Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Sabtu, 21 Desember 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Enaknya Rayakan “Hari Natal” di Sydney Tanpa Ribet Masalah SARA

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

kenduren besek, kenduri, toleransi, budaya kampung, atur-atur Suasana khas kenduri (kenduren). Sumber foto: http://bloggerpurworejo.com/wp-content/uploads/2011/09/nggragasnya_anak_01.jpg

Perusahaan-perusahaan di Australia bisa dipastikan karyawannya berasal dari berbagai bangsa. Australia menyadari keadaannya sebagai negara multikultural, maka lingkungan kerja biasanya diarahkan untuk mencerminkan keadaan ini. Semakin beraneka asal kebangsaan karyawan, maka makin bangga perusahaan menyebut dirinya sebagai perusahaan paling multikultural.

Karyawan dari berbagai negara yang berimigrasi ke Australia rata-rata tahu masalah kehidupan multikultural di Australia ini. Jika mereka sejak kecil tinggal di Australia, maka masalah kehidupan multikultural bukanlah hal baru. Sejak sekolah dasar mereka sudah terbiasa bergaul dengan anak-anak berwarna kulit lain dan dari bangsa lain.

Ketika perusahaan merayakan Hari Natal, maka semua karyawan diundang untuk ikut merayakannya. Meski mereka menyebutnya sebagai "christmas party", tapi sebenarnya tekanannya lebih banyak pada pertemuan sosial karyawan. Karena dalam "pesta natal" tersebut tidak diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut keagamaan. Tidak ada salam pakai bahasa yang mengacu pada agama tertentu. Tidak ada khotbah. Tidak ada acara berdoa bersama dan lain-lain. Memang kadang diputar lagu-lagu natal. Tapi lagu natal ini juga diputar di mana-mana. Termasuk di hotel-hotel dan supermarket. Lebih berfungsi sebagai pengiring suasana natal daripada nilai hari natal itu sendiri.

Masalah-masalah atau terminologi-terminologi yang berasosiasi dengan agama sama sekali tak diekspresikan. Acara itu tidak terkesan eksklusive buat pemeluk agama yang merayakan hari natal tapi buat khalayak umum. Nama dan thema hanya digunakan untuk menandai kapan event tersebut diadakan. Ikut merayakan tapi tidak ikut memeringati. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah numpang ikut perayaan biar nampak meriah dan punya kesan.

Begitulah, pesta natal buat karyawan itu dihadiri oleh karyawan dengan berbagai keyakinan bahkan oleh yang tidak punya keyakinan. Keyakinan seseorang memang bukan urusan orang lain. Masalah keyakinan adalah masalah pribadi masing-masing. Pertanyaan tentang agama, dianggap sebagai pertanyaan yang kurang tepat diajukan. Bahkan bisa saja dianggap kurang sopan. Pertanyaan apa agamamu diajukan dalam percakapan yang sifatnya pribadi.

Sesama karyawan kadang tidak tahu agama karyawan lainnya. Mereka saling tahu secara umum saja. Kalau orang asal India biasanya agamanya Hindu. Orang Australia biasanya Kristen. Orang dari Timur Tengah biasanya Islam. Orang Thailand biasanya Budha. Orang Philipina biasanya Katholik. Dan seterusnya. Semua hanya kira-kira dan mereka tak merasa perlu bertanya secara langsung pada orangnya untuk menyingkap kebenarannya.

Penulis tahu agama beberapa karyawan karena pernah terlibat percakapan yang secara kebetulan menyinggung masalah agama. Penulis tak pernah bertanya tentang agama orang lain. Ketika orang lain bertanya tentang agama, biasanya akan dilanjut dengan pertanyaan balik.

"Saya tidak punya agama," begitu kata si Ming, cewek asal China yang punya pendidikan sarjana hukum dari negaranya ini juga datang ke pesta Natal karyawan.

Atau si Robert yang beragama Katholik dari Lebanon. Si Farid dari Afghanistan yang beragama Islam. Atau si Bill dari Turki yang mengaku beragama Islam tapi bukan sebagai muslim yang baik. Si Bill merasa tidak pantas mengaku dirinya Islam, karena kehidupannya tidak mencerminkan seorang muslim yang baik. Ia tak menunaikan puasa, sholatnya tidak teratur, begitu kata si Bill merendah. Selama Bill hidup di Australia ia harus kerja di beberapa tempat dan kadang menemukan waktu untuk menunaikan ibadah agamanya dengan khusuk amat susah. Kalau sekedarnya memang bisa. Tapi bukan itu yang dicari, demikian aku Bill terus terang. Lalu si Manoj dari Nepal yang beragama Hindu. Si Neha cewek yang baru setahun menikah dari dari India yang begitu taat menjalankan ibadah agama Hindunya. Dari sekian banyak karyawan, hanya mereka itulah yang penulis ketahui agamanya masing-masing. Tapi semua datang ke pesta natal.

Pimpinan perusahaan memberi bingkisan hadiah Natal pada semua karyawan tanpa pandang bulu. Dan semua karyawan menerimanya dengan senang hati. Tak peduli agama mereka. Tak peduli apakah mereka taat terhadap agamanya atau tidak. Isi bingkisan Natal tersebut memang tak ada istimewanya. Beberapa permen, coklat, nyamikan kacang, kue dan makan kecil lain. Makanan yang bisa dibeli di toko dan tidak secara khusus berhubungan dengan makanan agama tertentu. Semua menikmati suasana perayaan natal dengan tenang dan nyaman.

Toleransi Kampung

Penulis jadi ingat pada masa kecil dulu. Ketika budaya kendurian (kenduren) di kampung masih berjalan dengan baik. Tetangga saling mengundang kendurian jika ada hari-hari khusus yang diperingati. Waktu penulis masih kecil, oleh orangtua atau oleh tetangga sering dimintai tolong untuk "atur-atur" atau "ngaturi" (mengundang) tetangga dekat untuk datang kendurian.

Masyarakat kampung tidak peduli pada agama tetangga yang diundang. Atau apakah mereka benar-benar melaksanakan ibadah agamanya dengan baik, biasa-biasa saja atau tidak pernah. Penulis ingat, ada dua tetangga yang beragama Katholik juga kami undang kendurian. Mereka datang ke kendurian biasa saja, tak ada yang aneh. Kami undang juga pak Dirin tetangga yang suka adu ayam di pasar. Atau pak Jumadi si penjual makanan di pasar besar. Atau pak Wir pedagang pakaian loak di depan pasar, pak Drajad seorang tentara, pak Hadi guru. Dan lain-lainnya.

Sebelum acara dimulai, para tamu tersebut ngobrol dan duduk di atas tikar yang terhampar di lantai ruang tamu. Mereka ngobrol sebagaimana kehidupan bertetangga. Ramah dan sopan. Ketika doa-doa dipanjatkan oleh pak modin, semua mendengarkan dengan tenang dan ikut mengamini. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang mempersoalkan apakah doanya syah atau tidak.

Ketika berkat (makanan kendurian) dibagi, suasana kembali riuh dengan obrolan dan canda. Nampak rukun dan sopan. Waktu itu nasi, lauk dan jajanan diletakkan di atas nampan dan harus dibagi secara rata tidak dalam paket bungkusan yang siap dibawa. Ada saja tetangga yang membantu pak modin untuk membagi-bagi makanan dan memasukkannya ke besek (nampan kecil terbuat dari anyaman bambu dialasi daun pisang). Para tamu pulangnya membawa satu nampan. Penulis masih ingat ketika orangtua kami pulang dari kendurian, anak-anak selalu berebut makanan kendurian tersebut. Kenangan masa kecil yang menyenangkan.

Kadang pak Dirin yang tidak pernah ke masjid dan suka adu ayam di pasar itu juga mengundang para tetangga untuk kendurian di rumahnya. Kami pun datang sebagaimana biasa. Tidak ada pembedaan atau mempergunjingkan masalah kehidupan agama atau rohani pak Dirin. Pak modin berdoa sebagaimana biasanya. Mungkin yang digunjingkan adalah makanannya. Dan itu dilakukan oleh anak-anak. Karena dalam bungkusan kendurian yang dibawa orangtua mereka daging ayamnya kecil-kecil atau tidak ada jajananan yang disukai, apem atau kue rengginan.

Mengingat masa kecil, rasanya toleransi kehidupan agama di Australia masih kalah dengan toleransi kehidupan di kampung penulis dulu. Kehidupan toleransi agama di Australia tidak ada apa-apanya. Toleransi keagamaan di kampung tidak saja tenang dan nyaman tapi juga tentram di hati dan jiwa. Kemanakah suasana toleransi kehidupan kampung itu kini? Mudah-mudahan tidak luntur seiring perkembangan keadaan. Kehidupan kampung yang senantiasa bikin rindu.*** (HBS)

http://bloggerpurworejo.com/wp-content/uploads/2011/09/nggragasnya_anak_01.jpg
http://bloggerpurworejo.com/wp-content/uploads/2011/08/lebaran_yang_04_s.jpg
https://pbs.twimg.com/media/BbuncuFIcAAmTQa.jpg
https://pbs.twimg.com/media/BbvgRSQIcAA_1Wv.jpg
http://cms.jakartapress.com/files/news/201112/habib%20rizieq%20shihab%20hael.jpg

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

[Untukmu Ibu] Selembar Surat Cinta yang Tak Pernah Sampai ke Tangan Pemiliknya: Teruntuk Ibuku, Ibu Kita

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

Saat Kritis Aku di Hutan Papua, Malaikat itu Datang

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

"Baru pertama kali masuk hutan ya Mas? Ini di hutan Mas, sudah biasa hal-hal begini terjadi…"

Tak pernah kubayangkan sebelumnya, menelusuri jalanan berbukit yang membelah lebatnya hutan Papua. Sepanjang jalan dipenuhi tanjakan dan turunan ekstrim yang berkelok-kelok, sungguh memacu adrenalinku. Aku mengawali pekerjaan baruku sebagai sorang kuli yang bertugas membantu Dinas PU. Aku mendapat Job mengawasi proyek pembangunan jalan dan jembatan di daerah pedalaman Papua Barat, tepatnya di Kabupaten Fakfak. Ironisnya oleh perusahaan aku hanya diberi sepeda motor bebek keluaran 2007 yang jauh dari kata tangguh untuk medan seberat itu. Apa boleh buat, tantangan seberat apapun harus siap kuhadapi.

Survey perdana lokasi kerja selalu saja membuat jantung berdebar diliputi tanya, apalagi ini di Papua, aku belum pernah sekalipun kesana sebelumnya. Aku harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 160 Km dari kantor menuju lokasi. Sepanjang jalan tak henti mulutku berkomat-kamit memanjatkan doa. Tentu saja aku berharap tidak terjadi apa-apa terhadap diriku dan survey berjalan lancar.

Sejenak melepaskan penat di sepertiga perjalanan, kutemukan saung kecil di sisi jalan. Sedikit ada keraguanku untuk melangkahkan kaki di depan saung itu, aku sama sekali belum kenal karakter penduduk Papua. Langkahku menjadi mantap ketika senyum ramah pemilik saung itu menyambutku, akupun segera masuk. Yang pertama kucari adalah minuman penambah energy yang biasa kuminum, Kratingdaeng. Setelah kembali bugar, sepeda motorpun segera kupacu melanjutkan perjalanan.

1387651146667336179

Panorama hutan Fakfak, Papua Barat

Kurang lebih empat jam berlalu, akupun tiba di lokasi. Memotret, mengumpulkan data dan semua kegiatan survey berjalan sesuai keingininan. Mandor lapangan begitu hangat menyambutku sampai aku lupa harus segera kembali ke kota dan melaporkan hasilnya ke pimpinan.

Hari mulai merangkak senja, aku tak mau kemalaman di jalan, sepeda motorpun kupacu sekencang mungkin. Tapi "krakkk" tiba-tiba roda berhenti berputar, motor terseret hampir 100 meter, tapi untungnya aku masih bisa menguasai kemudi, sehingga tidak sampai jatuh. Rupanya rantai telah putus dan mengunci velg, tentu saja aku sangat panik. Dan lebih panik lagi ketika kubuka jok, tak satupun perlatan kutemukan. Yaa Allah, aku harus tidur di tepi jalan di tengah hutan malam ini.

Aku mulai membersihkan sampah dedauan dan mencari daun-daun lebar untuk kujadikan alas tidur nanti malam. Di tengah kecamuk perasaanku, terdengar sayup-sayup suara mobil. Aku tidak percaya masih ada mobil sesenja ini di hutan, tapi suara itu semakin jelas. Aku berharap mobil itu mengarah ke kota, sehingga aku bisa menumpang. Tapi ternyata hanya mobil hartop yang dipenuhi muatan lagi. Tidak mungkin mobil itu bisa menampung aku dan motorku, akupun kembali lemas.

Hartop itu berhenti, tepat di depanku. Pengendaranya sudah tua. Dengan sedikit membuka kacamatanya ia menyapaku :

"Ada apa Dik?"

"Ini Pak, putus rantai,"sahutku lemah.

Sungguh tak kuduga, Orang Tua itu turun dan mulai menurunkan muatannya satu-persatu. Dan setelah muatan kosong, ia segera mempersilakan aku untuk menaikkan motorku. Tidak muat memang, dengan posisi roda belakang menggantung, kuikat motor dengan tali seadanya. Seolah tak mempedulikan barang-barang yang ditinggal, pak Tua itu segera memacu hartopnya. Ketika kutanyakan, jawabnya santai saja, tidak akan ada yang mengambilnya.

Aku dibawanya masuk ke dalam hutan. Jalan yang kami tempuh jauh lebih ekstrim daripada rute yang tadi kulalui saat berangkat. Ini lebih menyerupai lembah ngarai daripada jalan. Aku rasa hartop memang kendaraan yang pas untuk jalan seberat ini. Di tengah perjalanan aku diminta untuk menurunkan motorku di rumah penduduk satu-satunya di tengah hutan itu. Pak Tua itu bilang bahwa jalan di depan akan lebih menanjak, jadi tak mungkin kuat jika motor tidak diturunkan. Akupun menurut saja.

Pak Tua itu biasa dipanggil Haji walau mengaku belum pernah pergi ke Mekah sekalipun. Entah kenapa, Pak Haji yang orang asli Makassar itu juga tidak tahu. Katanya panggilan itu muncul begitu saja. Ternyata Pak Haji adalah Pimpinan Senior di perusahaan logging yang worksopnya ada di tengah hutan. Ia amat disegani oleh semua karyawan, dengan sedikit kata : " kita kedatangan saudara, tolong dijamu…"para karyawan di situ melayaniku seperti seorang tamu kehormatan atau saudara dekat yang lama tidak saling ketemu. Dari mandi, makan, tidur aku diberikan service yang terbaik. Yang lebih membuatku sangat berhutang budi adalah motorku diservice terlebih dahulu oleh Teknisi pada esok paginya, padahal Teknisi itu semalam cerita kalau ada buldoser dia dalam keadaan emergency di dalam hutan. Teknisi itu juga tak sedikitpun mau kukasih imbalan. Dan Pak Haji yang ikut menemani sang Teknisi malah bertanya kepadaku,"Baru pertama kali masuk hutan ya Mas? Ini di hutan Mas, sudah biasa hal-hal begini terjadi …terimakasih, bukan kami tidak mau menerima…"membuat ku ternganga teringat sifat orang-orang di kota yang seharusnya lebih beradab

Malaikat itu datang lagi.

Sejenak melepas lelah di saat jam istirahat tiba. Siang itu baru saja para pekerja menyelesaikan separuh lebih pekerjaan pengecoran abutmen jembatan. Terlihat wajah dan badan masih bermandikan peluh, para pekerja duduk lesehan di bedeng. Aku menghampiri mereka, dengan membawa sekardus minuman energy yang berbeda dari yang biasa mereka minum. Seolah takut kehabisan para pekerja itu berebut botol kratingdaeng. Mereka tampak senang sekali dan bergantian mengucapkan trimakasih padaku.

1387651645283812227

Para pekerja konstruksi jembatan Fakfak, Papua Barat

Matahari sudah ditelan rerimbunan hutan, tapi sebagian sinarnya masih mampu menerobos di antara dedaunan, berbarengan dengan usainya pekerjaan. Akupun juga bergegas masuk ke dalam bedeng setelah mengecek seperlunya atas hasil kerja yang baru saja mereka buat. Aku harus segera menyiapkan diri untuk turun ke kota, karena sudah jadwalnya pulang, setelah dua minggu berjibaku bersama mereka. Rupanya Pak Che, mandor senior yang sangat menurut sama aku itu juga hendak turun ke kota. Akhirnya akupun urung membawa motor bebek rapuhku dan memilih bareng Pak Che yang memiliki motor jauh lebih tangguh.

Kami berdua segera melenggang menjemput senja, kembali melusuri jalanan berbukit membelah belantara. Bersamaan dengan datangnya malam, kembali rintangan itu datang tak jauh dari kejadian putusnya rantaiku dulu. Ban tiba-tiba kempes sehingga kamipun berhenti. Pak Che segera mengeluarkan peralatan yang tersimpan di jok. Aku sedikit lega karena perlatan yang dibawa sangat lengkap, termasuk ban cadangan. Tapi kelegaanku hanya berjalan sesaat ketika ban cadangan kembali kempes. Apa boleh buat, salah satu harus ada yang berjalan, karena tidak mungkin berduaan menaiki motor dalam keadaan ban kempes.

138765198520983833

Tak ada pilihan lain, aku harus berjalan sejauh kurang lebih lima kilo meter untuk mencapai workshop. Dengan sisa-sisa tenaga, aku mencoba untuk tidak mengeluh. Pak Che menawariku untuk gantian naik motor, tapi aku menolaknya. Aku baru ingat, di dalam tas masih tersisa dua botol kratingdaeng," ah kenapa aku tidak ingat sedari tadi," padahal minuman itu tak pernah lupa kubawa untuk persiapan di jalan. Kini gantian Pak Che yang menolak ketika kutawari satu botol, ia merasa tidak enak karena ia yang naik motor, tapi aku memaksanya.

Tuhan mengirimkan malaikat-Nya lagi, ketika kakiku serasa tak sanggup lagi bergerak. Dari arah berlawanan tampak sepeda motor datang menghampiriku lalu mengantarku sampai ke Workshop.

"Ini benar-benar malaikat Mas yang datang menolong kita…"

Kali ini aku berboncengan turun kota dengan teman seprofesi. Aku tidak menyangka sedikitpun hal ini akan terjadi lagi. Dan lagi, tempatnya tak jauh dari kejadian pertama dan kedua, tapi sudah sekitar 15 Km melampaui worksop. Malam itu benar-benar kami akan tidur di jalanan, karena penyebab mogoknya bukan ban atau rantai yang mudah dibetulkan, tapi mesin tiba-tiba mati. Kami berdua mencoba melepas busi dan menggantinya dengan yang baru, tapi mesin tidak mau hidup. Kucoba oprek karburator, hasilnya tetap sama. Apesnya lagi tak sedikitpun persiapan makanan kami bawa, termasuk minuman energy kesukannku juga lupa. Beruntung dijok tersimpan jas hujan, sehingga bisa kami pakai sebagai alas tidur.

Malam semakin larut. Kami agak panik ketika gerimis datang. Tidak ada tempat berteduh di tengah hutan. Kami hanya bisa berdoa, mudah-mudahan gerimis tidak membesar dan segera reda. Jas hujan yang tadinya kupakai sebagai alas tidur, kini sudah berfungsi sebagaimana mestinya, kami pakai berlidung dari hujan. Entah apa yang dibaca temanku, mulutnya juga komat-kamit sepertiku. Kami berdua tak ingin keadaan menjadi lebih buruk. Ingin berjalan kaki balik arah ke workshop juga tak cukup tenaga lagi. Kami berdua benar-benar pasrah malam itu.

Gerimis mulai menghilang, akupun berucap syukur. Kukebas-kebaskan ke udara jas hujan yang dipenuhi air hujan, agar bisa kupakai sebagai alas tidur lagi. Kubentangkan kembali di tanah jas hujan itu, tapi aku tidak segera rebahan. Terlintas di pikiranku untuk mencoba menghidupkan mesin motor kembali. Dan ajaib, sekali sentuh mesin langsung menyala, kamipun bersorak kegirangan. Puji syukur tak henti-hentinya kami ucapkan. Spontan temanku berucap , "Ini benar-benar malaikat Mas yang datang menolong kita…"

Terhanyut istriku mendengar kisah tentang pengalamanku selama kerja di Papua, yang ujung-ujungnya aku dilarang kembali lagi ke sana. Akupun menurut. Tapi, setelah dua tahun berlalu, justru ini aku jadikan sebagai Resolusi  Luar Biasa 2014, aku ingin kembali lagi ke Papua tahun depan, tentunya setelah kami berdiskusi panjang.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

“Selamat Natal”, Hukum dan Nasib Kerukunan

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

25 desember selalu hangat untuk diperbicangkan, bukan soal hadiah apa yang akan santaklaus berikan namun suatu hal yang lebih penting dari itu : Apakah hukumnya seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal?.

Sebagian kalangan membolehkan bahkan menganjurkan ucapan selamat Natal keluar dari lisan – lisan yang bersyahadat, alasanya klasik : menjaga kerukunan bersama. Di sisi lain banyak pihak yang mengharamkannya, mereka berpendapat bahwa ucapan tersebut sama dengan persetujuan tidak langsung terhadap keyakinan Agama Nasrani yang jelas – jelas di cap kufur oleh Allah yang bisa dilihat di berbagai tempat di dalam al-Quran.

Hakikat Natal

Di dalam buku Panduan Menjadi Katolik disebutkan : Masa Natal merupakan pesta untuk merayakan kelahiran Tuhan, yang biasanya dirayakan pada tanggal 25 desember [1]

Dengan demikian Selamat Natal merupakan ucapat selamat atas kelahiran Tuhan atau dengan kata lain pemberian selamat atas konsep kufur kaum Nasrani akan Allah. Kenapa kufur? karena Allah  " tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan" (Qs. al -Ikhlas).

Bahkan Allah berfirman,

"Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, bumi terbelah karenanya, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak." (QS Maryam : 88-91)

Melihat hal ini, tentu kita harus berpikir ulang untuk mengucapkan selamat,  terhadap hal yang dengannya langit hampir pecah dan bumi hampir terbelah. Dan yang lebih parah dari itu : bukan tidak mungkin murka Allah menimpa kita.

Perkataan 'Ulama akan Haramnya Ucapan Selamat Natal

Dengan kenyataan seperti ini para 'Ulama mengharamkan memberi ucapan selamat bagi hari raya non muslim.  Imam ad - Damiri - ulama madzhab Syafi'i abad ke 9 H - menyebutkan, "berhak mendapatkan hukuman ta'zir pula, barang siapa yang memanggil kafir dzimmi  (orang Non-Muslim yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin - pen) dengan "wahai haji"  dan barang siapa yang mengucapkan selamat atas hari raya mereka" [2]

Bahkan Ibnu Qoyyim - ulama abad ke 8 hijriah- mengklaim adanya kesepakatan ulama dalam hal ini. Ibnu Qoyyim berujar,  "Adapun memberi ucapan selamat pada syi'ar-syi'ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama" [3]

Kondisi Multikultural dan Multirelijius di Zaman Sahabat 'Umar

Mungkin ada yang berkilah dengan beranggapan bahwa zaman ulama dahulu berbeda dengan masa sekarang. Dalam artian di masa kekinian kaum Muslim - khususnya di Indonesia - sedikit banyak berinteraksi dengan kaum Kristiani berbeda dengan di zaman para ulama, sehingga perlu bagi Muslim Indonesia untuk mengucapkan selamat Natal.

Kalau boleh jujur, kondisi kehidupan yang multikultural dan multirelijius seperti di Indonesia bukanlah hal yang baru bagi dunia Islam. Kondisi tersebut telah dialami oleh pemerintahan 'Umar bin Khatab, namun demikian 'Umar bin Khatab selaku pimpinan tidak mengucapkan selamat natal kepada rakyatnya yang beragama nasrani, malahan ditemukan surat – surat ataupun nasehat 'Umar bin Khatab terhadap staff pemerintahan ataupun terhadap rakyat mengenai hari raya kalangan non -muslim.

Sebut saja perintah 'Umar kepada Kafir Dzimmi  untuk tidak menampakkan syi'ar hari raya mereka [4] dan di dalam riwayat lain 'Umar bin Khatab berujar,  "Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka." Jika mengucapkan selamat terhadap hari raya kaum non - Muslim merupakan sebuah kebaikan dan membawa maslahat tentu 'Umar yang merupakan murid serta kader dari Rasulullah akan mengucapkannya.

Nasib Kerukunan Tanpa Selamat Natal

Lantas kalaulah mengucapkan Selamat Natal terlarang bagaimana nasib kerukunan bangsa ini?. Menghargai konsep beragama non - Islam sejatinya merupakan perkara yang dilarang bagi seorang muslim, namun bukan berarti jalan anarkis mesti ditempuh. Islam tidak melarang untuk berbuat baik dan bermuamalah terhadap orang - orang non Muslim yang tidak memerangi orang Islam.

Hal ini bisa dilihat dari perbuatan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, layaknya Kunjungan Nabi ke tempat seorang yahudi yang sakit, perintah Abdullah bin Amru kepada pembantunya untuk membagi daging sembelihan dimulai dari tetangga yahudi dan berbagai perbuatan yang sesuai dengan Perintah Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa mesti mengorbankan kerukunan seorang hamba dengan Allah sang pencipta.

Mungkin pada awalnya kita hanya memberi selamat, lambat laun mengikuti acara natal dan di akhir cerita kita ridho dengan agama mereka meskipun kita masih setia memakai atribut Islam. 'iyadzubillah min dzalik

"Sungguh kalian akan mengikuti (perlakuan) orang yang sebelum kalian, sejengkal sejengkal, dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang dhab (binatang seperti biawak) sekalipun tentu kalian tetap mengikuti mereka." [HR. Bukhari]

Wa billahi at-Taufiq

Madinah, Sabtu 21 desember 2013

[1] L. Prasetya, Pr, Panduan Menjadi Katolik Bagi yang Ingin Diterima dalam Gereja Katolik hal : 134, (Jogjakarta : Kanisius), cet : ke 5, 2010

[2] an- Najmu alwahhaj fi Syarhi al - Minhaj, 9/244 nukilan dari http://www.forsanhaq.com/showthread.php?t=202329

[3] Ibnu Qoyyim Al-Jauzy, Ahkam Ahli Dzimmah, Beirut : Dar 'l-kutub 'l-'ilmiyah, juz 2 Hal :15

[4] Ahkam Ahli Dzimmah, 2/659

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Ranking Tapi Malas Baca = Omong Kosong

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

Akhir bulan Desember ini tidak hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan dalam rangka merayakan Hari Natal dan menyambut tahun baru. Para orang tua juga memiliki kesibukan tersendiri terkait dengan penerimaan rapor semester anak-anak dari SD hingga SMA. Bahkan ada orang tua yang galau dan was-was terkait dengan nilai yang akan tercantum dalam rapor anak-anaknya atau apakah sang anak akan ranking/juara kelas atau tidak.

Saya termasuk yang setuju bahwa ranking tidak menjamin seorang anak benar-benar pintar, menguasai pelajaran apalagi menjamin kesuksesan dalam kehidupannya kelak. Namun sayangnya ranking-rankingan sudah menjadi budaya dalam masyarakat kita bahkan di dunia pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan di perguruan tinggi tempat kecerdasan seharusnya bisa dipandang secara komprehensif, seringkali lebih mengutamakan siswa-siswi yang langganan ranking di sekolahnya. Oleh karena itu tak jarang para orang tua melakukan segala cara agar anak-anaknya mendapatkan ranking. Ada yang mendekati guru-guru di sekolah agar lebih "memperhatikan" anaknya dibanding siswa yang lain, menyuruh anak ikut bimbingan belajar, les dengan guru, hingga mencari contekan dan menyuruh sang anak mencontek. Orang tua seperti ini yang juga didukung oleh guru-guru yang hipokrit dan sistem pendidikan yang kurang beres sesungguhnya tidak mengerti arti dari kecerdasan dan tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Ranking di sekolah secara umum dipahami oleh masyarakat bisa didapatkan dari prestasi mendapatkan nilai yang tinggi dari serangkaian ujian/tes tertulis. Jadi demi mendapatkan ranking, fokus belajar sang anak diarahkan agar mampu menjawab soal-soal yang akan diujikan. Tidak penting lagi apakah anak paham apa yang telah dipelajarinya, manfaatnya dan untuk apa mempelajari sesuatu hal. Jangan heran bila ada anak sekolah yang ranking namun yang bersangkutan tidak mengerti materi pelajarannya, tidak mandiri hingga tidak mengerti pada tata krama dan kesopanan.

Bagi orang tua yang anaknya tidak ranking di sekolah, tidak perlu berkecil hati. Ranking bukanlah segalanya. Selama anak senang belajar, suka baca buku, mandiri dalam kesehariannya serta peduli dengan tata krama dan kesopanan, maka tidak ada yang perlu dikuatirkan. Ranking biasanya juga akan mengikuti anak-anak tersebut, walaupun tidak ranking, juga bukanlah suatu masalah. Justru yang harus dikhawatirkan oleh orang tua adalah bila sang anak ranking di sekolahnya namun tidak paham apa yang dipelajarinya, tidak suka membaca buku, kurang mandiri dalam kesehariannya hingga kurang memahami tata krama dan kesopanan. Bisa jadi sang anak tidak bahagia dengan apa yang dilakukannya setiap hari karena terlalu dibebani agar selalu mendapatkan ranking di sekolahnya. Apakah hal ini yang orang tua harapkan?

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

[Untukmu Ibu] Bukan hanya sepucuk bahkan sekelabat, leter hati untuk Ibu

Posted: 21 Dec 2013 11:30 AM PST

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar