Kompasiana
Kompasiana |
- Dongeng Perjalanan
- Aku Dipaksa Untuk Terpaksa (part 2) “sapu…. kamu dimana…?”
- Kenapa Saya Anjurkan Keluar dari Kompasiana?
- Malam-Malam Pertama Di Alam Kubur
- Keluar minimart langsung dendam kesumat
Posted: 05 Jul 2012 11:21 AM PDT Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang putri yang tertidur ratusan tahun. Aku akan memulai kisah ini dengan dongeng Putri Tertidur. Kisah putri cantik jelita yang terkena kutukan penyihir jahat. "Jalur 5" kata petugas stasiun kereta api Bandung saat ku tanyakan kereta yang menuju Jakarta malam ini. Jarum jam di tanganku menunjukkan 7.32, sempat terpikir tak adalagi kereta yang berangkat ke Jakarta di jam seperti ini. Eks – 2 / 11C. Itu dia, deretan ketiga dari depan. Aku akhirnya menemukan kursi ku setelah melewati beberapa koridor gerbong. Ini kali pertama aku naik kereta Bandung – Jakarta, bukan sesuatu yang luar biasa memang, sebab ini kali kedua ku menginjakkan kaki ditanah Paris Van Java, tanah berdiamnya para Mojang Priangan nan Geulis. Kepalaku liar berputar mengikuti keinginan mata, belum banyak kursi yang terisi, dari jendela tampak suasana sepi diluar gerbong. Ku raih tas Daypack kusamku. Tak jadi, ku urungkan niat mengeluarkan kamera DSLR yang baru kubeli tiga hari lalu. Tak ada objek menarik. Tak ada alasan kuat untuk mengeluarkannya. "Permisi mas" Penumpang lain datang. Rupanya Chairmate ku. "Mari mbak, silahkan" Penumpang lain terdengar mulai berdatangan, kepala ku enggan berpaling ke belakang, tak senakal tadi, saat aku masih sendiri dikursi ini. "Perjalanan ke Jakarta berapa jam ya?" "Mas dari Jakarta?" sambungnya. Percakapan kami dimulai, aku yang pertama berinisiatif. *** Kereta mulai berjalan. Diluar tak ada objek menarik untuk menghibur perjalanan panjang ini. Gelap, titik-titik lampu kecil yang jarang-jarang tampak membias karena laju gerak kereta. "Dee ya?" kembali aku berinisiatif, merujuk ke buku yang ada di tangannya. "Iya" "Ini seri yang mana?" "Petir" Dan basa-basi pun kembali bergulir. Yang namanya basa-basi, tak pernah jelas arahnya, dan memang susah memperjelas topik pembicaraan dengan orang yang baru anda kenal. Ah, aku berpikir akan lebih tidak jelas lagi jika kedekatan kurang dari 10 centimeter ini dilewati dengan diam, selama tiga jam pula. Dee, Madre, Filosofi Kopi, Ayu Utami, Saman, Larung, Hachiko, Kos-kosan, Bromo, Backpacker, semua bercampur aduk. Ia tertairk bertanya tentang aktifitasku, aku malah ingin bertanya lebih jauh tentang koleksi bukunya. Namanya juga basa-basi. Dan titik buntu itu kembali menghadang. Aku menguap beberapa kali, sudah beberapa malam ini aku begadang semalaman menyusuri kanal-kanal penjualan aksesoris kamera online. Ia pun menguap, juga beberapa kali, namun masih menatap baris-baris kalimat dalam buku ditangannya. Aku tertidur. *** Menurut legenda, putri tertidur hanya bisa dibangunkan oleh pangeran tanpan nan baik hati yang menciumnya. Aku tak bertemu putri itu dalam mimpiku, namun aku menemukannya saat terbangun. Sang Putri, dengan gaun merahnya yang anggun tampak hikmad tertidur. Tak ada tanda-tanda sang pangeran akan datang membangunkannya. Semua penghuni istana ini tampaknya kelelahan, dan tertidur. Kembali ku raih tas Daypack kusamku. Kali ini ada alasan kuat untuk mengeluarkan kamera DSLR yang baru kubeli tiga hari lalu. Ada objek. Dan menarik. *** Tak ada yang tahu siapa dan kapan sang pangeran akan datang mengakhiri kutukan penyihir jahat. Tapi aku tak ingin kameraku bertindak sebagai pangeran. Kupalingkan pandanganku keluar jendela. Masih sama. Titik-titik lampu kecil yang jarang-jarang masih tampak membias karena laju gerak kereta. Senyum kecilku tertahan. Ku rebahkan berat badanku disandaran kursi. Bandung nan Geulis, dan perjalanan perdana yang berkesan. |
Aku Dipaksa Untuk Terpaksa (part 2) “sapu…. kamu dimana…?” Posted: 05 Jul 2012 11:21 AM PDT |
Kenapa Saya Anjurkan Keluar dari Kompasiana? Posted: 05 Jul 2012 11:21 AM PDT OPINI | 06 July 2012 | 01:10 Dibaca: 1 Komentar: 0 Nihil Kenapa saya juga menulis tentang cara logout atau keluar dari situs Kompasiana? Apa akibatnya? Nah jika itu yang terjadi, apa yang akan anda tanggung? Jika anda sudah paham manfaatnya demikian, maka biasakanlah untuk logout. Carilah tampilan seperti gambar diatas. Sesuai fitur dan template Kompasiana saat saya menulis postingan ini maka letaknya pada pojok kanan atas. Maka kliklah tombol LOGOUT tersebut setiap anda ingin keluar atau mengakhiri aktivitas anda di situs Kompasiana. Jika yang muncul tampilan seperti ini, maka itu tandanya anda sudah berhasil keluar. Karena tampilan menu navigasi akun anda semula sudah berganti menjadi menu navigasi Registrasi dan menu Login atau Masuk. Selamat mencoba! EA Sadar Siapa yang menilai tulisan ini? ARTIKEL TERKAIT |
Malam-Malam Pertama Di Alam Kubur Posted: 05 Jul 2012 11:21 AM PDT OPINI | 06 July 2012 | 01:07 Dibaca: 17 Komentar: 4 1 dari 2 Kompasianer menilai inspiratif Saat ini, mungkin kita masih bisa bernafas. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa beberapa saat ke depan kita masih bisa melakukannya?. Takkala kematian datang, tak ada satu pun yang dapat menghentikannya. Kematian tak pernah terlalu cepat atau telalu lambat. Ia senantiasa hadir tepat waktu. Lalu, sebelum masa itu benar-benar tiba, pernahkah kita melihat betapa sempit dan dalamnya liang lahat?. Membayangkan betapa gelap dan mendebarkannya suasan dalam kubur?. Serta bagaimana nasib kita, yang selama hidup selalu penuh noda dosa dan nista?. Sungguh, itulah malam2 yang mendebarkan dan penuh misteri, yaitu episode alam akhirat pertama dalam kehidupan kita yang kedua. Gelap…Sunyi…Sendiri…Dingin…Tanpa sanak saudara, hanya cacing serta serangga yang siap melumat jasad kita. Kemana rumah megah kita?, dimana keluarga tercinta kita?. Adakah teman kita menemani?. Tidak kawan…semuanya kita tinggalkan. Hanya amal shalih sebagai lilin penerang kita di malam2 pertama dan selanjutnya dalam kubur. Jadi, akankah malam2 pertama kita menjadi Surga atau Neraka?. Tak ada yang tahu. Hanya kita harus bersiap, sebab Malam-Malam Itu Pasti Akan Menghampiri Saya, Anda Dan Kita. Salam Tombo Ati. Selamat menikmati hidangan. Siapa yang menilai tulisan ini? 2 Inspiratif Aktual ARTIKEL TERKAIT |
Keluar minimart langsung dendam kesumat Posted: 05 Jul 2012 11:21 AM PDT OPINI | 06 July 2012 | 01:06 Dibaca: 0 Komentar: 0 Nihil (Judul diatas biar agak dramatis aja kesannya) Kamis, 5 Juli kemarin saya berniat menuju arah Cileunyi dari Bandung. Sehingga melalui tol Pasteur keluarlah saya menuju Cileunyi. Lumayan macet (bukan lumayan, tapi emang macet gara-gara ada truk terbalik) dan penuh debu, akhirnya kami memutuskan untuk stop di sebuah rest area yang (sepertinya) hanya satu-satunya di tol tersebut. Rest area 147 (kalau tidak salah) ini dipenuhi bangunan berwarna ungu dimana-mana. Ketika tiba saatnya saya mengunjungi mini mart, alih-alih keluar dengan wajah senang, malah cemberut yang didapat. Alasannya cukup banyak (untuk sebuah minimart):
Keluar-keluar sudah tidak nafsu makan snack dan minum minuman dingin yang dibeli (meskipun tetap saja dimakan, hehe). Tapi saya tetap harus memakai obat tetes mata (dengan 'pajak' sebesar 4000 itu) karena, yah…jalanan masa kini penuh sekali dengan debu ;) Muahalnya rekk! *masih kesal* Any thoughts? Siapa yang menilai tulisan ini? ARTIKEL TERKAIT |
You are subscribed to email updates from Kompasiana To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 komentar:
Posting Komentar