Berbicara tentang kemiskinan, tentu tidak terlepas berbicara tentang kehidupan, ekonomi,pendidikan, agama dan kebudayaan. Kemiskinan konotasinya adalah kekurangan,kemelaratan,ketidak mampuan, dan ketidak punyaan.
Kita sering membicarakan tentang kemiskinan, sejak dunia terbentang kata miskin sudah kerap menemani dalam pembicaraan manusia, sehingga kata miskin bukan barang baru lagi ditengah tengah kehidupan manusia yang sepanjang masa terus saja menemani kehidupan kita. Bahkan definisi dari kemiskinan itu semakin meluas, baik itu dalam skala kemiskinan ukuran pemerintah, maupun dari sudut pandang masyarakat.
Kemiskinan dalam sudut pandang pemerintah diukur dari pendapatan perkapita masyarakat,konsumsi, pendidikan dan kebudayaan. Misalnya dalam penerimaan bantuan dari pemerintah seperti bantuan Ansuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), Ansuransi Kesehatan Madani, Bantuan Beras bagi masyarakat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah diterima oleh masyarakat miskin per tiga bulan sekali dan bantuan lain sebagainya yang diberikan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dari sudut pandang ekonomi.
Kemudian bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk dunia pendidikan, seperti Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM) Bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan, sampai kepada beasiswa bagi siswa miskin dan sekolah gratis bagi siswa miskin.
Dalam pemberian bantuan ini pemerintah menetapkan peraturan yang harus dipenuhi oleh sipenerima. Salah satu peraturan itu adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah, makan hanya dua kali sehari dengan mengkomsumsi lauk pauk tahu dan tempe, rumah gedek yang berlantaikan tanah dan sanitasi air bersih yang tidak memadai, mandi cuci kakus (MCK) yang minus dan beberapa persyaratan lainnya.
Tentu timbul pertanyaan bagi kita, terpenuhikah kreteria yang diterapkan oleh pemerintah itu?, tentu jawabnya sudah pasti tidak!, karena realita dilapangan yang kita lihat berbeda dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Masyarakat yang menerima bantuan itu kebanyakan adalah masyarakat yang bukan miskin, tapi mengaku miskin ketika ada penyaluran bantuan.
Masalah kemiskinan Bukan saja kita sebagai bangsa negeri ini sering mengucapkan kata kata miskin, pemerintah negeri ini juga sering mengucapkan kata kata miskin dengan polesan bahasa manis memberantasan kemiskinan, benarkah pemberantasan kemiskinan telah berjalan sehingga rakyat miskin dinegeri ini jumlahnya semakin berkurang seperti apa yang diungkapkan oleh Badan Pusat statistic yang menyebutkan setiap tahunnya masyarakat miskin Indonesia terus berkurang ?
Data terakhir yang dikeluarkan oleh BPS Sumatera Utara tentang jumlah masyarakat miskin di Sumatera Utara pada Maret 2012 Penduduk Miskin Sumatera Utara hanya tinggal ± 1.421.400 Kepala keluarga dari jumlah penduduk sumatera Utara tahun 2012 sebanyak ± 43.000.000. jiwa Kita bersyukur jika apa yang diungkapkan oleh BPS itu benar, artinya program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan telah menampakkan hasil yang baik. Akan tetapi benarkah demikian adanya?, sulit memang kita untuk menjawabnya, karena bagaikan benang kusut diurai yang satu berbelit yang lain.
Pada kenyataan yang kita l;ihat sehari hari dikota kota besar seperti Medan, kita masih menemukan pemandangan yang miris, para orang miskin yang berpacu mengejar waktu untuk mencari sesuap nasi masih terlihat dipersimpangan jalan dibawah lampu lampu traficklaek yang berwarna hijau merah kuning seakan mencerminkan pengejawantahan dari sebuah kehidupan orang orang miskin diperkotaan. Lantas bagaimana pula dengan masyarakat yang berada dipedesaan yang kehidupannya dibawah garis kemiskinan, tentu keadaannya sama saja, sebab kota adalah bias dari sebuah kehidupan didesa.
Kehidupan masyarakat miskin pedesaan tentu lebih parah dengan kehidupan masyarakat perkotaan. Masyarakat miskin pedesaan hidup berkelompok dipemukiman yang kumuh dan jorok tampa sanitasi air yang bersih. Salahkah mereka dalam menjalani kehidupannya sebagai orang miskin? Tentu jawabnya tidak. Lantas siapakah yang salah, yang salah adalah kita sebagai orang kaya yang mengaku miskin. Dengan pengakuan kita sebagai orang miskin, kita telah merampas hak hak orang miskin. Terutama dalam hal penyaluran bantuan.
Senang Terhadap Kemiskinan :
Sebagai bangsa yang besar, hidup di Negara khatulistiwa, negeri yang dijuluki ratna mutu manikam, masyarakatnya tata tentram tata raharja, gemah ripah loh jenawi merasa senang di sebut sebagai bangsa yang miskin. Hal itu dapat dibuktikan dengan masuknya barang barang bekas dari Negara tetangga Malaysia kenegara Indonesia, seperti pakaian bekas (balpres) yang beredar bebas dipasaran, Jika ingin melihat masyarakat kaya berlagak miskin datanglah kekota Tanjungbalai pada hari minggu.
Ratusan orang yang datang dari penjuru kota di Sumatera Utara dengan menaiki mobil mewah, mulai dari mobil pribadi sampai kepada mobil milik pemerintah yang berplat merah tumpah ruah dipasar TPO kota Tanjungbalai hanya untuk mencari pakaiaan bekas, yang dinegara semenanjung malaka itu tidak lebih dari pada limbah. Perburuan barang bekas oleh orang orang kaya dari luar kota Tanjungbalai bukan saja kepada pakaiaan bekas, tapi melainkan mereka juga memburu barang barang bekas lainnya, seperti tempat tidur, tilam springbat, maubel dan alat alat elektronik yang kesemuanya adalah barang bekas sebagai limbah dinera tetangga Malaysia.
Teringat akan limbah, penulis teringat cerita seorang teman yang telah lama menetap dinegeri jiran itu. Penulis bertemu dengan dia ketika dia pulang kampung. Menurut ceritanya segala barang bekas yang masuk ke kota Tanjungbalai itu adalah barang yang dibuang oleh orang orang kaya dinegara Mahatir Muhammad ditempat tempat pembuangan sampah. Barang barang bekas yang dibuang oleh masyarakat kaya Malaysia itu dikutip oleh orang orang Indonesia yang tinggal disana, dan kemudian dijual kepada Anak Buah kapal (ABK) yang kapalnya masuk kepelabuhan Teluk Nibung kota Tanjungbalai, disamping ada juga yang dibawa melalui jalur gelap lewat kapal kapal para penyeludup dari kota Tanjungbalai.
Sedangkan mengenai pakaian bekas (balpres) teman tadi mengatakan, balpres itu adalah milik orang orang miskin dinegara miskin dimana penyalurannya melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Balpres tersebut katanya bukan berasal dari Negara tetangga Malaysia, tapi melainkan dari Negara Negara kaya di benua eropah, yang akan dikirim kenegara Negara miskin dibenua Aprika melalui transit Negara Singapura, Makanya kita heran kata siteman penulis, kok biasa bisanya balpres tersebut masuk kenegara Indonesia melalui kota Tanjungbalai dengan jumlah ribuan palpres setiap minggunya. Jika cerita teman penulis itu benar, alangkah naibnya kita sebagai bangsa yang besar yang telah merampas milik orang miskin.
Apakah dikarenakan kita sebagai bangsa yang suka terhadap yang namanya bekas, tentu mungkin juga ya, dan mungkin juga tidak. Ya, kita adalah bangsa yang suka yang namanya bekas. Buktinya, untuk kapal selam saja yang merupakan peralatan perang yang sangat penting untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari serangan musuh saja kita membeli kapal perang bekas dari Negara Jerman. Untuk alat transportasi, laut dan darat seperti kapal, mobil dan Kereta Api untuk angkutan umum kita juga membeli barang yang bekas dari Cina. Tapi yang anehnya untuk menjaga barang bekas yang bernilai sejarah tinggi, kita kurang bijak untuk menjaga dan merawatnya. Contohnya banyak peninggalan sejarah dinegeri ini yang hilang dan hancur karena kurang perawatan dan penjagaannya.
Apakah akibat semua ini karena kemiskinan kita, makanya kita hanya mampu untuk membeli yang bekas bekas yang terbuang di tong sampah? Kalau melihat kenyataannya pada saat ini, kita bukanlah bangsa yang miskin. Buktinya uang kita melimpah ruah, sehingga mudah di korupsi. Fakta membuktikan berapa banyak uang kita yang mengalir secara haram kekantong kantong para petinggi negeri ini. Ingat kasus korupsi Wisma Atlit, Hambalang, Pembangunan Sarana dan prasarana olah raga di Pekan Baru Riau, belum lagi masalah pajak yang terkenal dengan kasus Gayus Pertahanan Tambunan, yang melibatkan pengusaha pengusaha besar yang mengemplang pajak perusahaan yang dipimpinnya , dan kasus Cek pelawat Nunun Nurbaiti isteri waka Polri Dorojatun dalam pemilihan Gubernur BI yang melibatkan Miranda Gultum dan beberapa politisi yang becokol di senayan, serta sederet kasus kasus korupsi lainnya yang menghabiskan uang Negara ratusan triliunan rupiah. Dan yang terakhir dana pencetakan Al-Qur'an pun dikorupsi. " Nauzubillahminzalik" betapa bobroknya mental bangsa ini.
Perlu Kesadaran :
Adanya kesempatan para petinggi negeri ini mengkuras uang rakyat melalui jalan haram yang dilarang oleh agama manapun di dunia ini, membuktikan bahwa sebenarnya bangsa negeri ini adalah bangsa yang kaya. Kalau bangsa ini miskin bagaimana mungkin para petinggi negeri ini melakukan korupsi. Apa yang mau dikorupsi sementara Negara dan rakyatnya miskin. Karena kayanyalah bangsa dan Negara ini makanya peluang korupsi cukup besar dinegeri ini.
Lalu kenaapa kita sebagai bangsa yang besar yang sebenarnya kaya, tapi suka mengaku miskin sehingga membuat Negara lain memandang sebelah mata kepada bangsa ini. Seperti Negara Malaysia yang menganggap negeri ini sebagai tempat pembuangan limbah dari negaranya, entah sudah berapa kali Negara yang mengklaim dirinya sebagai bangsa rumpun melayu yang menjunjung tinggi adat istiadat mempermalukan kita dimata dunia dengan berbagai caranya yang licik. Malaysia telah memandang kita sebelah mata. Semua itu karena ketidak kedasadaran kita.
Sadarkah kita dalam hal ini? Disinilah diperlukan sebuah kesadaran dari diri kita. Kita harus sadar kalau kita adalah bangsa yang kaya raya. Bukan bangsa yang miskin. Jika kita menyadari akan semua ini tentu kita malu sebagai bangsa yang kaya tapi tetap mengaku miskin .Semoga!.
Tanjungbalai 30 juli 2012