yang neko-neko..alias permintaannya sangat berbeda dari biasanya.

Begitupun yang terjadi pada Om Diego, mungkin karena sudah merasa bakal cabut dari dunia fana ini, khususnya Negara ini, Om Diego ngoceh minta pulang..HANYA SEKEDAR MINTA TIKET UNTUK PULANG, BERTEMU MAMA DAN MENINGGAL DIRUMAH, BUKAN DISINI..

Merinding rasanya mendengar hal ini. Konflik batin seorang kepala keluarga dan seorang anak menjadi satu. Apalagi posisinya dinegara ini hanya sebatang kara.

Pergi, meninggalkan dunia ini tanpa didampingi orang-orang yang dicintai merupakan suatu kesialan dalam hidup.

Teyus..eh salah..terus kenapa ga bisa dipenuhi keinginan itu, toh gajinya yang selama enam bulan juga belum dibayarkan, kalau hanya membeli tiket ke Uruguay kan gampang saja.

Sebagai salah seorang mantan warga Solo, kematian Om Diego tentunya sangat merugikan, selain berkurangnya pemain bola, populasi orang gantengpun menjadi ikut berkurang.

Mari kita bicara nasib para TKW atau TKI yang meninggal dinegara orang lain dengan tiba-tiba. Pastinya hal ini akan mengundang pro dan kontra, terutama dari pihak keluarga yang ditinggalkan, jangan-jangan tak lama lagi, pihak keluarga Om Diego bakal gugat PSSI atau club yang menaungi Om Diego semasa bermain di Negara ini.

Menurut saya, kejadian tragis yang menimpa Om Diego sangat mempermalukan diri sendiri. Dimana kita kerap kali gembar gembor soal pembayaran gaji para pekerja diluarnegeri tapi kenapa malah bangsa ini lupa bayar gajinya Om Diego.

-hayuuuu…lupa atau melupakan…ngaku…#bohong mandul loh-

Nah dengan kejadian ini, pasti ada beberapa pihak yang menertawakan bangsa ini.

Bahkan bukan tidak mungkin dengan kejadian yang menimpa Om Diego, akan membawa dampak pada keberadaan para pekerja devisa negara.

Bisa jadi bakal ada cibiran seperti ini.

"KATANYA HARUS ONTIME BAYAR GAJI, NAH INI LEBIH PARAH, JANGANKAN BAYAR GAJI, YANG ADA MALAH SAKIT DAN MATI"

Serem ah kalau sampai ada komentar seperti itu.

Kok jadi mikir ya…jika pembayaran gaji Om Diego saja bisa nunggak hingga enam bulan, terus gimana nasib para buruh ? gimana nasib saya yang hanya berprofesi sebagai karyawan rendahan..malah sangat rendah…ampe dlosor.

Ehmm…harapan saya, semoga bangsa ini bisa menyelesaikan perihal Om Diego, agar citra baik yang sudah dibangun, tidak menjadi hancur berkeping-keping.

Dan semoga, saya sebagai penduduk asli bangsa ini tidak bernasib tragis seperti Om Diego.

Amin.

Salam hangat sehangat baju bola

Sepakbola adalah Harapan

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

Saya tetap merasakan masih ada harapan pasca kekalahan timnas Indonesia di hadapan timnas Malaysia di ajang AFF Suzuki Cup 2012 beberapa waktu kemarin. Berbagai pihak yang bertendensi menjatuhkan kredibilitas PSSI seolah memperoleh momentum untuk melancarkan serangan. Nil Maizar sebagai coach pun tak lepas dari kritikan tajam. Bagi saya, itu bukanlah esensi dari kegagalan timnas untuk yang kesembilan kalinya dalam event prestisius level Asia Tenggara ini. Kalah bukan hal yang luar biasa di tengah harapan akan kemenangan. Bagi saya, penampilan Andik Vermansyah dan kawan-kawan kemarin patut mendapat standing applause dari seluruh bangsa Indonesia yang menyaksikan pertandingan penuh drama ini secara langsung atau melalui layar kaca televisi. Harapan saya semakin membuncah ketika membaca salah satu laman portal berita yang menyatakan PSSI akan mempertahankan coach Nil Maizar sebagai pelatih. Itu merupakan keputusan yang patut diapresiasi meskipun tidak menutup berbagai kekurangan. Saya percaya inilah keputusan yang cukup progresif. Timnas Indonesia sudah mempunyai platform yang mulai mapan dari line up yang diturunkan kemarin. Hal ini bagus untuk perkembangan timnas beberapa tahun ke depan, daripada mendambakan sebuah dream team yang tidak didasari kerelaan berkorban demi kibaran merah putih dan Indonesia Raya yang membahana sebelum detik-detik kickoff, serta doa dan harapan berjuta pasang mata yang menyaksikan secara langsung dengan militansi yang tidak setengah hati, maupun melalui saluran televisi yang membongkar mimpi untuk berhenti berimajinasi.

Trigger yang membuat saya tertarik untuk melesakkan corat-coret penuh subjektivitas ini adalah statemen kawan saya yang menyebut sepakbola adalah harapan. Harapan di tengah carut-marut politik pencitraan, kisruh KPK-Polri, Korupsi, Kemiskinan struktural, Kebanjiran, Kemacetan, Depresi menghadapi kesulitan hidup dan berbagai masalah khas negara dunia ketiga lainnya. Harapan akan kembalinya sesuatu yang bisa dibanggakan. Seperti apa yang dilakukan Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti yang berhasil mengawinkan emas dan membawanya pulang dari Olimpiade Barcelona 1992. Ibarat kapal selam, Indonesia sudah lama tidak muncul ke permukaan perairan internasional. Bangsa ini rindu sesuatu yang menginspirasi. Tidak usah jauh-jauh ke Sparta untuk menimba kisah kemenangan dramatis jenderal Leonidas atas serbuan Persia. Kita punya Ekalya yang kalah tenar oleh kedigdayaan Arjuna. Karena Arjuna terlalu mainstream dan sudah banyak dikenal, maka Ekalya perlu sesekali dimunculkan. Ekalya berasal dari suku pemburu,kasta terendah dalam dunia wayang. Ekalya punya determinasi tinggi dalam menuntut ilmu khususnya memanah. Dia punya bakat yang sangat mengagumkan bahkan kemampuan memanahnya setara dan sedikit di atas Arjuna. Suatu saat dia berniat belajar kepada Begawan Durna, guru panah yang paling handal di kalangan Pandawa dan Kurawa. Dia berjalan jauh untuk berguru, ketika sampai dia bersimpuh di hadapan Begawan Durna dan memohon untuk menurunkan ilmunya. Melihat keinginan Ekalya yang luar biasa, maka Durna pun melakukan fit and proper test. Durna pun tercengang melihat kapabilitas yang dipunyai Ekalya dan merasa khawatir karena murid kesayangannya bisa tersingkir. Durna sudah bertekad menjadikan Arjuna sebagai pemanah terbaik di dunia. Oleh karena itu, Ekalya ditolak. Dalam kekecewaan dan kesidahannya, Ekalya pergi ke hutan sendirian. Di sana ia belajar secara otodidak tentang ilmu memanah dan membuat replika Durna di sampingnya seolah-olah dia sedang ditunggui oleh pelatih sekaligus guru. Ekalya mengalami kesulitan dalam mengembangkan teknik-teknik memanahnya,bahkan tak jarang dia hampir putus asa. Berkat semangat dan ketekunan yang luar biasa dia mampu melewati proses yang sulit. Berpeluh, dan sesekali jari-jarinya berdarah karena terlalu keras mencengkeram busur dan melesatkan anak panah.

Mencermati kisah Ekalya tadi, sebenarnya Indonesia mempunyai kisah-kisah inspiratif dari folklore dunia wayang. Ini menandakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai budaya luhur. Kita ini adalah bangsa pemenang. Hanya saja politik devide et impera yang diterapkan Belanda sampai saat ini masih menurun dalam darah daging Inlander. Kita masih terpecah belah walaupun sudah merdeka. Sebagai bangsa yang tak bisa lepas dari adagium post-kolonial, sampai sekarang kita tak bisa lepas dari peran serta Belanda, apalagi jika berbicara tentang sepakbola. Sepakbola Indonesia sebenarnya sudah mulai berkembang pada akhir 1920-an. Pada saat itu sepakbola adalah mainan tentara dan orang-orang Belanda. Karena dianggap menarik, lama-kelamaan orang pribumi juga mempermainkan olahraga ini. Tidak butuh waktu lama sepakbola menjadi olahraga popular di kalangan pribumi. Karena hidup dalam masa penjajahan, sepakbola juga difungsikan sebagai alat berjuang. Sepakbola mampu mempersatukan setiap elemen bangsa pribumi untuk mencapai kemerdekaan dengan mati-matian membela Indonesia. Sungguh tragis peristiwa sejarah itu tidak relevan lagi. Atas nama tim nasional Indonesia, orang-orang yang tergabung dalam kongsi jahat bernama KPSI tidak rela jika pemain bola yang berlaga di ISL ikut bergabung membela negaranya. Bangsa lain, bahkan bangsa jin pasti tertawa menyaksikan kedangkalan jiwa nasionalisme mereka. Kita tentu ingat poster terkenal yang dirilis angkatan darat Amerika Serikat semasa Perang Dunia II. Poster itu bergambar orang tua sebagai alter ego Uncle Sam sedang mengarahkan telunjuknya. Secara psikologis kita akan merasa bangga sekaligus tertantang menanggapi ajakannya yang berbunyi We Want You For US Army.

Harapan itu muncul lagi ketika seorang Nil Maizar menjawab panggilan negara. Dengan jujur dia berani tampil di tengah cercaan secara personal dan non personal dari sejumlah pihak. Mulai dari kecaman karena timnas dinilai sebagai tim abal-abal yang tidak diisi pemain-pemain yang tidak berkualitas dan tidak terkenal hingga kapasitas dirinya melatih skuad. Dalam tekanan seperti itu, Nil Maizar sama sekali tidak gentar dan mengurungkan niatnya untuk mundur. Situasi yang dialami Nil ini mengingatkan saya pada sebuah film yang berkisah tentang American Football yang berjudul We Are Marshall. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang peristiwa kelabu di kota Huntington, West Virginia, sebuah kota kecil yang kaya akan tradisi football universitas. Bagi kota ini football bukan saja olahraga tetapi juga merupakan jalan hidup yang prestisius. Pemain, pelatih, fans dan keluarga selalu menjadi bagian dalam tim. Mereka selalu ada bagi tim kota kesangannya, Thundering Herd. Alur cerita mulai bergulir. Pada suatu ketika di tahun 1970, Thundering Herd baru saja melakoni pertandingan away di North Carolina. Saat melakukan perjalanan kembali ke Huntington, pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan naas. Sebanyak 75 anggota tim yang terdiri dari pemain,coach,direktur teknik,hingga staff tidak bisa diselamatkan. Kota kecil yang damai itu pun menangis. Sepi dan pedih menghiasi kota itu. Beberapa teman anggota tim yang selamat mencoba kembali menghidupkan tradisi football. Untuk mengenang dan menghormati rekan-rekannya. Tentu saja terjadi pertentangan untuk menemukan pelatih pengganti. Akhirnya datanglah Jack Lengyel, seorang pelatih muda yang ikut merasakan kepedihan tim. Jack membangun harapan dari anggota tim yang tersisa, ditambah lagi dengan melakukan audisi anggota baru dengan proses yang instan. Pelan tapi pasti, Thundering Herd mulai bangkit lagi dan tidak ikut terkubur dalam duka yang berlarut-larut. Kisah ini sungguh inspiratif. Orientasi Thundering Herd tidak melulu tertuju pada kemenangan. Spirit yang muncul dari lapangan tampak sebagai spirit yang hidup bagi seluruh kota. Siapapun tahu bahwa tragedi memang sulit untuk dilalui. Tetapi bukan berarti harapan itu mati. Jika kota Huntington saja bisa mengembalikan harapannya, mengapa Negara Kesatauan Republik Indonesia tidak bisa? Saya percaya harapan itu masih ada. Saya sangat setuju dengan statemen kawan saya itu, Sepakbola adalah Harapan. Sepertinya kantuk sudah menyerang dan dingin mulai menghujam. Kopi pahit pun tinggal ampas. Alunan vocal dari Richard Marx yang mendendangkan lagu berjudul Right Here Waiting tampaknya sangat pas untuk mengakhiri coretan ngawur ini.

SCHIZOPHRENIA AKAN MENJADI PARAH, JIKA TAMU MEMAKSA DIRI JADI TUAN RUMAH.

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

Is there no place for "guru/ Syaman[i]" di Gereja suku karo (GBKP) khususnya dan gereja suku lainnya di Indonesia[ii], umumnya.

"Saya dulu anggota gereja Karo (GBKP[iii]), tapi sekarang Katolik." cetus ibu Kemit dalam percakapan kami. "Wah, mengapa?" tanya saya.. "Karena gereja Karo menginginkan saya untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai yang dimengerti menduakan Tuhan."

Jawaban ini mengingatkan saya akan beberapa "dukun" yang saya wawancarai hampir satu dekade yang lalu, ketika bergumul untuk mendekonstruksi dan rekonstruksi teologia Gereja Karo. Memang tidak seorangpun yang anggota GBKP. Mayoritas mereka Islam.

Mempelajari budaya Karo bertanyalah pada para "Guru Karo.".

Mendekonstruksi dan rekonstruksi teologi gereja Karo haruslah mengunjungi kembali budayanya. "Jika mau mengenal budaya Karo, wawancarailah "guru" atau dukun Karo", karena merekalah yang sangat menguasai ritual Karo. Karena Karo beragam, maka wawancarailah guru Karo yang ada di Langkat, dataran tinggi Karo, Deli serdang dan Lubuk Pakam, agar representatif." Anjuran Anthropolog Payung Bangun inilah yang melandasi perkenalan saya dengan "ranah" ini. "Ranah" yang tak dikenal tapi dikenal.

Anjuran yang sekaligus berisi pernyataan ini menyentak saya waktu itu, bahkan hingga kini. "guru/dukun Karo" lah yang menguasai budaya Karo karena merekalah yang melaksanakan/memimpin ritual Karo.

Ritual adalah essence dari upaya penyelarasan mikro kosmos (manusia) dengan makro kosmos (alam/nature).

Ritual Karo dilakukan tidak hanya bagi siklus kehidupan manusianya saja tapi juga bagi siklus alam. Jadi semua ritual adalah penyelarasan mikro dan makro kosmos. Maka bisa dikatakan bahwa para "guru/dukun Karo" lah yang memimpin penyelarasan mikro dan makro kosmos, sehingga tatanannya in order (pada tempatnya). Pengertian (atau bisa juga kita sebut belief) seperti ini nampak di komunitas yang hidup di dan bersama alam, Komunitas seperti ini tidak mengenal konsep Tuhan yang monotheis, dosa, hidup baru, bertobat, Maranatha, dll. Jangan berpikir bahwa komunitas seperti ini hanya ada pada zaman dahulu kala. Kini juga. Mereka tersebar disana sini, di semua benua.

Dipilih Dibata,[iv] warisan atau belajar adalah cara untuk menjadi guru karo dan guru karo mempunyai peran yang sentral dalam Kepercayaan Karo, kiniteken sipemena (the original belief).

"Dari kecil saya sudah mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesorang yang akan mati." Kata ibu Kemit ketika saya tanya bagaimana ia bisa menjadi dukun. Kalvinsius Jawak dalam tesis Masternya menuliskan bahwa Guru dalam agama suku Karo adalah yang dipilih oleh Dibata Dibata (Kalvinsius Jawak. Yahweh Dan Dibata, UKSW, Salatiga, 2009). "Kemampuan yang saya miliki tidak saya gubris, apalagi bapak saya adalah Penatua[v] di GBKP. Namun di usia empat puluhan, suara bisikan makin keras di telinga saya agar saya mau jadi guru untuk mengobati orang. Tetap saja saya enggan. Akibatnya, berbagai penyakit datang silih berganti, tanpa henti, sampai bosan keluar masuk rumah sakit. Akhirnya saya menyerah dan berkata ke suara yang acap berbicara di kuping saya untuk disembuhkan dan mau bersamanya untuk mengobati manusia."

Dua tahun adalah proses ibu Kemit melewati tahap pembentukannya menjadi "guru," dimulai dari sakitnya hingga melewati kondisi yang diilihat orang "normal" hampir seperti kurang waras, dikarenakan beliau hanya berinteraksi dengan suara yang berbicara dikupingnya, yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang lain khususnya yang masih bergantung pada panca indra.

Dari cerita tentang latar belakang ibu Kemit, diketahui bahwa beliau adalah cucu dari seorang "guru karo" sehingga besar kemungkinan bahwa keberadaannya sebagai "guru Karo" kini, adalah warisan dari nenek dan sekaligus juga adalah pilihan Dibata Karo. Karena biasanya kemampuan sebagai "guru", khususnya guru mbelin[vi], diwariskan keketurunannya bergenerasi.

Peran puasa dan meditasi bagi guru karo.

"Apakah ibu acap puasa dan meditasi dalam proses dan setelah menjadi "guru"?" tanya saya. "Tidak juga" jawabnya. "Saya akan mutih atau ngebleng (jenis puasa Kejawen) jika saya sedang dalam pekerjaan mencari barang yang hilang, tapi kalau untuk mengobati penyakit, cukup suara itu yang membimbing saya. Semua obat obatan dapat diambil dari tumbuhan yang ada di Gunung Sibayak[vii]. Namun meditasi harus dijalani, karena inilah cara berkomunikasi dengan Dibata Dibata lain yang telah memilih saya."

Kegamangan GBKP dan gereja suku lainnya dalam berinkulturasi.

Dari pemaparan isi percakapan di atas ada beberapa hal yang hendak saya angkat yaitu:

1. Katolik setelah konsili Vatican II sangat terbuka dengan kebudayaan lokal, sehingga

dengan luwes berhibridisasi dengannya tanpa merasa menjual diri, walau masih

nampak akan kedominanan Kristus diatas kebudayaan lokal (Christ above culture,

Richard Niebuhr; lihat, Pengaruh Kekristenan Pada Kebudayaan Simalungun,

Kolportase GKPS, 2003.). Walaupun demikian dengan keterbukaan Katolik akan

keberadaan roh roh lokal, dan tidak mengabsolutkan bahwa roh hanyalah roh kudus,

telah memberi tempat bagi para "guru" tidak hanya dari Karo tapi juga daerah lain

untuk menjadi jemaatnya.

2. Dari hasil pertemuan Gereja-gereja Lutheran yang ada di Asia dan Afrika yang

membicarakan tentang Ancestors, Spirits and Healing in Africa and Asia: A

Challenge to the Church yang diselenggarakan di Malaysia pada tahun 2005 nampak

bahwa gereja gereja Lutheran di Afrika telah lebih dulu mampu berinteraksi dengan

keberadaan roh roh lokal dalam hal ini roh leluhur, dari pada gereja gereja di Asia.

Sayang sekali tidak ada dalam laporan konperensi itu catatan dari gereja suku lainnya

yang ada di Sumatera Utara semisal HKBP[viii], GKPI[ix] ataupun GKPS[x] yang berkonteks

sama dengan GBKP.

3. Penampakan poin 1 dan 2 di atas tidaklah terlalu mengherankan karena di AAR

(American Academy of Religion) yang saya hadiri di tahun 2011 di San Fransisco saja,

para Panelis yang berbicara tentang keberadaan dan peran roh di Indigenous People,

walau mereka sendiri adalah asli Indian Canada ataupun Amerika juga mencoba

"mengkristenkan" roh leluhurnya. Jadi tetap nampak aspek Kristus diatas kebudayaan. . Di sisi lain jika saya berdiskusi dengan para Anthropolog tentang keberadaan dan

peran roh di kepercayaan alam (nature belief), mereka memang tidak men-

"teologisasikan" roh, mereka mendiskripsikan penampakan penampakan yang ada, tapi

tidak mempercayai keberadaan dan kekuatannya. Saya pikir jika kita bertahan hanya di

phenomenology saja, pengetahuan tentang apapun tidak akan utuh dan menyeluruh.

4. Kata dipilih adalah kata Alkitab, seperti Israel dipilih oleh Allah, begitu juga nabi

Amos, Yesaya dll. Acap kata dipilih diganti oleh para hamba Tuhan kini dengan kata

dipanggil. Jadi ada suara yang memanggil. "Guru" dipanggil langsung oleh suara yang

berbicara dikupingnya. Jika hendak berkomunikasi dengan para pemilihnya (para

roh/Dibata) Guru harus bermeditasi bahkan puasa. Dengan dan melalui roh/tendi-lah

"guru" "berkomunikasi dengan roh roh leluhur dan Dibata-Dibatanya, dan dengan

roh/tendi juga kita "berkomunikasi dengan siempunya roh/tendi kita, apapun kita sebut

namaya. Metode inilah yang bisa digunakan sebagai jalan spiritualitas. Allah/ Tuhan

adalah roh. Maka jika ingin berkomunikasi dengan Allah yang adalah roh maka,

manusia harus menggunakan rohnya untuk masuk ke frekwensi roh Allah. Biasanya

dengan meditasi. Jika kita adalah yang dipilih oleh Allah, maka untuk menyatukan

frekwensi denganNya, tidaklah terlalu susah. Tapi jika pengenalan kita padaNya

melalui belajar, maka diperlukan ketekunan/disiplin dalam meditasi dan puasa untuk

menyatukan frekwensi roh kita denganNya. Melalui pengertian ini dengan mudah kita

memahami apa yang terjadi di hari Pentakosta; puasa empat puluh harinya Yesus yang

kemudian dibimbing oleh roh untuk dicobai di padang gurun; konsep tentang anak

anak roh yang banyak di injil Yohanes dan juga surat Paulus. Juga tentang mujizat

yang dilakukan Yesus dan kemudian oleh murid muridnya setelah hari Pentakosta.

5. "Guru Karo" dipilih oleh Dibata Dibata. Sebenarnya kata dan konsep Dibata bukanlah

asli kepercayaan Karo (saya tidak menggunakan kata agama Karo). Kepercayaan Karo

dulu disebut perbegu, asal kata brgu yang berarti roh atau jiwa yang kekal (Kalvinsius

Jawak). Perbegu bukan penyembah setan atau iblis atau begu ganjang, tapi yang

Menghormati atau mengakui roh, khususnya roh leluhur dan roh alam (nature spirits).

Jika begitu, bukankah sebenarnya orang Kristen juga Perbegu karena mereka

mempercayai roh Kudus?

Kata roh dalam roh kudus diterjemahkan kedalam alkitab bahas karo dengan kesah

bukan tendi[xi], sedangkan dialkitab bahasa Toba dan Simalungun diterjemahkan dengan . Tondi Parbadia dan Tondui Na Pasing (A. Ginting Suka, Jurnal Teologia Beras

Piher, GBKP). Jelas penggunaan kesah dan bukan tendi disini adalah untuk

menghindari pengertian negatif kata tendi yang dimengerti oleh orang karo akan

berubah menjadi begu jika manusia mati. Pergeseran pengertian begu dari positif

kenegatif muncul ketika konsep roh dimonopoli oleh roh kudus.

6. Mungkin karena kurangnya referensi, saya tidak menjumpai konsep kepercayaan karo

akan Tuhan seperti yang dimengerti sebagai Yahwe pencipta, juruslamat dll. Apakah

konsep Si Mada Tinuang bisa disebut asli karo? Dibata simada kuasa, sinepa langit

ras doni atau Simula Jadi na bolon, bukanlah konsep asli Karo. Pembagian atas tiga

dunia dan memiliki Dibata masing masing (Kaci Kaci, Banua Kling dst) juga bukan

asli Karo. Yang asli Karo saya pikir adalah pengertian bahwa tidak adanya pemisahan

antara dunia manusia dan dunia roh di alam semesta. Manusia, roh dan alam adalah

integral, sehingga silaturahmi berlangsung terus, walau roh berada dimensi yang

melampaui panca indra. Pengertian ini dikategorikan oleh EB Taylor sebagai

animisme. Cara pandang seperti ini biasanya tidak mengenal konsep sejarah, karena

tidak mengenal konsep waktu, jadi masa lalu, kini dan nanti saling bersinggungan.

Kemudian Hindu lah yang memberikan personifikasi pada roh roh sebagai makhluk

yang memiliki kepribadian dan akal. Inilah konsep Dibata, deva, dewa yang adalah

cikal bakal Politeisme. Konsep Terjadinya Alam Semesta yang dikenal oleh orang karo

kini (lihat blog Rudang Rakyat Sirulo) menurut saya adalah hasil hibridisasi yang

cantik setelah terjadi persentuhan antara Karo, Toba dan Hindu.

7. Pengambil alihan kata Dibata dari konsep Hindu untuk disandingkan atau

menggantikan kata ataupun pengertian begu (roh) tidak menjadi masalah bagi

kepercayaan Karo, karena inti pengertian Karo akan roh/tendi tadi masih disitu.

Karena tendi/roh adalah unsur terpenting di mikro dan makro kosmos, dan juga

sekaligus sebagai media yang menghubungkan keduanya, maka tidak heran jika peran

guru karo sangatlah penting di Karo. Apakah kemampuan menyembuhkan dan

kesembuhan yang diberikan oleh Dibata/begu Karo ini tidak sesuai dengan atau

melanggar otoritas Dibata agama agama lain, seperti Kristen atau Islam? Jika

Kristen dan Islam percaya bahwa semua yang ada di alam semesta ini baik yang

nampak maupun yang tidak nampak adalah ciptaan Tuhan/Allah, lalu bukankah

itu berarti bahwa begu/Dibata Karo juga dalam "pengawasan" Dibata Kristen dan

Islam?

"Apakah kam[xii] berpikir atau percaya bahwa Dibata Kristen "mengamini" pilihan

Dibata Karo atas ndu[xiii] untuk menjadi "guru karo" ini nde[xiv]?" tanya saya kepada ibu

Kemit di penghujung pertemuan kami. "Ya, atas persetujuan dan perintahNya lah

maka ini terjadi." Kata ibu Kemit dengan yakin. Nampak di wajahnya ekspresi

kebebasan yang tidak dikungkung oleh dogma-dogma agama kitab.

8. Siapa bisa menyangkal bahwa semua agama yang ada di tanah air Indonesia ini adalah

yang datang dari luar (import). Agama ini datang bergandengan dengan kekuasaan

dan perdagangan (kuasa dan uang, power and money). Semua agama import ini

berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Indonesia mengalami kejayaan kerajaan

Hindu sejak Kutai di Kalimantan hingga Majapahit di Jawa dengan Sumpah Palapa

Gajah Mada. Budha berhasil dengan kejayaan Kerajaan Mataram Budha dan

Sriwijayanya, candi Borobudurlah salahsatu buahnya. Islam berhasil dengan kejayaan

kerajaan Islamnya dengan Kerajaan Mataram Islam, Demak dengan wali songonya,

Samudera Pasai di Aceh. Kristen dengan Belandanya yang telah mengurasi kekayaan

ibu pertiwi dan menciptakan Belanda yang makmur kini.

Dampak dari Gerakan 30 September adalah semua orang di Indonesia harus beragama

resmi. Kepercayaan yang bersifat personal menjadi institusi yang dikontrol Negara.

Peraturan dikeluarkan dengan ancaman yang mengerikan, yang tidak beragama resmi

adalah anggota atau simpatisan PKI. Di saat inilah anggota GBKP melonjak drastis.

Mengapa pilihan jatuh ke GBKP? Karena saat itu institusi keagamaan yang ada di Karo

dan yang bernama Karo adalah GBKP. Islam ada, tapi orang Karo suka makan babi

yang diharamkan Islam. Alasan praktis, untuk perut dan keamanan diri. Sedih jika

dikatakan ini yang dibuahkan oleh roh kudus, karena dampak dari pelonjakan kuantitas

belum nampak di pelonjakan kualitas. Orang Karo yang "beriman" pragmatis

dihadapkan pada agama Kristen yang penuh dengan dogma yang complicated dan

tradisi/budaya yang kurang dikenal. Makanya agama Kristen kurang diminati orang

Indonesia yang merasa sangat nyaman dipendekatan kultural. Lalu menjadilah

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia.

Banyak orang karo yang kental dengan Perbegu lebih memilih menjadi Hindu, karena

Perbegu dan Hindu sudah menghibrid menjadi dua tapi satu. Hampir semua

kepercayaan suku menghibrid dengan halus dan mulus dengan Hindu dan Budha.

Karena Budha adalah Hindu mulanya. Tidak sejauh Kristen yang adalah transformasi

agama Jahudi. Kejawen (agama jawa) juga begitu. Jika.ketika kepercayaan Karo atau

jawa "kawin" dengan Hindu dan Budha mereka tidak merasa kehilangan identitas (jati

diri). Namun merasa "tidak berarti" ketika harus menjadi Islam apalagi Kristen.

"Pertarungan" Kejawen Hindu/Budha dengan Islam sangat nampak dipercakapan

antara Sabdo Palon dengan raja Prabu Brawijaya V. Kepercayaan Karo cukup lama

bertahan sebagai identitas Karo karena Majapahit tidak mampu menaklukkan kerajaan

Haru dan Putri Hijau di Delitua cukup lama mempertahankan keeksistenan

kerajaannya dan mampu bertahan dari pengaruh dan ancaman kerajaan Islam dari

Aceh. Namun kini, identitas Karo itu hanya dimiliki oleh segelintir orang, jika disebut

mayoritas adalah para "guru Karo." Identitas itupun harus dibajui oleh agama resmi

negara, jika mau dianggap sebagai bagian dari masyarakat.

Tamu kok mau jadi tuan rumah.

Saya ingat komentar Pdt Em. A. Ginting Suka[xv] beberapa tahun yang lalu atas satu tulisan yang dimuat di jurnal Beras Piher. "Saya menangis ketika membaca kutipan yang kam muat di Beras Piher itu" katanya. "Mengapa.Ma[xvi]" Saya balik bertanya. "Cerita itu mengingatkan saya kembali akan tempo dulu. Saya merasakan sekali cerita itu. Dan saya merasa ada di dalam cerita itu." Katanya. "Oh kata saya, jadi apakah Mama hendak mengatakan bahwa kita orang Kristen atau dirindu ini adalah seorang schizophrenia, tendi/roh ndu Karo tapi tubuhndu dan bajundu Kristen." Saya bilang. "Ya, ya dikatakannya." Artikel yang dibaca beliau adalah bagaimana satu keluarga melakukan perumah begu (upacara pemanggilan roh orang mati) untuk memanggil arwah kepala keluarga (suami/bapak) yang telah lama tidak pulang ke rumah. Masyarakat berspekulasi bahwa bapak tsb dibunuh karena anggota PKI.

Schizophrenia jika disadari tidaklah menjadi penyakit yang membahayakan. Cuma seperti duri dalam daging, ada yang tidak pas. Jika kepercayaan Karo dan kekristenan bukan seperti minyak dan air yang sama sekali tidak bisa dihibridkan, mengapa tidak berupaya mengolahnya menjadi sesuatu yang baru yang bisa digunakan sebagai identitas kekaroan. Tidak selamanya Kristus harus diatas kebudayaan. Islam sudah mencobanya, maka timbullah istilah Islam abangan dan Santri. Ada Syeh Siti Jenar. Juga Katolik sudah memulainya dengan membuka pintu bagi para "Guru" menjadi anggota persekutuan mereka. Schizophrenia akan menjadi parah, jika tamu memaksa diri untuk jadi tuan rumah.


[i] Guru Karo adalah seorang yang bukan hanya mampu mengobati penyakit tapi juga yang memimpin ritual kepercayaan Karo. Karo adalah salah satu suku di Sumatera Utara yang tidak hanya mendiami Kabupaten Karo di Sumatera Utara tapi juga menyebar di seluruh Indonesia.

[ii] Mayoritas gereja di Indonesia adalah gereja suku, sehingga penggunaan bahasa suku/daerah masih sangat dominan. Pengaruh budaya suku dalam kehidupan gereja suku itu bergantung seberapa dalam gereja tersebut mengerti akan arti gereja dan identitas mereka (inkulturasi).

[iii] GBKP adalah singkatan Gereja Batak Karo Protestan yang beranggotakan lebih dari 300.000 yang berpusat di Kabanjahe dan mempunyai jemaat dari Aceh hingga Sulawesi.

[iv] Dibata adalah kata yang diadopsi dari pemahaman Hindu akan Deva/dewa oleh tidak hanya Karo tapi uga Toba, Simalungun, dll.

[v] Penatua adalah pembantu Pendeta dalam melayani di gereja.

[vii] Gunung Sibayak adalah salah satu gunung yang ada di Kabupaten karo Sumatera Utara

[viii] Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di Pearaja, Tarutung, yang dominan bersuku Toba.

[ix] Gereka Kristen Protesta Indonesia (GKPI) berpusat di Siantar dominan dari suku Toba

[x] Gereka Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang berpusat di Siantar, suku Simalungun.

[xi] Kesah adalah nafas sedangkan tendi adalah roh yang mengaktifkan nafas dan jiwa.

[xiv] Nde, singkatan dari nande yang berarti ibu.

[xv] Mantan Ketua umum GBKP dan memimpin GBKP selama hampir 30 tahun.

[xvi] Ma, singkatan dari mama yang artinya paman dari pihak ibu.

Mata-Mata

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

OPINI | 05 December 2012 | 01:49 Dibaca: 41   Komentar: 0   Nihil

Bila Mata saja, manfaatnya jelas sebagai pelita hidup manusia, tetapi Mata-Mata adalah siapa pun yang mau melakukan pekerjaan mengawasi aktifitas dan kegiatan orang atau organisasi yang kemudian dilaporkan kepada pembayarnya, boss, majikan atau komandannya. Beberapa hari terakhir aku seperti mengalami peristiwa yang sama di tahun 1987 di mana aku ingin mementaskan teater Super Semar. Tiba-tiba di kamar ada orang yang sok kenal sok dekat. Berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang diriku. Terlalu muda bagiku saat itu, sebagai pemuda yang ingin mengupas dan angkat kisah tersebut tanpa tendensi apa pun. Jelasnya aku dicurigai sebagai pengusik macan tidur walaupun saat itu belum tahu apa-apa. Aku hanya mahasiswa yang aktif menimba ilmu, ikut aneka kegiatan di dalam amupun luar kampus. Mengamen kalau tidak punya kertas, pita tik bahkan kebutuhan primer lainnya. Target penyelidikan. Sekarang ini sudah beberapa orang tak kukenal dengan baik tapi merapat bahkan mengikuti kegiatanku. Untungnya, aku lahir, besar dan hidup di tengah penalaran dan akademisi dengan misi dan visi mulai, mendidik dan merangsang bangkitnya kesadaran menjadi Jati Diri, ingin agar 40 tahun ke depan anak-anak kita menjadi kuat karena menemukan Sariraning Pribadi. Tadi sore seorang tamuku memberi sebuah buku dan sekeping DVD Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman. Malam ini di dini hari ini tamuku menyerahkan data yang kucari. Tapi… Aku tidak mengenal mereka. Setelah minta photo bersama, tamuku pulang dan merangkulku, "saya sudah ketemu ahlinya". Baru saja tamuku berlalu, hp berdering, pesannya, ingin bertemu denganku, katanya tiba-tiba saja ingin ketemu dan sharing denganku. Ya, selagi mata kita sehat mari kita gunakan sesuai manfaat, tapi jika kita beraktifitas, hindari sebagai Mata-Mata karena kehadiran Mata-Mata tetap mengganjal di dada walau secara fisik berpelukan seperti saudara. Selamat datang, sugeng pinanggih, Mata-Mata, semoga laporanmu tidak ditambah dan dikurangi.

Siapa yang menilai tulisan ini?

kadang entahlah

Posted: 04 Dec 2012 11:35 AM PST

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar