Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Senin, 16 Desember 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Politikus Kemarin Sore

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Bait Buat Bunda

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik dan non fisik. Proses pembentukan budaya berlangsung berabad-abad dan teruji sehingga membentuk suatu komponen yang handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin. Komponen inilah yang disebut dengan jati diri.

Di dalam jati diri terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan hasil dari Local Genius dari berbagai suku bangsa, kearifan lokal inilah seharusnya dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture) untuk mewujudkan suatu bangsa yaitu, Bangsa Indonesia. Budaya dilahirkan beribu tahun yang lalu sejak manusia ada di Bumi. Kebiasaan yang bagai telah menjadi dan membentuk perilaku manusia tersebut diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya itu sendiri merupakan suatu produk dari akal budi manusia, setidaknya apabila dilakukan pendekatan secara etimologi. Budaya dalam hal ini disebut kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Dalam pergiliran budaya antar generasi ini dibutuhkan adanya generasi perantara yang sudah mampu melakukan pemahaman dari generasi tua dan mampu mengkomunikasikan ke dalam bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh generasi selanjutnya.

Derasnya arus globalisasi, modernisasi dan ketatnya puritanisme dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap kebudayaan lokal. Sehingga kebudayaan lokal yang merupakan warisan leluhur terinjak-injak oleh budaya asing, tereliminasi di kandangnya sendiri dan terlupakan oleh para pewarisnya, bahkan banyak pemuda yang tak mengenali budaya daerahnya sendiri. Mereka cenderung lebih bangga dengan karya-karya asing, dan gaya hidup yang kebarat-baratan dibandingkan dengan kebudayaan lokal di daerah mereka sendiri. Slogan "aku cinta produk lokal. aku cinta buatan Indonesia" sepertinya hanya menjadi ucapan belaka, tanpa ada aplikasi nyata yang mendukung pernyataan tersebut. Penggunaan bahasa asing di media massa dan media elektronik bukan tidak mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai budaya lokal perlahan memudar. Padahal, bahasa sebagai alat dalam menyampaikan pembelajaran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter pemuda. Tidak ada lagi tradisi yang seharusnya terwariskan dari generasi sebelumnya. Modernisasi mengikis budaya lokal menjadi kebarat-baratan, sedangkan puritanisme sering menganggap budaya sebagai praktik sinkretis yang harus dihindari. Menurut penulis, sepanjang tidak bertentangan dengan norma, budaya lokal harus selalu dipertahankan untuk memperkuat karakter anak bangsa. Padahal, jika kita memahami, kebudayaan lokal di daerah tidak kalah saing dengan budaya-budaya asing yang belum kita kenal. Negara asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya kita. Bukankah seharusnya kita bangga dengan budaya lokal yang telah diwariskan kepada kita generasi pelurus perjuangan bangsa? Dengan keadaan yang seperti ini perlu ditanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada para pemuda untuk meningkatkan kecintaan pemuda terhadap kebudayaan lokal. Maka, sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta dan peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para pemuda.

Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Namun yang terjadi pada pemuda sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan kebudayaan itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak kita pahami.

Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan kebudayaan lokal khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya dengan mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada aturan atau standar moral yang berlaku dan  merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan menyatu dalam pikiran serta tindakan.

Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis dan sosiologisnya.

Upaya membangun karakter pemuda berbasis kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal yang menjadi peletak dasar pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Jika menilik pada tujuan pendidikan nasiona, maka manusia yang berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Pada praktiknya, mata pelajaran muatan lokal dipandang merupakan pelajaran kelas nomor dua dan hanya dianggap sebagai pelengkap. Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian mengindikasikan aplikasi pengajaran muatan lokal di sekolah masih mengambang. Persoalannya adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan karakter yang sudah dimasukkan ke dalam kurikulum tersebut.

Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman nilai karakter bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang berlaku dan sebagainya, perlu metode pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di sekolah. Semua stakeholder pendidikan diharapkan andilnya dalam memberikan kontribusi nyata terhadap pelestarian kebudayaan lokal di daerah khusunya bagi kalangan pemuda sebagai penerus budaya bangsa. Pemberian pengarahan dan penghargaan kepada para guru juga dianggap perlu dalam upaya memotivasi dan meningkatkan pemahaman para guru dalam mengaplikasikan serta memberikan teladan mengenai pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal.

Contoh implementasi kecil yang dapat kita realisasikan di sekolah misalnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada para pemuda. Pengadaan sanggar seni budaya di sekolah-sekolah sebagai sarana merealisasikan bakat juga sebagai hiburan para pelajar, juga dipandang perlu untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan para pemuda pada kebudayaan lokal di daerahnya sendiri. Permainan-permainan tradisional yang hampir punah juga sebaiknya diekspos kembali. Gasing, misalnya. Sebagai permainan tradisional, gasing dapat membawa banyak manfaat dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai sejarah, dapat dijadikan simbol atau maskot daerah, dijadikan cabang olahraga yang dapat diukur dengan skor dan prestasi dan mengandung nilai seni. Dan masih banyak lagi permainan-permainan tradisional yang mengandung unsur kekompakan tim, kejujuran, dan mengolah otak selain berfungsi sebagai hiburan juga untuk menanamkan kecintaan pelajar pada budaya lokal di daerah.

Selain itu, penggunaan bahasa lokal dipandang perlu diaplikasikan paling tidak satu hari dalam enam hari proses pembelajaran di sekolah. Disamping itu, diharapkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler berbasis kebudayaan lokal mulai diadakan di sekolah-sekolah. Kegiatan seperti perlombaan majalah dinding sekolah, dengan isi yang menekankan pada pengenalan budaya lokal, lomba cerdas cermat antar pelajar mengenai lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat, dan sebagainya.

Contoh implementasi lainnya yang dapat kita terapkan di luar sekolah adalah dengan aktif mengadakan seminar (workshop) tentang pendidikan karakter dan kearifan budaya lokal kepada para pemuda. Tentunya serangkaian kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan metode yang sesuai dengan gaya pemuda masa kini agar lebih menarik dan terkesan tidak kuno. Pendirian komunitas pemuda peduli budaya juga dapat menjadi inovasi dan memberikan motivasi bagi para pemuda dalam menerapkan pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal. Disamping itu, tradisi-tradisi yang menekankan pada kegotong royongan dianggap perlu diaplikasikan dan disisipkan pada kegiatan-kegiatan kesiswaan di sekolah.

Kemudian, untuk mendukung proses pembelajaran para pemuda terhadap sejarah dan kebudayaan lokal, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebaiknya dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk mendirikan museum sejarah kebudayaan dan wahana handicraft yang berisikan pernak-pernik kerajinan tangan hasil karya pemuda.

Selain untuk memperkenalkan kebudayaan lokal terhadap kaum pemuda, pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal juga memiliki tujuan mengubah sikap dan juga perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Manfaat dari penerapan budaya yang baik juga dapat meningkatkan jiwa gotong royong, kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, menumbuhkembangkan jiwa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, serta tanggap dengan perkembangan dunia luar.

Budaya merupakan source yang takkan habis apabila dapat dilestarikan dengan optimal. Selain itu, apabila negara menginginkan profit jangka panjang, alternatif jawabannya adalah lestarikan budaya dengan menggunakan potensi yang dimiliki pemuda tentunya tanpa melupakan peran serta golongan tua.

Saatnya kita memperkenalkan dan menerapkan kembali kebudayaan lokal kita yang telah lama terlupakan  dan meninggalkan budaya asing yang sejatinya sangat tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Kenapa kita mesti malu mengakui budaya sendiri, sedangkan bangsa asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya kita dan memperkenalkannya kepada dunia sebagai budaya mereka? Jadi, bukankah kita mestinya bangga dengan apa yang kita miliki dan memperlihatkan kepada dunia bahwa inilah budaya daerahku.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

What’s Going On??

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Kenapa judulnya what's going on?

Ya karena pertanyaan itu yang selalu berkecamuk dalam pikiranku.Sebut saja namaku Emirates.Sekarang usiaku 22 tahun.Tanggal 2 Desember 2009 dalam perjalanan dari Semarang menuju Palembang,aku transit di Jakarta.Saat itu aku baru kehilangan sosok almarhum ayahku dan baru saja diputus pacar yang sudah 2 tahun menjalin cinta.Sembari menunggu penerbangan ke Palembang aku duduk di Executive Lounge milik Garuda Indonesia.Kebetulan aku menggunakan maskapai itu dan memiliki Platinum Card GFF.Sambil menikmati kudapan dan segelas jus apel seseorang membuyarkan lamunanku."Suka pesawat ya?"Tanyanya.

Saat itu aku sedang memegang sebuah die cast Airbus A330-300 di Lounge.Sebut saja namanya Etihad.Seorang co pilot berusia 24 tahun.Kami lalu saling ngobrol dan bertukar nomer ponsel.Awalnya kami mengobrol soal pesawat.Airbus,Boeing,Embraer dan instrumen yang ada di dalamnya."Istrinya tinggal dimana?"Tanyaku.Etihad hanya menghela nafas.Pandangannya diedarkan ke jendela."Maaf"Ujarku.Dia mulai menceritakan istrinya yang menurutnya kurang begitu baik.Aku pun larut dalam ceritanya.Hingga tak sadar aku memegang tangannya.Dia hanya tersenyum.Lalu announcement untuk boarding membuyarkan kami.

18 Desember 2009,surprise.Etihad menyampaikan selamat ulang tahun padaku.Dia adalah orang pertama yang mengucapkan.Semenjak itu Etihad sering menelfon atau sms untuk mengabarkan rute terbangnya.Tak jarang dia mengingatkanku untuk makan atau sholat meskipun dia notabene non Muslim.Entah mengapa aku merasakan nyaman bersama dia.Sayang dengan dia.Tapi menyangkal bahwa aku jatuh cinta.Karena seyogyanya aku masih suka perempuan.

6 Januari 2010,pertemuanku dengan Etihad yang kedua kali.Dia tengah Remain Over Night (RON) di Semarang.Kami berkeliling kota Semarang.Karena terlalu larut aku pun tidur di hotel dimana Etihad menginap.Etihad memesankan segelas coklat hangat.Malam itu cukup dingin.Etihad duduk di depanku.Dia tersenyum.Dia mengusap rambutku."Anak manis kedinginan."Ujarnya sambil tertawa.

"Mas boleh aku bicara sesuatu?"Tanyaku."Boleh.Kamu pengen apa?"Balasnya.

"Mas kenapa ya aku bisa sayang sama kamu,cinta sama kamu?"Ujarku dengan nada polos.Dia terdiam sejenak."Mas,marah?"

Etihad mendongakan kepala nya.Tersenyum."Aku juga merasakan hal yang sama."Ujarnya.Kami terdiam.Kami tidak tahu harus bagaimana.Dua orang pria saling jatuh cinta??Sungguh tak masuk di akal.Tiba-tiba Etihad memegang tanganku.Mendekatkan bibirnya dan sejurus kemudian bibir kami saling bertautan.Namun hanya beberapa detik,karena aku melepasnya dan berdiri."Maaf."Ujarnya.

Aku memandang ke luar jendela.Etihad merangkulku dari belakang."Bolehkah aku memanggilmu sayang?"Tanya Etihad.Aku pun mengangguk.Lalu Etihad mulai mencumbuiku dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

Hubunganku dengan Etihad semakin intim.Kami sering memadu kasih.Entah dia ke Semarang atau aku yang ke Jakarta.Namun ada satu pertanyaan dalam diriku.Aku maupun Etihad masih memiliki nafsu melihat perempuan.Tapi kami tidak tertarik sama sekali dengan pria lain.Aku pun hanya mau melakukan hubungan badan dengan Etihad begitu juga sebaliknya.Kami tidak pernah memiliki nafsu dengan pria lain.

What's Going On?

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Berziarah di Kotamu

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Salut untuk Pekerja dari Tanah Jawa, Saya Malu jadi Orang Minang

Posted: 16 Dec 2013 11:18 AM PST

Tulisan ini dimaksudkan sebagai koreksi dari tulisan yang dipublish sahabat saya Boyke Abdillah, dengan Judul Salut Untuk Pekerja Dari Tanah Jawa. Dalam tulisan itu, sahabat saya menyanjung-nyanjung pekerja dari Jawa sekaligus melecehkan suku-suku lain. Liat saja kalimat yang berbunyi "Ternyata suku-suku lain juga begitu, pada malas bekerja kasar. Maunya yang enak-enak saja. Lihat saja omongan teman-teman yang orang Banjar dan Gorontalo". Setelah itu, sahabat saya ini, dengan PDnya menghina sukunya sendiri (Minang) dengan kalimat "Saya yang nota bene orang Minang, jelas mengenal karakter dan budaya orang Minang dalam bekerja. Karena budayanya yang egaliter, pantang untuk jadi pesuruh dan bekerja yang kasar-kasar". Kemudian dengan bangganya, sahabat saya menghina masyarakat sekitarnya, tempat beliau berdomisili, Indonesia dan lebih khusus lagi Pekanbaru dengan kalimat "Yang jelas saya tidak bisa bayangkan. Pembangunan fisik di seluruh Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Siapa yang mau membangun gedung-gedung? Siapa yang mau membuat jalan-jalan, jembatan, saluran air, jaringan telekomunikasi? Masyarakat setempat? Mana mau!". Tidak cukup itu, bahkan tetangga kita dari Asia Selatan pun jadi minor dimata sahabat saya ini, coba perhatikan kalimatnya "Bisa jadi pembangunan di negara tetangga seperti di Malaysia juga terhambat. Jika mereka menggunakan tenaga pekerja dari Asia selatan".

Saya sebenarnya, tidak mau menanggapi apa yang beliau tulis, karna, saya pikir, semua orang boleh saja berpikir bebas, boleh saja menulis apa saja yang dia pikirkan dan dia rasakan serta dia ketahui. Tetapi masalahnya, jadi berbeda, ketika sudah menjudge suku-suku lain dengan penilaian yang minor. Apalagi, jika suku yang beliau nilai itu bukan dari suku beliau. Apalagi dasar penilaian itu hanya dari hasil bincang-bincang dua orang yang berasal dari suku itu. Apakah bisa disimpulkan perilaku sebuah suku dari pembicaraan seorang yang kebetulan dari suku itu. Jika kesimpulannya benar, it's oke, tetapi jika tidak benar, bisa jadi, ini merupakan bibit sebuah issue sara.

Lalu, apakah ketika sahabat saya yang Minang ini, menyimpulkan tentang prilaku orang Minang, maka penilaian itu sudah dengan sendirinya benar? Apakah semua orang Minang berprilaku demikian, apakah tidak ada orang Minang yang berprilaku lain, yang sama sekali berbeda dengan yang dituliskan sahabat saya ini? Untuk menJawab semua pertanyaan itu, maka tulisan ini saya maksudkan.

Benarkah orang Minang pantang jadi pesuruh dan bekerja yang kasar-kasar?

Saya kok keberatan dengan kesimpulan diatas. Saya ingin membuktikan kesalahan itu, bukan dengan teori, tetapi sesuai dengan cara sahabat saya mengambil kesimpulan diatas, dengan pengamatan yang terjadi di lapangan. Separuh lebih usia saya, saya habiskan dibidang konstruksi atau fisik bangunan. Ketika bangunan tinggi akan dibangun, maka syaratnya, harus dipancang terlebih dahulu. Salah satu perusahaan yang mengerjakan pekerjaan Pancang itu, yang identik dengan pekerjaan sangat kasar dan kotor, karena belepotan oli, mayoritas pekerjanya adalah orang Minang. Tepatnya dari daerah sekitar Bukittinggi dan Payakumbuh. Hampir seluruh teman-teman seJawat saya yang menjadi tenaga surveyor yang identik dengan kasar dan paling repot serta memerlukan ketelitain tinggi adalah orang Minang. Di kota Medan, masih banyak kita jumpai para tukang becak orang Minang, Beberapa teman saya yang menjadi supir dan kernet Truk trayek Jakarta-Medan juga orang Minang. Jadi apakah benar orang Minang tidak mau bekerja yang kasar-kasar?

Benarkah orang Banjar dan Gorontalo tidak mau bekerja yang kasar-kasar?

Awal dekade tahun delapan puluhan, saya bekerja di konsultan Tekhnik, bidang kerja saya, melakukan penyondiran tanah di pantai-panti di Indonesia Timur, pekerjaan ini sangat berat, karena alat-alat sondir itu berat-berat dan mobile, kadang juga dilakukan di pantai bukan pada pasir pantainya tetapi pada air lautnya. Pada pekerjaan itu, tidak satupun kuli yang mengerjakannya berasal dari Jawa, mereka adalah putra-putra dari Indonesia Timur dan Tengah, termasuk suku Banjar dan Gorontalo. Pekerjaan ini, bukan sebulan dua bulan, tetapi dalam hitungan tahun saya lakukan. Lalu darimana kesimpulannya orang Banjar dan Gorontalo tidak mau bekerja yang kasar-kasar?

Benarkah orang Jawa rajin-rajin dan suka kerja kasar?

Ada anekdot yang mungkin sahabat saya tidak tahu…. "orang Jawa itu hebat-hebat, Presiden orang apa? Jawa, Mentri orang apa? Jawa, Gubernur orang apa? Jawa, tukang becak orang apa? Salah'e dewe. Artinya, semua pekerjaan yang halus-halus itu, sebenarnya adalah pekerjaan orang Jawa, kalaupun ada diantara mereka yang mengerjakan pekerjaan kasar, itu karena kesalahan mereka sendiri.

Jadi, semua orang pada dasarnya, ingin mengerjakan pekerjaan yang halus-halus. Jika yang halus-halus itu tidak tersedia, maka dengan terpaksa yang kasarpun diambil.

Mengapa terpaksa? Banyak alasan yang bisa dijadikan Jawaban. Mungkin saja karena faktor pendidikan, mungkin juga karena faktor kesempatan yang tidak tersedia, atau bisa jadi, karena jauh dari kampong halaman. Buktinya, orang Minang yang dikampungnya, tidak mau kerja kasar, ketika sampai Jakarta ada yang jadi kuli bangunan. Demikian juga, kuli-kuli kasar orang Jawa yang bekerja di Pekan Baru itu, belum tentu mau mengerjakan hal yang sama ketika pekerjaan itu berada di kampung halaman mereka.

Benarkah orang Asia Selatan, etos kerjanya kalah dibanding orang Jawa?

Sekali lagi, kesimpulan yang diambil sahabat saya ini, ternyata tidak benar. Coba liat kuli-kuli kasar dan tukang-tukang bangunan di Arab Saudi dan Timur Tengah umumnya? Adakah orang Jawa? Jikapun ada, jumlah mereka sedikit, dibandingkan dengan orang Pakistan dan Bangladesh. Anak buah saya Orang Korea, dulu, ketika mengerjakan proyek PLTU di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jauh lebih rajin dibanding dengan orang Jawa.

Jadi, orang manapun, suku apapun yang berada di Negara kita ini, memiliki kelebihan masing-masing, memiliki etos kerja yang khas daerahnya masing-masing, soal kerja kasar atau tidak kasar, itu hanya masalah kesempatan, waktu dan tempat lokasi kerja saja. Menjudge satu suku lebih baik dari suku lain, hanya akan menimbulkan kontra produktif, bisa-bisa malah menjadi issue sara.Marilah kita menjadi bijak, manusia adalah makhluk sosial yang unik, jangankan dalam satu komunitas suku, dalam satu keluarga saja, yang satu ibu dan bapak, masing-masing mereka memiliki perbedaan, baik dari sifat, perilaku dan etos kerja. Wallahu'alam bish-shawab.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar