Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 31 Desember 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Teroris Dikepung Polisi di Tangerang Selatan Tepat Pada Pergantian Tahun

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

Ironis, Sebagian masyarakat bersuka ria merayakan pergantian tahun 2014, sementara aparat keamanan Polisi bertugas pertaruhkan nyawa mengamankan Negara ini dari gangguan teroris. Mereka ini adalah teroris yang sudah mempersiapkan rencana pengeboman  di Wihara, dan Perampokan sejumlah Bank. Pengepungan teroris oleh Polda Metro Jaya ini berkat pengakuan salah seorang teroris yang tertangkap bernama Anton dia lah yang melakukan peledakan Bom didaerah Beji.

Penggrebekan sudah disiapkan sejak sore sekitar pukul 6.OO. WIB, teroris bernama Dayat yang mengontrak di Kampung Sawah  Ciputat Tangerang Selatan, bersama Nurul haqu, Fauzi dan lainya berada di dalam kontrakan. Menurut Polisi yang sempat keluar dari pengepungan menyampaikan, ketika teroris diminta keluar malah menantang Polisi, akan menembak  jika Polosi berani  masuk.  Ternyata Dayat ini adalah merupakan teroris bagian Eksekutor. Dan Dayat  ini ternyata adalah pelaku penembakan Polisi di Pondok Aren dan beberapa kejadian lainnya.

Ketika berita ini dilaporkan oleh tvone, suara tembakan terdengar riuh yang diarahkan ke rumah kontrakan yang dihuni oleh pelaku teror, hampir tersaru dengan suara petasan dan kembang api yang hingar bingar.

Dilain tempat masyarakat meledakkan petasan dengan asyik, sementara Polisi melepaskan tembakan tidak kalah seru dengan suara petasan dan kembang api yang riuh, Benar-benar sangat mengharukan kejadian jelang  pergantian tahun. Namun demikian kami sangat bangga dengan prestasi Polisi dimalam tahun baru ini. Semoga di Tahun 2014 nanti Polisi semakin dapat dibanggakan dan diharapkan menjadi pengayom masyarakat.

Sumber dari tvone,

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Teroris Tindak Punya HAM?

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

OPINI | 01 January 2014 | 02:37 Dibaca: 2   Komentar: 0   0

Benarkah teroris tidak mempunyai HAM? Apakah tidak ada upaya melumpuhkan teroris agar mereka tidak mati?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya dijawab oleh negara secara serius dalam upaya menangkap teroris. Karena bagaimanapun teroris tersebut adalah rakyat Indonesia yang mungkin saja kurang menikmati keadilan hidup dibumi pertiwi ini.
Tepatnya, malam tahun baru 2014, Dayat kacamata tewas tertembak dalam upaya penyergapan yang dilakukan tim gabungan Densus Mabes Polri dan Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Dari tersangka, polisi menemukan sebuah pen gun. Pen gun tersebut memiliki ukuran kaliber 38 milimeter (detiknews). Dayat terpaksa dilumpuhkan oleh kepolisian karena melakukan perlawanan saat dilakukan penyergapan.
Serangkaian aksi kepolisian dalam mengungkap teroris harus di apresiasi, mengingat teroris bisa merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu kerja dari pihak kepolisian patut kita hargai dan apresiasi.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan rakyat ialah, mengapa serangkaian penangkapan terhadap terduga teroris selalu dekat dengan hari-hari besar atau dengan adanya tamu negara asing yang datang ke Indonesia. Bagaimanapun ini harus dijawab oleh kepolisian agar rakyat tidak curiga terhadap segala upaya yang dilakukan oleh kepolisian.
Dilain pihak, kepolisian juga harus memperhatikan HAM dari terduga teroris, mengingat terduga teroris adalah orang yang merdeka dan harus diproses melalui hukum yang adil. Akan tetapi, mengingat beberapa kejadian, ternyata teroris tidak mempunyai HAM lagi. Hal ini terlihat, terduga teroris seringkali ditembak mati ditempat. Penembakan mati terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu bentuk ketidakbijakan pihak kepolisian dalam mengambil langkah-langkah penyergapan yang efektif. Jika demikian tindakan yang sering diambil kepolisian, lantas apa bedanya satuan khusus antiteror dengan polisi pada umumnya?
Oleh karena itu mengingat banyaknya teroris yang mati ditembak, bolehkah rakyat mengatakan teroris tidak mempunyai HAM?..

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Siapa yang menilai tulisan ini?

-

HIV-AIDS Melesat di Papua dan Bali, Apa Tanggapan Kita?

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

Miris membaca Laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia yang dipaparkan oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI yang diperbaharui tanggal 26 Desember 2013 lalu. Dalam laporan rinci dan kemudian diringkas sebanyak 3 (tiga) halaman tersebut diuraikan secara gamblang permasalahan HIV-AIDS di Indonesia sejak terpantau pertama kali di Propinsi Bali pada tahun 1987 .

Berdasarkan laporang tersebut diketahui jumlah mereka yang terinfeksi virus HIV dan kemudian mengidap AIDS di Indonesia semakin meningkat tiap tahun. Propinsi DKI Jakarta berada dalam daftar puncak mereka yang terinfeksi HIV dengan jumlah 27.207 kasus. Selanjutnya diikuti oleh propinsi Jawa Timur (15.233), Papua (12.687), Jawa Barat (9.267) dan Bali (7.922). Namun secara kumulatif, propinsi Papua tetap berada diperingkat pertama kasus HIV/AIDS secara nasional.

13885168441601887410

Sumber: Ditjen PP & PL Kemenkes RI 31 Oktober 2013 Edit terakhir: 26 Desember 2013

Dari data di atas, mereka yang mengidap AIDS secara kumulatif sejak tahun 1987 sampai September 2013 terdata sebanyak 45.650 orang. Dalam daftar yang dikeluarkan Ditjen PP & PL Kemenkes RI tersebut, ternyata pengidap AIDS tertinggi terdapat di Propinsi Papua sebanyak 7.795 kasus. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat prosentase penduduk Papua sangat jauh dibandingkan dengan propinsi lainnya yang masuk dalam daftar.

Sementara propinsi Bali sebagai daerah yang pertama kali ditemukan kasus HIV-AIDS ini menurut laporan tadi berada diurutan kelima dengan 3.798 kasus.

Laporan Kemenkes yang dapat dianggap semacam laporan tahunan ini memang menarik. Sebab, dua propinsi yang prosentase penduduknya relatif sedikit ternyata mampu menyelip diantara propinsi lain yang berpenduduk diatas sepuluh juta. Padahal sangat jauh perbandingan penduduknya.

13885170331834651832

Sumber: Ditjen PP & PL Kemenkes RI 31 Oktober 2013 Edit terakhir: 26 Desember 2013

Adakah kaitannya penyebaran virus mematikan ini karena membanjirnya wisatawan dan pekerja asing di pulau dewata atau Papua yang mengusung sex bebas?

Tanyakan pada mereka yang suka 'goyang' sembarangan! Semua umat beragama jelas menyayangkan merebaknya virus ini yang diawali oleh sikap memuja kenikmatan dan juga suka gonta-ganti pasangan. Jangan salahkan kondom, sebab kondom tak ada gunanya bagi mereka yang memiliki izin resmi dari penghulu alias sudah menikah. Kondom hanya cocok bagi mereka yang menganggap sex adalah hal utama dan ketaatan pada Tuhan serta kesetiaan pada pasangan adalah nomor sebelas dua belas.

Sumber:

Statistika Kasus HIV/AIDS di Indonesia

Ditjen PP & PL Kemenkes RI 31 Oktober 2013
Edit terakhir: 26 Desember 2013

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Duka Cita Di Awal Tahun

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

Memang sangat ironi menyaksikan kehidupan manusia hari ini. Selalu ingin larut dalam riuh pesta tak peduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan suatu kesenangan yang disebutnya kebahagiaan. Sementara di sisi lain mereka mengaku sebagai manusia yang beragama. Dan yang lebih ironis lagi bahwa sebagian besar yang mengaku sebagai umat islam pun turut larut dalam perayaan ini. Bahkan tidak jarang yang memfasilitasi dan sukarela mengeluarkan dana untuk menyukseskan acara perayaan tahun baru yang menurut mereka sangat layak disemarakkan sebagai manusia yang beradab.

Lalu apa yang terjadi dengan perayaan menyambut tahun baru itu? Tentu kita semua sudah tahu bahwa budaya menyambut tahun baru di negeri ini adalah dengan mengadakan acara musik, kumpul-kumpul dan sepertinya perayaan itu sangat identik dengan peniupan terompet, ledakan petasan dan pesta kembang api. Bayangkan saja tentang berapa banyak dana yang dihabiskan selama semalam ini (malam tahun baru) hanya untuk kesenagna sesaat. Sementara, negeri kita punya utang yang belum terbayarkan, negeri kita punya begitu banyak rakyat miskin, anak yatim yang tak memiliki tampat tinggal jelas dan hidup dalam kondisi kelaparan hampir setiap harinya.

Namun, sepertinya apa yang akan dibicarakan orang seperti saya dan beberapa orang lain yang juga mencoba membincangkan hal serupa dengan saya hanya akan mendapat cibiran dari kebanyakan orang yang menganggap diri mereka mengerti akan peradaban dan menjadi manusia yang modern. Bagi mereka orang seperti saya adalah orang yang tak memahami peradaban dan tak mengerti akan modernisasi. Yah orang seperti saya menjadi aneh dalam kehidupan ini menurut pandangan mereka.Karena saya adalah orang yang menyebalkan yang lebih memilih menlewati pergantian tahun dengan banyak menyesal dan menangis. Melewati dnengan penuh kesedihan dan duka cita lantaran di banyak tempat, banyak manusia di waktu yang sama menghabiskan banyak uang untuk merayakan tahun baru mreka untuk menyampaikan harapan dan do'a pada tahun yang akan datang. Harapan akan kehidupan mereka lebih baik. Tapi mungkin bagi mereka tak pernah benar-benar sadar untuk berharap kehidupan manusia di sekelilingnya juga ikut baik dan lebih baik. Hanya saja, di waktu yag lama sepanjang tahun terdapat banyak manusia yang beada dalam kemiskinan dan banyak anak-anak yang harus menjadi yatim dan piatu.

Pesta perayaan tahun baru dengan segala kebiasaannya yang menghabiskan banyak uang selalu saja akan menjadi awal tahun yang duka cita bagi saya. Duka cita dikarenakn betapa banyak manusia yang mengaku beragama telah mati kesadarannya untuk peduli akan betapa baiknnya jika dana yang dihabiskan untuk perayaan tahun baru itu dipergunakan untuk membantu masyarakat miskin dan menyantuni anak yatim. Betapa akan jadi mulianya kita sebagai manusia jika mampu kembali menyadari ii dan menolaklarut dalam nuansa riuh penuh gembira para penikmat kembang api dan tiupan terompet. Awal tahun yang akan selalu menyedihkan. Barangkali sebagian umat islam itu lupa dengan penggalan surat dalam kitab sucinya. Al Qur'an Surat Al Ma'un menurut saya menjadi sat dalil akan buruknya perayaan tahun baru itu. Dimana menghabiskan banyak uang untuk sesaat sementara fakir miskin dan anak yatim tak diurus. Jelas disana dikatakan bahwa "Segenap yang mendustakan agama adalah mereka yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin". Yah, bagi saya orang yang ikut dalam riuh perayaan pesta tahun baru telah menjadi manusia yang mendustakan agama sesuai dalil ini. Saya yakin bahwa mereka yitu telah dengan sadar atau tanpa sadar menghaburkan uang hanya untuk sesutu yang kesenangannya sesaat. Betapa mulianya menurut saya jikalau dana yang digunakan itu dikumpul dan dipergunakan untuk menyantuni yatim piatu dan memberi makan fakir miskin. Bagi saya itu lebih bermakna dan kita takkan dituduh lagi oleh Tuhan sebagai pedusta agama.

Sekarang, kemana kita hendak teriak riuh penuh gembira? sementara awal tahun ini adalah dukacita. Penh kesedihan yang telah menyayat dan melukai hati setiap manusia yang teringat akan makna penciptaannya. Karena bagi mereka yang peduli dengan hal ini, maka setiap awal tahun yang masih diwarnai dengan tiupan terompet, ledakan petasan dan pesta kembang api akan selalu menjadi duka cita di awal tahun. sehingga, bagi saya dan mungkin beberapa orang lain akan lebih memilih berada di rumah sambil merenungi setiap tragedi yang terjadi sepanjang tahun sebelumnya. Karena bagi saya, awal tahun kali ini mnjadi awal penuh duka cita. Duka cita atas peringatan wafatnya Sang Rasul suci. Kesedihan menyadari betapa banyak manusia yang telah meratapi nasibnya di tahun sebelum dan akan datang yang sepertinya memang tak pernah terang. Seperti itulah kita menyambut awal tahun ini, simbol duka cita di awal tahun.

—Bagi kita yang sadar takkan ikut merayakan pesta penyambuaan tahun baru, atau kita benar-benar memilih untuk tidak sadar—

Penipu [PHP - 2]

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

Karena “Gengsi”kah??

Posted: 31 Dec 2013 12:10 PM PST

Berjalan disore hari yang cerah memang menjadi salah satu alternative mengurangi rasa penat setelah seharian tubuh kita beraktifitas. Namun, (mungkin) hal itu tidak akan terasa ketika kita berjalan dikawasan SD Muhammadiyah Sapen, Kota Yogyakarta. Bagaimana tidak, setiap pagi dan sore wilayah disekitar SD tersebut pasti akan dipenuhi dengan mobil-mobil mewah milik para "kaum beruang" yang berjejer untuk menjemput anak-anak mereka. Sebagai pejalan kaki, jelas saya terganggu dengan kondisi tersebut, karena suara bising kendaraan yang mobil mereka keluarkan benar-benar mengganggu, belum lagi klakson yang selalu mereka bunyikan kepada kami yang sedang berjalan, hal-hal tersebut benar-benar membuat saya geram.

Memang SD ini terkenal dengan sekolah elite, uang SPP per bulannya saja lebih mahal dari uang semesteran saya, terang saja yang sekolah disini pasti yang orang tuanya berduit alias orang kaya. Hehe

Namun, bukannya kagum dengan apa yang dilakukan orang tua mereka, justru saya terkadang berpikir alasan mereka memasukkan anak mereka ke SD tersebut karena demi kebaikan anak atau hanya karana gengsi semata. Pertama, jelas dilihat dari kendaraan yang mereka pakai untuk mengantar jemput anaknya, orang tua mereka berbondong-bondong mengendarai mobil mewah mereka untuk menjemput anaknya. Namun, apakah efektif ketika yang menjemput hanya satu orang dan yang dijemput juga satu orang sementara mereka mengendarai mobil ? padahal selain tidak efektif, hal tersebut juga benar-benar membuat kawasan sapen menjadi macet dan juga mengganggu pejalan kaki yang melintas. Kedua, setiap hari saya menyaksikan anak-anak tersebut pulang sampai pukul 4 sore. Saya sering bertanya dalam hati, apa memang jam pelajaran di tingkat Sekolah Dasar sekarang memang sampai sesore ini, padahal saya masih ingat dulu dizaman saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar, jam pelajaran paling siang saja pukul 12.00 WIB. Memang bagus sih, ketika anak memiliki banyak kegiatan di sekolah kemungkinan anak melakukan hal yang kurang baik menjadi lebih sedikit, namun saya juga merasa kasihan kepada mereka. Saya kasihan melihat mereka yang (mungkin) kehilangan banyak waktu bermainnya karena terlalu sibuk dengan kegiatan di sekolah. Ya walaupun mereka dapat memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk bermain, tetap saja bermain disekolah itu tidak membuat fikiran kita fresh sedikitpun. Lalu pemandangan yang paling akrab saya lihat ketika melihat orang tua mereka menjemput anaknya adalah kesan pamer yang melekat pada mereka (bukan pada anaknya namun orang tua). Karena, hanya untuk menjemput anaknya disekolah, orang tua berlomba dalam berpenampilan sebagus mungkin. Dan juga kesenjangan social juga akan terlihat disekitar SD tersebut, bisa dilihat bahwa lingkungan SD tersebut bukanlah lingkungan perumahan dengan masyarakat kalangan atas semua. Sebagian besar penduduk desa tersebut adalah kalangan menengah, dan bahkan jarang dari masyarakat sekitar menyekolahkan anak mereka di SD tersebut. sehinnga, dengan hal tersebut, kesenjangan social Antara mereka semakin terlihat.

Harusnya orang tua lebih memperhatikan perhatian kepada anaknya, bukan hanya perhatian mengenai ilmu formal apa yang mereka harus dapat. Namun, lebih dari itu orang tua harus memberikan pembelajaran tentang bagaimana hidup bermasyarakat, pembelajaran tentang sebuah kesederhanaan, dan yang paling jelas pembelajaran tentang nilai dari sebuah kekayaan itu sendiri.

Quote for today "Do not educate your children to be rich. Educate them to be happy. So, when they grown up, they'll know value of things, not the price"

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar