Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 05 Desember 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Adu Kejantanan dan Perkosaan : Sampai Kapan ?

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

"Bulat panjang senjata kita

Disukai oleh setiap wanita …"

——————

Itu adalah sepotong lagu yang pernah kudengar saat menjalani masa orientasi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur.

Terbayang kembali kenangan lama tentang sekumpulan remaja lulusan SMA yang dihela-paksa menuju sebuah aula, serta diharuskan menelan semua sumpah-serapah dan kekerasan yang tak ada hubungannya dengan dunia akademis. Semua bentakan kasar dan berbagai perintah yang tak masuk akal itu dengan mudah digantikan oleh kenangan tentang kekonyolan, tentang kumis yang dicukur sebelah, juga tentang kebersamaan yang hangat. Meski demikian, ada sekeping kenangan yang tak pernah kami bicarakan - walau hanya dengan bisik-bisik. Dan kenangan itu berhubungan dengan potongan lagu aneh di atas.

Saat itu kami diharuskan mengikuti sebuah "permainan", dimana sekelompok yunior lelaki berdiri sambil (dipaksa) menyanyi, dan sekumpulan yunior perempuan (dipaksa) menyimak sambil bersimpuh takzim seperti para abdi yang menunggu titah majikan. Lagu itu terdengar seperti mars tentara, namun "koreografi" yang mengiringinya itu lebih mirip goyang pinggul erotis yang hanya ada dalam film dewasa. Bisa ditebak siapa yang kemudian tertawa-tawa dengan puas, dan siapa yang menundukkan kepala dengan wajah memanas. Tiga puluh tahun telah berlalu, namun peristiwa yang amat merendahkan itu lenyap, seakan tak pernah terjadi di muka bumi …

Sungguh menakjubkan mengetahui apa yang bisa kita "dengar" di balik kata-kata yang terucap.

Ketika mereka mengkaitkan "senjata" dan "wanita", terbayang zona perburuan dan kompetisi, dengan wanita sebagai … entah "hewan buruan" atau tropi.  Dan ketika kata "suka" disemburkan dengan jumawa, engkau langsung tahu arti sebenarnya setelah menyimak scene-nya dengan seksama : Lihat siapa yang berdiri dan membuat keputusan. Dan lihat siapa yang diharuskan tunduk bersimpuh tanpa boleh menyatakan keberatan.

Bahkan ketika "suka" diubah dengan kata keramat "cinta" sekalipun, bahasa patriarkhi semacam ini selalu bermakna ganda.

Di satu sisi : "Aku memilikimu ! Aku boleh berbuat apa saja kepadamu !".

Dan di sisi lain : "Baiklah, akan kulakukan, jika itu membuatmu diam !"

Itulah "permainan" purba paling aneh yang masih digemari, bahkan di wilayah pendidikan, rumah tangga, juga di area "suci" lainnya. Seakan manusia -yang katanya cerdas itu- kehabisan cara untuk menjadi juara, kecuali  menegaskan dominasi ala primata berbulu, membabi-buta memperebutkan kendali palsu, dan membuktikan kejantanan di hadapan mereka yang lemah - atau sengaja dilemahkan lebih dahulu.

"Karena lelaki dinilai berdasarkan kapasitas mereka dalam mengendalikan, bertarung, merobek sendi, memecahkan barang-barang, menendang pantat, berteriak mabuk dan lepas kendali- semua itu hanyalah bagian dari "kejantanan". Kebanyakan pria tidak memenuhi "persyaratan" tersebut, membuat mereka rentan terhadap ejekan, juga terhadap kelebihan yang mereka lihat pada lelaki lain. Hingga mereka menyerah, dan menyerahkan definisi kejantanan pada jurang kegelapan.  Mereka hanya merasa perlu memasang topeng jumawa, untuk melindungi diri dan menyembunyikan kegagalan."

"Kita lalu belajar untuk berdebat, bukan lagi berkelahi. Kita bertarung dengan uang dan kekuasaan, bukan lagi tinju. Kita menyoraki pria jantan seperti tentara, pegulat, pembalap, dan anggota tim sepak bola. Kita bahkan pergi ke permainan hoki bukan untuk menonton hoki, tapi untuk menonton perkelahian. Kita juga bermain video game yang penuh kekerasan", demikian sosiolog Allan G. Johnson menulis dalam "Why Men Rape" *).

Kejantanan, itukah masalahnya ?

Mengingat desakan kejantanan (baca : hasrat untuk menang) ini merambah ke berbagai wilayah, dari mulai zona publik hingga ke ….. zona paling intim, alangkah baiknya jika kita belajar tentang kejantanan ini langsung dari sumbernya. Yaitu Alam.

Semua mahluk memang memiliki dorongan alami untuk eksis, untuk menang, dan untuk mengabadikan jejak mereka sebanyak-banyaknya di muka bumi. Namun jantan -pada kebanyakan hewan- adalah karakter paradoks, karena mengandung ledakan hormonal yang fluktuatif, diiringi hasrat akan "lahan" di tubuh sejumlah betina untuk menampung sejumlah besar benih. Kombinasi sifat-sifat ini memang memungkinkan para jantan untuk menjalin koneksi -yang tidak perlu personal- dengan sejumlah betina, lebih-lebih para jantan ini juga menghendaki ikatan paling minimal dengan pertumbuhan benih yang akan mereka tinggalkan. Dan untuk semua perilaku yang didasari pertimbangan kuantitatif -plus kehadiran minimal- seperti itu, Alam telah menunjukkan, bahwa benih-benih merana tanpa dukungan para jantan itu hanya cocok menjadi … menu makan siang predator lain !

Berbeda dengan para betina, mahluk yang ditakdirkan untuk menginvestasikan sejumlah besar waktu dan energinya pada benih yang tertanam di dalam tubuh mereka. Strategi kemenangan di mata para betina ini bukanlah kuantitas benih dan kehadiran minimal sebagaimana para jantan, melainkan perilaku selektifnya terhadap jantan dan kualitas kehadirannya terhadap benih. Karena benih adalah investasi penting bagi para betina, dan karena urusan perbenihan ini telah mengorbankan kebebasannya dan menyita seluruh energinya. Para betinalah yang terbukti paling mati-matian dalam menjaga benih-benihnya, bahkan dari … kekejaman para jantan yang merupakan ayah mereka sendiri !

Betapa bodohnya merisaukan kejantanan tanpa melihatnya dalam bingkai yang utuh !

Ketika kejantanan menjadi satu-satunya obsesi, manusia -yang katanya separuh hewan itu- lalu terjebak dalam hasrat untuk memperkosa dan mendominasi. Padahal … kejantanan macam apa yang diharapkan, jika itu hanya digunakan untuk memperdaya mereka yang tak berdaya ?  Dan jejak kemenangan macam apa yang akan ditinggalkan, jika dititipkan dengan paksa pada "betina" (baca : anak buah, atau mitra) yang terluka, hingga ia kehilangan kemampuannya dalam menghadirkan diri utuhnya demi "sang benih" (baca : gagasan yang sedang diperjuangkan) ?  Betapa mudahnya orang melupakan, bahwa kombinasi antara yang banyak, memaksa, dan menekan itu seringkali berakhir mengenaskan di … got. Jelas diperlukan lebih dari kejantanan untuk mempersembahkan "sajian yang presentable" di panggung terhormat, apalagi jika ada harapan untuk dituliskan dengan tinta emas !

Barangkali menjadi sesuatu yang separuh, apalagi separuh hewan, itu memang tidak pernah cukup.

Di kerajaan hewan, ada serangga-serangga hebat**) yang meninggalkan jejak suksesnya di mana-mana, bukan sebagai mahluk individual, tetapi mahluk komunal. Mereka tidak menggunakan bahasa patriarkhis, bahkan aktivis-aktivis terpenting mereka adalah … perempuan. Tak ada kompetisi kejantanan yang menggelikan di rumah-rumah mereka, hanya ada atmosfer kemitraan. Tak ada yang menekan mereka untuk mendapatkan rangking pertama di kelas. Atau memaksakan kemenangan proyek dengan segala cara. Apalagi memperkosa suara mayoritas demi hasrat untuk menjadi … anggota elit.

Tidak.

Tidak ada !

1386263815449488367

Teamwork, karya Teguh Santosa

Sebab semua formula kemenangan itu tidak mungkin berat sebelah, apalagi formula kejantanan.

Sebab ketika engkau berpartisipasi dengan kualitas terbaik dan kehadiran penuh, maka engkau adalah juara.

13862639541965763196

Karya Sieling Go

Ini memang bukan bahasa kejantanan.

Aku hanya tak tahu namanya. [*]

————————————-

Catatan :
"Ini adalah andalanku ! Ini adalah senjataku !
Agresi dan kejantanan. Dominasi dalam bertarung dan dalam bersenang-senang (baca : sexual pleasure). Dalam psikologi, dikatakan bahwa dua hal ini diatur oleh locus control yang sama …

————–

*) Why Men Rape, karya Allan G. Johnson

**) Kisah tentang serangga-serangga hebat itu ada di sini

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Terancam SARA: Ruhut Seperti “Radio Rusak”

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

Belum lama ini Saya menulis Opini di Kompasiana berjudul "Soal Capres 2014: Pendukung Jokowi atau Ruhut yang Sakit?". Opini tersebut mengundang tanggapan dari para pembaca, salah satunya berkomentar beini: "Radio rusak mas bro…. rasah digagas…," kata Nino Histiraludin (2 December 2013 19:11:22).  Sebutan Ruhut seperti "radio rusak" itu tampaknya ada benarnya. Kenapa? Anggota DPR-RI tersebut  kini terancam dilaporkan ke polisi terkait kasus berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), yakni dianggap melakukan penghinaan diskriminatif terhadap Pengamat Politik UI, Boni Hargens.

"Besok saya sama lawyer ke Polda Metro melaporkan Ruhut dengan pasal diskriminasi dan penghinaan, jam 14.30 WIB," kata Boni Hargens seperti dikutip tribunnews.com (Kamis, 5 Desember 2013 - 21:24 WIB).Menurut pemberitaan tribunnews.com, kasus ini berawal dalam acara diskusi soal kasus korupsi Hambalang dan Bu Pur. Dalam diskusi itu, Boni kebagian untuk menjelaskan perkara korupsi Hambalang dan Bu Pur. Akan tetapi, Ruhut Sitompul tiba-tiba emosi dan menyebut Boni adalah orang kulit hitam yang harus dilawan.

Ruhut berkilah bahwa Boni yang memulai duluan adanya penghinaan. "Awalnya dia(Boni Hargens) yang bilang saya tidak cerdas,"ujar Ruhut seperti dikutip Tribunnews, Kamis(5/12/2013). Ruhut Sitompul mengaku tidak takut jika dirinya dilaporkan ke Polda Metro Jaya. "Bilang sama dia(Boni Hargens) lapor Tuhan saya juga tidak takut. Laporin saya ke polisi, saya hadapi. Jangan bangunkan harimau sedang tidur," kata Ruhut seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis(5/12/2013).

Dari membaca isi pemberitaan tribunnews.com tersebut  di atas Saya jadi sepakat dengan Nino Histiraludin bahwa Ruhut Sitompul layakdisebut seperti "radio rusak". Kenapa? Sebab, jika "radio rusak" suaranya memang suka tidak jelas. Banyak noisenya, hanya suara ribut saja yang sering terdengar. Penuh dengan krusak-krusek. Sehingga apapun suara yang keluar dari "radio rusak" akan susah ditangkap maknanya. Kata-kata yang keluarpun jadi sulit untuk diterima nalar juga.

Yang paling menegaskan Ruhut seperti "radio rusak" adalah adanya dugaan melakukan penghinaan dan diskriminasi warna kulit terhadap Boni Hargens. Sudah jelas, Indonesia ini adalah negara multi-kultur yang memiliki warga sangat beragam suku, warna kulit, dan budayanya. Jika ada politisi dibiarkan seenaknya melakukan penghinaan yang terkait SARA, tentunya hal itu dapat memancing timbulnya disintegrasi bangsa. Apa Ruhut sudah lupa dengan tulisan dalam pita yang terdapat pada lambing negara kita Pancasila?

Karena itu, sangat wajar jika Boni Hargens akan membawa kasus ini ke polisi. Jika ada "radio rusak" jalan keluarnya memang harus diperbaiki ke bengkel radio. Tujuanya jelas, agar suaranya dapat menjadi baik dan tidak mengganggu kenyamanan telinga ketika didengarkan publik.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Akhirnya, KPI Tegur 6 Stasiun TV

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) -– berdasarkan hasil pantauannya terhadap siaran politik yang dilakukan pada September hingga November 2013 – akhirnya menegur enam stasiun televisi nasional yang dinilai tidak proporsional dalam penyiaran politik. Keenamnya adalah RCTI, MNC TV, Global TV, ANTV, TV One, dan Metro TV.

"Televisi tersebut melakukan beberapa pelanggaran dalam menyiarkan isu-isu politik, termasuk juga terdapat iklan politik yang mengandung unsur kampanye. Kemarin sudah kita panggil untuk diberikan teguran," kata Ketua KPI Judhariksawan di Kantor KPI, Jakarta, Kamis (5/12/2013), seperti dikutip Kompas.com.

Menurut Judhariksawan, keenam stasiun TV itu tidak proporsional dalam memberitakan partai dan tokoh politik tertentu. Pemberitaan partai tertentu bisa berdurasi panjang, sementara partai lainnya disiarkan dalam jangka waktu singkat. Selain itu, dalam hal konten pemberitaan, dinilai sangat menguntungkan partai politik tertentu, dan merugikan yang lainnya.

KPI juga memonitor iklan. ''Iklan yang kami anggap melanggar juga kami tegur."  Dalam menilai iklan, KPI berpegang pada aturan yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika suatu iklan hanya memuat calon presiden tanpa menampilkan atribut partai, maka iklan tersebut masih diizinkan. Namun jika sudah menggunakan atribut seperti bendera ataupun nomor urut partai, maka iklan tersebut dinilai melanggar.  "Jadi kami (KPI) yang menegur stasiun televisinya, KPU yang menegur partainya," ujar Judhariksawan.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), seperti tertuang dalam liputan Kompas.com, mengaku akan menindaklanjuti temuan KPI itu.  "Hari ini Bawaslu sudah berkoordinasi dengan KPI dan malam ini akan membahas temuan pelanggaran dalam rapat pleno," ujar anggota Bawaslu Daniel Zuchron di Jakarta, Kamis (5/12/2013).

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 16 tentang Metode dan Tata Cara Kampanye Pemilu Legislatif menyatakan, kampanye melalui media massa hanya dapat dilakukan selama 21 hari sebelum masa tenang (silakan simak UU N0 8/2012, pasal 82 dan 83 (2) ). Ada pun, masa tenang adalah 14 hari sebelum hari pemungutan suara, 9 April 2014. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif menyatakan, kampanye di luar jadwal yang ditetapkan merupakan tindakan pidana pemilu.

Karena ini berkaitan dengan penggunaan frekwensi milik publik, tentu publik berhak untuk mengetahui perkembangannya lebih lanjut. Karena selama ini, ''definisi'' dan ''pemahaman'' mengenai kampanye dan penggunaan stasiun televisi untuk ''kepentingan pribadi'' atau ''golongan tertentu'', terus bergelut menjadi debat yang belum berkesudahan.

Tapi sambil menunggu tindak lanjut dari langkah-langkah apa yang akan diambil oleh Bawaslu mau pun KPU, ada baiknya kita ''menengok'' kepada sejumlah pasal yang ada P3& SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), yang menjadi pegangan KPI, berikut ini. Cobalah dirasa-rasakan, apakah yang Anda pirsa selama ini bertentangan atau tidak dengan pasal-pasal ini:

Pasal 1 (26) P3: Program Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah adalah program siaran yang mengandung KAMPANYE, SOSIALISASI, dan PEMBERITAAN tentang Pemilihan Umum DPR Pusat dan Daerah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan umum Kepala Daerah.

Pasal 11 (2) P3: Lembaga penyiaran wajib menjaga INDEPENDENSI dan NETRALITAS isi siaran dalam setiap program siaran

Pasal 50 (2) P3: Lembaga penyiaran wajib bersikap ADIL dan PROPORSIONAL terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pasal 50 (3) P3: Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap PARTISAN terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala  Daerah

Pasal 50 (4) P3: Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program siaran yangDIBIAYAI atau DISPONSORI oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pasal 11 (1) SPS: Program siaran wajib dimanfaatkan untuk KEPENTINGAN PUBLIK dan TIDAK UNTUK KEPENTINGAN POLITIK TERTENTU

Pasal 11 (2) SPS: Program siaran DILARANG DIMANFAATKAN untuk KEPENTINGAN PRIBADI PEMILIK LEMBAGA PENYIARAN bersangkutan dan/atau KELOMPOKNYA

Pasal-pasal di atas masih bisa kita lengkapi dengan  Bab XXVIII (Siaran Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala daerah), Pasal 71 SPS.

Dan untuk "mempertajamnya", silakan simak Pasal 96 - 99 UU No 8/2012 yang berisi larangan menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye pemilu dan batas maksimum pemasangan iklan kampanye di stasiun tv untuk setiap peserta pemilu, yakni 10 spot berdurasi paling lama 30 detik (dan 60 detik untuk di radio) untuk setiap stasiun TV setiap hari SELAMA MASA KAMPANYE PEMILU!

Selamat datang "KERUWETAN" Pemilu 2014!

@maman1965

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Pentingnya Memiliki Personal Dengan Hosting Personal

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

Kali ini kita akan mencoba membahas tentang review tentang hosting server IIX referensi. Untuk melihat lebih jauh maka kita harus mengetahui bahwa review tentang hosting server IIX referensi dibagi menjadi dua bagian, yaitu: IIX personal web hosting dan IIX professional web hosting.

Sesuai dengan namanya, biasanya perusahaan-perusahaan besar akan lebih mencari professional web hosting tentunya dengan alasan karena sudah professional. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang baru berdiri atau kelas menengah, akan lebih memilih untuk memakai personal web hosting.

Sebenarnya, apa tujuan atau pentingnya web hosting terutama bagi perusahaan? Pada review tentang hosting server IIX referensi ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pentingnya web hosting.

hosting

Web hosting sangat berguna bagi user dalam skala apapun untuk memperkenalkan atau mempromosikan produk kepada konsumen. Saat ini, komunikasi tak hanya dalam dunia nyata, namun juga pada dunia maya atau yang lebih sering disebut dengan virtual world. Itu sebabnya web hosting bukanlah sesuatu yang baru lagi, terutama bagi pengguna yang ingin memperkenalkan diri mereka pada konsumen. Dengan adanya web hosting, perusahaan jadi semakin dekat dengan konsumen.

Salah satu web hosting seperti yang sudah ditulis sebelumnya adalah personal web hosting.Personal web hosting bisa digunakan untuk para pengusaha muda yang baru saja terjun di dunia bisnis dan ingin memperkenalkan perusahaannya melalui website yang ia miliki. Dan berikut ii adalah review tentang hosting server IIX referensi- personal web hosting, yaitu:

  1. Personal web hosting memiliki kapasitas 50 MB, 100 MB dan 200MB. Kita bisa memilih salah satu di antara dua kapasitas tersebut sesuai dengan kebutuhan.
  2. Personal web hosting yang memiliki bandwith 3 GB, 5GB dan 10 GB. Kali inipun Anda bisa memilih di antara dua pilihan tersebut.
  3. Personal web hosting mengharuskan penggunanya untuk memiliki minimal kontrak yaitu selama satu tahun atau 12 bulan. Bila kurang dari 12 bulan tentunya hal tersebut tak bisa dilakukan.
  4. Personal web hosting menawarkan biaya set up yang gratis. Bagi pengusaha yang masih pemula, tentu biaya set up ini sangat penting karena mempengaruhi operasional perusahaan. Tentunya biaya set up yang gratis akan membuat perusahaan bisa menghemat salah satu pengeluaran.
  5. Personal web hosting yang kelima adalah tentang fasilitas email. Email merupakan salah satu "kendaraan" yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang dalam hal ini disebut pelanggan, konsumen, supplier, atau pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Untuk itulah fasilitas email yang unlimited yang diberikan oleh personal web hosting ini tentu sangat bermanfaat.
  6. Personal web hosting yang keenam adalah tentang biaya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa harga atau biaya dari personal web hosting ini tergolong murah, mulai dari 50 ribu per tahun. Bagaimana? Murah bukan?

Dalam review tentang web hosting server IIX referensi di atas sudah dijelaskan tentang beberapa keuntungan yang dimiliki oleh web hosting tersebut. Pada review tenang web hosting server IIX referensi juga dijelaskan tentang betapa murahnya biaya yang harus dikeluarkan per tahunnya, sehingga untuk perusahaan yang baru berdiri dan belum memiliki banyak keuntungan, pilihan tersebut adalah pilihan yang sangat bijak.
Secara implisit dikatakan pada review tenang web hosting server IIX referensi bahwa web hosting tersebut bahwa web hosting tersebut sangat bermanfaat untuk menghubungkan perusahaan dengan para pelanggan atau memperkenalkan produk mereka pada para konsumen. Dengan biaya yang murah perusahaan bisa dengan mudah mempromosikan produk mereka pada para konsumen.

Review tenang web hosting server IIX referensi juga menjelaskan bahwa meskipun biaya yang dibutuhkan oleh perusahaan tidak banyak, namun kualitas yang diterima tak kalah jauh dengan yang berbiaya mahal.
Terakhir, setelah membaca sekilas review tenang web hosting server IIX referensi kita mungkin akan berpikir untuk menggunakannya. Selamat mencoba!!

Kemiskinan Struktural Sumber Kemiskinan Kultural

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.

Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang 'naik kelas', artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.

Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima 'takdir' yang ada.

Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Kemiskinan Struktural Sumber Kemiskinan Kultural

Posted: 05 Dec 2013 11:07 AM PST

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.

Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial  mengarah  pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang 'naik kelas', artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.

Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima 'takdir' yang ada.

Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar