Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Rabu, 27 November 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Percobaan Pidana LHI

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

Setelah melalui rangkaian panjang persidangan, akhirnya Luthie Hasan Ishak (LHI), mantan Presiden PKS dituntut Jaksa Penuntut Umum selam 18 tahun penjara.

Kasus ini memang menarik perhatian publik tahun 2013. Sebagai mantan Presiden PKS, sebuah partai yang mengusung jargon "Bersih dan Peduli", penangkapan (LHI) memang memiliki daya "magnitudo" yang besar.

Partai yang dikenal bersih namun kemudian menyeret Presidennya langsung. Sebuah pelajaran penting bagi demokrasi di Indonesia. Korupsi tidak mengenal batas pendidikan, agama maupun berbagai "orang yang selama ini dikenal dapat membawa perubahan anti korupsi".

Ketika penangkapan terhadap LHI, sebagian kalangan menyatakan "LHI tidak dapat dipersalahkan" karena dugaan uang suap belum sampai di tangannya. Sehingga LHI harus dibebaskan dari tuduhan KPK.

Terhadap fakta ini memang benar. Uang memang belum sampai ditangannya dan masih di tangan Ahmad Fathanah (AH) yang merupakan teman LHI. Namun terhadap fakta ini tidak dapat dijadikan dasar untuk "melepaskan" LHI dari tuduhan serius. Menerima suap dari pihak lain merupakan kejahatan serius. Sehingga terhadap fakta ini harusnya disikapi secara berbeda.

Namun cerita kemudian berbeda. Dalam persidangan, kita dipertontonkan istilah seperti "Pustun", pembicaraan skenario untuk money loundry di sebuah negara keciL "British Virgin Island'. Kita diperlihatkan juga berbagai skenario yang memperlihatkan bagaimana "cara merampok duit APBN" untuk kepentingan pemilu 2014.

Kembali ke pembahasan terhadap uang yang belum diterima oleh LHI. Dari rangkaian cerita, maka dapat diketahui, AH menerima uang setelah adanya perundingan jahat (deelneming) dengan LHI. AH tidak mungkin bisa menerima uang apabila tidak adanya deelneming dengan LHI. Berbagai rangkaian yang telah diperlihatkan di persidangan membuktikan, LHI dan AH memang bagian dari rangkaian deelneming menerima uang.

Setelah AH dijatuhkan vonis hakim dan dinyatakan bersalah, maka LHI terlibat dari rangkaian deelneming bersama dengan AH.

Namun dalam konteks kasus korupsi, ada perbedaan antara LHI dan AH. Apabila pembelaan dari AH yang menyatakan "AH bukan penyelenggaran negara" dan tidak diterima hakim, maka sudah dipastikan dalil pembelaan dari LHI akan menyatakan "uang belum diterima" sehingga LHI harus dibebaskan dari tuduhan JPU.

Dalil ini sudah pasti mudah dimentahkan oleh JPU. Padahal "uang belum diterima" oleh LHI tidak dapat membebaskan LHI dari rangkaian.

Berbagai percakapan dari LHI dan AH membangun skenario mengatur "impor sapi" dan pembicaraan LHI dengan pengusaha untuk mengatur skenario itu merupakan fakta yang tidak bisa dibantah oleh LHI.

Apabila memang "uang belum diterima oleh LHI", maka dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah "percobaan pidana (Poeging)". Poeging diatur didalam pasal 53 KUHP.

Pasal ini pada prinsipnya mengatur " (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur  hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Dengan demikian, maka perbuatan pidana telah dilakukan, namun tidak selesai bukan dari kehendak pelaku.

Menerapkan Pasal 53 KUHP dalam peristiwa "uang belum diterima" merupakan peristiwa yang tepat menggambarkannya.

Pasal 53 diterapkan sehingga dapat mengurangi 1/3 dari ancaman maksimal tuduhan kasus yang menimpa LHI. Namun "uang belum diterima" tidak dapat menghapuskan pertanggungjawaban LHI dari uang yang sudah diterima oleh AH.

Tentu saja asumsi yang dibangun oleh penulis semata-mata berdasarkan kepada pemberitaan yang terus menerus melaporkan persidangan LHI.

Terlalu banyak misteri yang belum diungkap di publik.

Kita tunggu apakah LHI menggunakan dalil ini didalam pembelaannya. Dan kita juga menunggu apakah hakim akan menggunakan dalil ini atau mempertimbangkan fakta yang lain.

Persidangan LHI tidak sekedar "menggambarkan rangkaian skenario "cara merampok duit APBN" untuk kepentingan pemilu 2014 atau persoalan Pustun. Namun bagaimana pasal 53 KUHP dipertimbangkan oleh hakim.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Cerita Seorang (setengah) Dokter

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

Yah, tepatnya setengah dokter sih karena saya tidak mengambil residensi/ko-ass, jadi saya tidak bisa praktek dokter. Buat yang belum tahu, proses menjadi dokter di Indonesia adalah 4 tahun belajar teori dan 2 tahun kerja praktek/ko-ass, lalu dilanjutkan dengan PTT (kerja di propinsi terpencil) dan ujian akreditasi dokter, baru deh boleh buka praktek. Alasan saya berhenti? Tidak balik modal bro.

13855814321144674599

Dari ini…

Saya suka kedokteran. Dari dulu itu mimpi saya: menjadi dokter dan menolong pasien. Ga harus menyelamatkan nyawa dengan dramatis kaya di film-film, asal pasien saya bisa sehat saja saya sudah cukup senang. Ceritanya.  Tapi untuk sampai kesana perjuangannya luar biasa. Kalau yang kuliah ekonomi cuma perlu menyelesaikan 160 SKS, kita di kedokteran perlu 200 SKS plus tambahan SKS di program Ko-ass. Yang konon cuma 4 tahun bisa molor sampai 7 tahun (seperti saya). Lalu waiting list untuk masuk/melaksanakan program Ko-ass karena hanya tidak semua rumah sakit menerima program ko-ass. Karena universitas saya swasta dan tidak punya rumah sakit sendiri, alhasil kadang ko-ass menganggur selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk mendapat giliran di rumah sakit. Yang konon cuma 2 tahun bisa molor sampai 3 tahunan. Belum lagi aksi tusuk sana-tusuk sini dan persaingan ketat sesama rekan sejawat yang tidak mau nilai saya lebih baik dari nilai mereka. Ini terasa sekali saat masih di program S.Ked/4 tahun teori, karena kalau rata-rata nilainya jeblok maka yang harusnya standarnya cuma dapat C bisa diupgrade jadi B atau A-.

Saat saya lulus S.Ked saya dihadapkan dengan dilema: lanjut sampai dokter penuh atau tidak. Saat itu orang tua saya sudah beberapa tahun berpisah dan saya membiayai kuliah saya sendiri dengan bekerja menjadi guru Bahasa Inggris. Biaya ko-ass bahkan lebih mahal daripada biaya kuliah teori, dan jadwal yang tidak tentu berarti saya tidak bisa bekerja lagi. Mama meminta saya lanjut sampai selesai dan akan berusaha mencari uang yang diperlukan, dan bahkan dosen saya menjanjikan untuk membantu saya menyelesaikan kuliah saya. Tapi saya berpikir: kalau saya terus, berarti setidaknya saya tidak bisa menghasilkan uang sampai paling cepat 4-5 tahun (Ko-ass + PTT + akreditasi), lalu bagaimana saya bisa hidup dan kedepannya berapa banyak hutang yang harus saya bayar? Banyak senior kami yang akhirnya mengajar karena sebagai dokter muda/fresh graduate mereka tidak mendapatkan pasien. Konon ada yang sampai 5 tahun buka praktek baru mendapatkan pelanggan tetap. Masuk rumah sakit juga butuh koneksi dan sama ketatnya dengan mencari pekerjaan di bidang lain. Saat itu saya sudah mendapat gaji setara dengan rekan-rekan di Ekonomi yang sudah berkerja selama 2 tahunan, padahal saya hanya bekerja selama 3 jam sehari; teman saya bekerja menjaga klinik 24 jam dan dibayar setara dengan yang saya charge selama 1.5 jam. Ini jelas bukan pilihan, pikir saya.

Saat saya kuliah dulu (dan belakangan ini) saya sering mendengar: "Dokter itu profesi mulia"; dan seringkali saya bertanya: apa sih kategori "mulia" itu? Apa menyelamatkan nyawa itu lebih mulia daripada, misalnya, wedding organizer? Sama-sama membantu orang toh. Dokter ya sebuah profesi. Dokter menerima bayaran dari pasien untuk mendiagnosa dan (kalau bisa) menyembuhkan pasien. Sama saja dengan montir yang menerima bayaran untuk mendiagnosa kondisi mobil anda dan membetulkannya. Bedanya adalah montir bekerja dengan benda mati yang selalu sama, sementara dokter bekerja dengan tubuh manusia yang selalu berbeda. Dokter tidak bisa menjanjikan kesehatan atau kesembuhan, dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu atau kelalaian lho. Tubuh manusia itu berbeda satu dengan lainnya, biarpun berat badan dan kondisi kesehatan sama tapi bisa saja efek obat yang diberikan berbeda. Tubuh manusia juga hidup dan terkadang walau sudah diintervensi dokter melakukan hal-hal yang diluar kendali si dokter. Kalau mobil bisa dengan mudah dibongkar pasang untuk melihat bagaimana cara kerjanya, manusia jelas tidak bisa. Dengan kata lain, kedokteran bukan ilmu pasti. Kedokteran lebih mirip sebuah "seni": seni menyembuhkan. Dengan melihat gejala dan sebagainya, seorang dokter bisa melihat (atau setidaknya menebak) apa yang salah dan berusaha membuatnya jadi lebih baik. Tapi ini bukan ilmu pasti karena tubuh manusia tidak sama satu dengan yang lainnya. Dan dengan berkembangnya ilmu secara umum, bisa saja protokol-protokol dan teknik pengobatan yang dilakukan sekarang justru dianggap berbahaya dan bodoh di masa depan. Orang Yunani kuno percaya histeria wanita terjadi karena indung telurnya berjalan-jalan/berpindah di dalam tubuhnya, dan diobati dengan ditakut-takuti (teriakan dan suara keras) agar kembali ke tempatnya. Sekarang kita cukup minum obat penenang. Dan bahkan di masa depan bisa saja kita bahkan tidak perlu obat penenang.

1385581506771650405

Menjadi ini…

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat yang bilang: Dokter itu juga profesi, jadi kalau salah bisa dihukum. Ini benar sekali, tapi dengan catatan bahwa yang mau menghukum dan merasa dirugikan harus mengerti bahwa kedokteran bukan ilmu pasti. Ada bedanya antara kelalaian/ketidak-pedulian dan kondisi di luar kendali si dokter karena - lagi-lagi - tubuh manusia berbeda satu dengan yang lainnya. Banyak juga yang dengan emosi berpendapat dokter tidak punya hati nurani kalau tidak membantu orang miskin. Ini juga harus ditelusuri: apa dokternya yang dengan songongnya bilang "Sorry ya, eike jijay sama orang miskin!" atau birokrasi rumah sakit yang menahan si pasien? Dan kalaupun birokrasi rumah sakit, apakah itu karena rumah sakitnya yang sibuk "Uang! Uang! Uang! Uang!!!" atau karena mereka berusaha menjalankan bisnis karena pemerintah tidak mampu memberikan jaminan kesehatan untuk rakyat Indonesia? Obat dan alat medis itu mahal lho bo'. Kalau tidak pintar-pintar mengelola rumah sakit bisa bangkrut. Katakanlah anda punya toko atau restoran, apa iya anda akan sedemikan mudahnya memberikan barang jualan anda atau makanan gratis bila ada yang datang dan bilang: saya miskin tapi saya perlu barang/makanan anda untuk hidup. Atau anda penasihat keuangan yang dibayar sekian juta per harinya, apa iya anda akan mau mengalokasikan waktu anda yang berharga untuk membantu mengelola keuangan si miskin? Mungkin anda rela, tapi kalau terus-terusan dilakukan bisa-bisa anda yang perlu bantuan.

Saya tahu bedanya pelayanan dokter 'miskin' dengan dokter 'kaya'. Saat saya pergi ke dokter kulit di RSUD di Bali, si mbak dokter residen sibuk main BB dan tidak peduli dengan saya. Boro-boro ngecek, dia hanya bertanya kondisi dan sibuk mencatat lalu selesai. Terhina rasanya, walaupun saya cuma bayar Rp 15,000. Buat saya, profesi apapun tidak boleh membedakan klien/pelanggan. Biar dia bayar cuma sepersepuluh klien di rumah sakit mahal, kalau memang si dokter terima job disitu maka dia harus konsisten dengan pelayanannya. Kali berikutnya saya pergi ke rumah sakit swasta, kena Rp 250,000 termasuk obat tapi pelayannannya jangan ditanya… Sangat memuaskan! Saya diperiksa fisik, ditanya-tanya, dijelaskan, benar-benar money well spent rasanya. Soal obat juga demikian, saat mantan pacar saya kecelakaan dia diberikan obat untuk gegar otaknya dari rumah sakit pemerintah tempat ia dirawat. 7 hari meminum obat itu dia masih tidak bisa bangun karena pusing. Setelah mendapat obat dari spesialis swasta, 2 hari minum obat dia sudah bisa jalan-jalan. Obat itu mahal, dan sayangnya semakin poten sebuah obat maka semakin mahal pula harganya. Walau demikian saya pun tidak setuju bila dokter terlalu kemaruk dan terlalu mesra dengan perusahaan farmasi, karena pasien yang dirugikan. Cari tambahan sih boleh saja, tapi ada batasnya. Setelah saya membayar hampir Rp 20,000 untuk obat salep saya, seminggu kemudian saya menyadari bahwa sebenarnya ada istilah lebih sederhana untuk kondisi kulit yang saya alami: kena gigitan serangga tomcat. Dan salep tersebut cuma perlu bayar Rp 15,000 di puskesmas. Hadeuuuuh……

Kalau dokter sama dengan profesi lainnya (dan memang sama), kenapa dokter dihujat kalau mencari profit? Biar bagaimana, mereka juga harus balik modal lho. Saya rasa orang tua manapun yang meng-iyakan anaknya untuk menjadi dokter pasti berpikiran kalau ini demi masa depan anaknya, karena dokter adalah satu dari sedikit profesi yang akan selalu dibutuhkan walau sudah tua sekalipun. Dengan kata lain bermotif ekonomi. Saya setuju dengan pendapat bahwa dokter harus professional, tidak membedakan klien, dan tidak boleh lalai. Ini sebenarnya kode etik untuk semua profesi bukan? Mulai dari pembantu rumah tangga sampai direktur perusahaan. Tapi kalau soal dokter harus membantu si miskin dan siap menolong siapapun karena itu profesi mereka, monggo diingat kalau mereka juga manusia. Saya rasa kebanyakan dokter pasti lebih pilih mengelola orang kaya agar balik modalnya cepat. Apa iya ini salah? Kalau anda punya anak apa anda akan rela membiayai anak anda hingga sekian ratus juta dan membuat dia kehilangan setidaknya 10 tahun waktu hidupnya untuk belajar agar dia bisa berbakti kepada masyarakat, tanpa  pamrih atau imbalan apapun untuk anda? Dan bila anda yang menjadi dokter, apa anda rela mengorbankan 10 tahun waktu anda dan hidup morat-marit makan nasi dan garam agar anda bisa berbakti kepada masyarakat (dan ini setelah membayar kuliah yang sekian ratus juta). Yang namanya dokter bekerja di rumah sakit dan tidak bisa menolong pasien (kalau ditolak oleh rumah sakit), yang namanya dokter 'bermesraan' dengan perusahaan farmasi, yang namanya dokter memilih kerja di kota dan bukan di daerah terpencil, apa iya anda bisa menyalahkan mereka untuk mencoba mencari penghidupan yang layak? Kalau pasien sampai ditelantarkan atau tidak dilayani dengan baik, tentu bisa. Tapi bila semua masih dalam batas kewajaran, kenapa tidak?

13855815722129760180

Dan akhirnya ini… Tapi perjalanan ini belum berakhir!!!

Bila sampai disini anda masih menyalahkan dokter dan dengan sinis berkata: "Apa si miskin tidak boleh sakit??", perkenankan saya menjawab dengan jujur: "Kalau di Indonesia sih tidak." Pertanyaan ini seharusnya bukan ditujukan kepada dokter, tapi kepada pemerintah Indonesia. Anda tidak bisa mengharapkan dokter berkorban demi si miskin hanya dengan jargon "itu profesi anda!". Mereka juga butuh makan bro. Bila saja pemerintah Indonesia mampu menjamin rakyatnya, saya rasa tidak ada rumah sakit atau dokter yang menolak pasien miskin karena tahu secara finansial mereka memang bisa menolong si pasien ini. Dan bila memang pemerintah tidak sanggup menjamin rakyatnya, apa yang bisa anda lakukan untuk sesama warga negara Indonesia? Bagaimana bila anda yang menjamin dan membayar pengobatan untuk orang-orang miskin ini, atau membuat semacam Community Hospital alias rumah sakit komunitas yang dibiayai dari kantong-kantong anda untuk para orang miskin? Jangan cuma bisa menuduh dokter malpraktik tanpa mengerti kompleksnya tubuh manusia, atau menuduh dokter mata duitan karena konon tidak mau membantu orang miskin padahal anda sendiri tidak melakukan apa-apa.

Masih berpikir dokter itu jahat rakus dan tidak berperikemanusiaan disaat mereka harusnya menolong manusia tanpa pamrih dan persetan dengan bea kuliah mereka yang mencapai ratusan juta? Mungkin anda harus berhenti sejenak dan membayangkan, bagaimana bila lebih banyak (calon) dokter yang berpikir seperti saya dan memutuskan berhenti kuliah. Mungkin ada harus berhenti sejenak dan membayangkan sebuah dunia yang berisi sales dan akuntan dan profesi lainnya tapi tak ada tenaga medis, atau dunia dimana tenaga medis sedemikian minimnya (risiko tinggi, balik modal susah, siapa yang mau ??) sehingga hanya orang-orang kaya saja yang sanggup membayar service ini. Masih mau menyalahkan dokter?

PS: Serius, kalau dokter anda memang sucks dan ga becus monggo diprotes lho. Ini bisnis bung, anda berhak mendapat pelayanan yang sepantasnya. Tapi ingat, dokter bukan Tuhan dan tidak bisa menjamin kesembuhan biar sehebat apapun doi. Istilah yang paling tepat: To cure sometimes, to treat often, to comfort always. Jadi jangan marah kalau si dokter sudah melakukan sebisanya tapi tidak sembuh, dan monggo misuh-misuh bila jelas-jelas ia lalai atau nyuekin anda. Salam!

View more articles on kucinghitamjalanjalan.blogspot.com

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Konvoi Mobil Pejabat Singkirkan Pengguna Jalan Lainnya?

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

OPINI | 28 November 2013 | 02:27 Dibaca: 6   0

ADA istilah anek dot yang berbunyi, "Yang kau pilih, dia lah nanti yang akan membuatmu tersingkir dari jalan". Maksudnya, siapapun pejabat daerah atau negara yang dipilih dan ketika 'orang penting' itu sudah duduk di 'kursi empuknya', maka dia juga yang akan dikawal patroli pengawalan (patwal) nantinya jika sedang melakukan kunjungan ke suatu daerah. Memang, tidak seluruh pejabat demikian. Namun terlepas dari wajib atau tidaknya dikawal patwal, tetap ada aturan yang mengatur terkait pengawalan tamu negara. Dan kondisi riilnya dominan pejabat demikian. Memang juga tidak semua pejabat daerah atau negara yang dipilih rakyat. Misal, Kapolri, Kapolda, Kajagung, Kajati dan pejabat sejenisnya dipilih melalui lembaga/instasi atau pihak tertentu.

Kembali pada bahasan pengawalan. Mungkin dalam sehari-hari sering dijumpai pemandangan mobil patwal sedang memimpin barikade kendaraan mewah yang isi dalam mobil itu tak lain pejabat daerah/negara. Mulai dari pengawalan pejabat setingkat presiden hingga bupati/walikota. Dari kejauhan sirine berwarna biru itu mendengung dan melaju kencang. Dipastikan, barisan terdepan mobil patwal dari pihak kepolisian. Ironinya, ketika melintas di suatu lampu merah (traffic light), barisan mobil-mobil pejabat itu tetap melaju kencang tanpa pedulikan aturan dari traffic light itu sendiri. Dimana ketika traffic light itu sedang on merahnya pertanda kendaraan harus berhenti, kuning hati-hati dan hijau melaju. Tapi dengan patwal 3 warna di traffic light itu tidak ada fungsinya alias diabaikan. Padahal ya… saya, kalian, kita dan pejabat yang ada di dalam mobil mewah dengan pengawalan patwal itu sama-sama sudah paham akan aturan traffic light. Nah, yang jadi pertanyaan, terlepas dari status sosial, apa sih bedanya saya, kalian, kita dan pejabat itu ? Toh, kita sama-sama sudah paham arti dan fungsi traffic light itu.

Faktanya, Senin (25/11), sekitar pukul 11.00 WIB, ketika itu saya akan menjemput anak pulang sekolah. Sebelum sampai di sekolahan anakku, karena posisi lampu traffic light di Bundaran Curup dari arah selatan ketika itu berwarna merah, saya pun berhenti. Dari kejauhan terlihat ada sekitar 3 polisi lalu lintas (Polantas) dari satuan Polres Rejang Lebong sedang berdiri di tengah jalan. Keberadaan polantas di tengah jalan itu tentunya sedang mengatur arus lalu lintas. Ketika lampu merah itu beranjak ke hijau, seketika itu juga polantas langsung mengambil alih bahwa ketika giliran traffic light dari arahku sedang hijau terpaksa distop karena bertepatan dari arah timur meluncur beberapa kendaraan mewah jenis double kabin yang tentunya berisi pejabat daerah/negara. Dimana pada barisan depan dari konvoi kendaraan 'plat merah' itu dipimpin kendaraan patwal berjenis double kabin berwarna putih dengan list body biru dan merah. Padahal traffic light dari arah timur ketika itu sedang merah yang artinya berhenti. Setelah konvoi mobil pejabat itu melintasi bundaran dan melaju ke arah utara, polantas pun menginstruksikan kendaraan dari traffic light dari arah selatan yang tadinya distop, melaju.

Disisi lain, jika kita sedang melaju baik itu dari satu arah maupun berlawanan arah, dari kejauhan sudah terdengar suara sirine mobil patwal yang mengawali arak-arakan mobil pejabat. Meski mobil patwal ituu tidak memberi aba-aba pengendara di hadapannya diminta menepi, tapi tetap saja laju arak-arakan mobil mewah pejabat itu kencang dan membuat pengendara lainnya tersinggir menepi sesaat.

Ketika menunggu mobil-mobil mewah berisi pejabat itu meluncur, saya sempat berfikir, apakah hal itu sudah aturan mainnya demikian atau memang budaya? Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya, pada Pasal 106 ayat 4 disebutkan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan rambu perintah atau rambu larangan, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas. Gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimal atau minimal dan tata cara penggandengan serta penempelan dengan Kendaraan lain. Namun hal itu juga sudah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, pada pasal 72 PP Nomor 43 Tahun 1993, tentang prasarana dan lalu lintas. Dijelaskan bahwa isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa sirene (dalam huruf d) disebutkan, sirine berwarna merah dan biru itu bagi kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan tugas. Kemudian (huruf e) kendaraan petugas pengawal kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara.

Belakangan diketahui, ternyata pejabat yang melintas di Bundaran Curup yaitu Ketua Komisi II DPR Republik Indonesia (RI), Drs Agun Gunanjar Sudarsa Bc.IP M.Si dan Anggota DPD RI Dapil Bengkulu, DIPL Ing Bambang Soeroso. Kunjungan tamu negara ke Kabupaten Rejang Lebong itu akan melangsungkan temu wicara bersama warga dan tokoh masyarakat (tomas) terkait pembahasan rencana pembentukan calon Daerah Otonomi Baru (DOB) yakni Kabupaten Lembak.

Pemandangan semacam ini bukan cuma terjadi bagi tamu negara dari anggota 'Parlemen Senayan' DPR dan DPD RI melainkan pejabat lainnya bahkan pejabat setingkat bupati sekalipun. Intinya, sangat jarang perilaku arak-arakan konvoi mobil pejabat mengikuti perilaku berkendara masyarakat. Toh, terlepas dari status sosial pejabat dan masyarakat di suatu jalanan, bukankah kita sebagai manusia diciptakan sama. Sama-sama mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama manusia yang harus mentaati aturan alias tidak ada satu pun manusia yang kebal hukum.

Salam

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Cinta Mati Gaya Ahok

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

13855782431479130059

Foto oleh: Reno Muhammad

Tjung Kim Nam sedang sibuk mencari senjata api miliknya yang terselip entah di mana. Sementara di luar, dua orang petugas keamanan PN Timah tengah mengacungkan senapan dan siap menarik pelatuk untuk merobohkan si tuan rumah. Sejatinya, sengketa ini hanya diawali oleh dua sopir Tjung Kim Nam yang babak-belur dikeroyok satpam PN Timah, karena mobil mereka mengepulkan debu dan memapar wajah para satpam itu. Merasa harga dirinya terinjak di luar status sebagai pengusaha, Tjung Kim langsung menelepon ke pemimpin bagian keamanan PN Timah, dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan anak buahnya. Alih-alih bertanggungjawab, ia malah mengirim orang-orangnya lagi. Setiba di rumah Tjung Kim, pihak satpam PN Timah gantian yang dihajar hingga mereka lari sipat kuping. Tapi pertikaian belum usai. Sampai akhirnya datang lagi dua orang satpam lain, lengkap dengan senapan di tangan, dan berdiri di halaman rumah sang pengusaha sambil mencaci-maki.

Tjung Kim tak gentar. Sementara sang istri, Bun Nen Caw, dan keempat anaknya Basuki, Basuri, Fifi Lety, dan Harry, merangkul kakinya demi menahan gerak langkah Tjung Kim agar tak keluar menantang bahaya. Ia tak peduli dengan rengekan mereka. Karena senjata yang dicari tak juga ketemu, ia memilih keluar dengan tangan hampa. Matanya nanar menahan amarah. Dadanya sesak menanggung derita ketidakadilan. Karena merasa berada di jalur yang benar, Tjung Kim terus melangkah. Terus mendekat. Di luar dugaan, keberaniannya berbuah. Anak buahnya yang merasa sedang dibela, ikut turun membantu dan lagi-lagi, mengeroyok dua petugas keamanan yang sedang menenteng senjata itu.

Kejadian tersebut terus membekas dalam benak keluarga Tjung Kim Nam—yang kemudian dikenal sebagai Indra Tjahaja Purnama, terutama pada anak sulungnya, Basuki Thajaja Purnama. Kini, Indonesia mengenalnya dengan sebutan Ahok. Sosok fenomenal dan pemberani yang sekarang mendampingi Jokowi memimpin Jakarta. Demi menyebarkan gagasan-gagasannya sebagai pejabat publik yang brilian, Ahok rela meninggalkan statusnya sebagai Bupati Belitung Timur yang kini dijabat oleh adiknya yang perempuan, Basuri Tjahaja Purnama.

Ahok mirip betul dengan bapaknya yang dengan gagah menghadapi senapan. Ia  pun mentas di Jakarta berbekal tangan hampa. Bahkan nyaris tanpa modal sama sekali. Kecuali satu, kenekatan akut. Tindak-tanduk sosok yang satu ini agak sulit ditelaah kapan ia begitu berani dan kapan bertindak nekat. Keduanya samar. Jauh sebelum ia memimpin Jakarta, Ahok telah menunjukkan mental anak rantaunya yang sulit untuk ditandingi. Kala itu 1998. Jakarta sedang terluka parah. Penjarahan di mana-mana. Mesin politik memanas di titik didih. Imbasnya, isu kesenjangan ekonomi yang diembuskan ke publik, menelan korban. Warga Cina diburu bak binatang liar. Termasuk keluarga Ahok yang  baru saja ia bangun setahun sebelumnya.

Ahok sekeluarga yang mukim di kompleks perumahan Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara, tidak ciut nyalinya untuk maju membela keluarga dan harga diri. Ia masih mengingat betul ujaran bapaknya semasa masih di Belitung, "Tiongkok itu tanah leluhur kita, tapi tanah air kita adalah Indonesia." Bagi Ahok saat itu, tak ada alasan untuk menyerah dari kebrutalan. "Jika mereka ingin membunuh keluarga saya dan semua warga Cina di Muara Karang, maka kami juga akan membunuh mereka yang berani masuk ke sini." Itu terbukti saat seorang penyerang datang menghampiri pagar penahan di gapura depan kompleks. Setelah mengindahkan peringatan warga Cina yang sedang bertahan di balik pagar, akhirnya orang malang itu pun terpaksa ditembak.

"Saat itu, kami sampai berkelakar tentang perkara mati dengan kalimat seperti ini: kalau merantau ke Eropa namanya choi sie (kerja setengah mati). Kalau ke Tiongkok itu xim sie (cari mati). Nah, di Indonesia namanya ten sie (menunggu mati)," kenang Ahok tentang masa-masa kelam Indonesia modern itu. Dua cerita yang bertautan dengan soal kematian tadi, hanya bagian kecil dari bagaimana Ahok dididik bapaknya dan ditempa begitu keras oleh keadaan. Hingga ia sama sekali tak memiliki rasa takut—termasuk pada kematian.

Ahok sadar betul, posisinya di Jakarta berada di tengah mara bahaya. Sedikit banyak, pasti ada saja oknum yang ingin menghabisi nyawanya. Tapi apa yang ia sampaikan pada kami, lagi-lagi memancing decak kagum, "Banyak orang kaya di dunia ini. Tapi waktu mereka mati, siapa yang mengingat? Banyak juga orang miskin yang mati dan sudah pasti takkan ada yang peduli, apalagi mengingatnya! Jika saya mati sekarang, setidaknya orang sudah pernah tahu apa yang saya perjuangkan. Inilah dasar yang menjadikan para manusia hebat dikenang dalam sejarah."

Lantas bagaimana manusia macam Ahok bisa terbentuk seperti sekarang ini? Sebab tak mungkin perilakunya muncul begitu saja tanpa proses pembelajaran. Jawabannya mudah saja. Ahok ditempa begitu keras oleh kedua orangtuanya. Indra Thajaja Purnama dan Buniarti Ningsih (Bun Nen Caw), adalah sosok panutan yang terus menginpirasinya hingga kini. Suatu kali, jelang wafatnya Indra, Ahok bertanya apakah yang diinginkan ayahnya yang belum ia penuhi. Indra yang sudah terbaring lemah tiada daya hanya menjawab singkat dan sederhana, "Melihat kamu seperti sekarang, sama dengan melihat Bapak sewaktu muda dulu. Bedanya, kamu lebih pintar, lebih bijaksana."

Lalu bagaimana dengan ibunya? Mari kita kembali ke masa lalu…

Ke masa di mana Ahok kecil masih berusia setahun.

Mengetahui kecenderungan suaminya yang tak tahan melihat orang lain menderita, Buniarti menyembunyikan dua kaleng beras yang dibeli Indra. Firasatnya terbukti benar. Suatu saat datanglah seseorang yang meminta pertolongan kepada Indra karena anaknya sudah tak makan beberapa hari. Tanpa babibu, Indra segera menuju tempat di mana berasnya ia simpan. Di luar dugaan, beras itu tak ia temukan. Maka tak ayal, Buniarti pun jadi sasaran. "Anak orang itu sudah hampir mati! Berikan satu kaleng beras kita padanya. Satu kaleng buat kita sudah teramat cukup." Sedang di saat bersamaan, harga beras di Belitung sedang melambung tinggi karena cuaca ekonomi yang karut-marut.

Suami istri Indra-Buniarti memang terlahir untuk berbakti pada kehidupan. Lebih mengedepankan orang lain daripada diri sendiri, dan keluarganya. Dalam cerita lain, Buniarti yang berjualan donat dan terkenal enak, lebih memilih mengalah pada bibinya Ahok yang juga berjualan donat (meski kurang enak). Karena keuntungan dari jualan donat itu, akan ia gunakan untuk membiayai sekolahnya. Saking membekasnya kejadian ini, Ahok masih terus memperjuangkan perkara akses pendidikan murah hingga ke Jakarta—untuk kemudian ia luaskan cakupannya ke antero Indonesia.

Jadi bagaimana memahami keyakinan cinta mati Ahok yang alumnus Fakultas Teknologi Mineral (jurusan Geologi), Universitas Trisakti? Begini caraku menelaahnya.

Ia sudah tak lagi peduli dengan kapan kematian itu datang.

Ia pun abai dengan cara apa ia akan mati.

Ia hanya tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam hidupnya.

Sebagai penganut Katolik yang taat, Ahok sadar betul dengan konsekuensi mencintai kematian itu. Jika kematian saja bisa ia cintai, maka tak ada alasan untuk tidak mencintai kehidupan. Demikian … []

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Pengrajin Malu

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

Indahnya Danau Perawan, Situ Gunung

Posted: 27 Nov 2013 12:22 PM PST

13855725961260531234

Foto: Dok.Pribadi.

Salah satu usaha yang saya jalani,sebagai wirausaha,selepas mengakhiri karir sebagai karyawan adalah membuka usaha rental mobil. Banyak suka duka menjalankan bisnis ini ,utamanya di awal2 usaha.Saya tidak akan menceritakan bagaimana awal mula terjun ke bisnis ini. Hanya ingin berbagi pengalaman saat mengantar konsumen memakai jasa usaha mobil rental saya.
Saat di awal usaha saya biasa menyetir sendiri kendaraan yang disewakan, dengan hitungan sewa harian dari pagi sampai malam. Saat itu kebetulan ada satu rombongan keluarga dari Jakarta yang hendak berlibur ke kota Sukabumi.Pas saat itu di hari Minggu.Keluarga tersebut terdiri dari sepasang suami istri,dengan kedua orang anaknya yang ber umur dibawah 10 tahunan,dan sepasang orang tua, kelihatannya sih kakek nenek nya si anak…. (maklum ,menjaga kesopanan sopir jarang menanyakan status. ..:))
Pagi-pagi sekali saya jemput mereka di hotel tempat merekam menginap.Dan rupanya mereka juga sudah bersiap buat menikmati liburan. Jadi tanpa menungu lama kita pun berangkat.Si anak yang paling besar duduk depan disebelah saya.Kakek -Nenek ditengah bareng cucu yang satunya ,dan di kursi belakang sang suami isteri.
Hari itu saya memakai kendaraan SUV dari salah satu merk mobil paling dikenal di sini , keluaran tahun 2007.

"kita mau jalan kemana pak"? tanya saya dengan seramah mungkin.
" ah kemana aja kang, kita cuma mau liburan kok,..mungkin akang tahu tempat2 wisata di sini"  jawab si bapak dua anak santai,yang rupanya jadi kepala rombongan.

Sambil saya mulai  jalankan kendaraan ,muter-muter berpikir dibenak.Mau kemana ya?

"kalau di sini banyak tempat wisata pak, ada selabintana, situgunung, air panas cikundul,..trus kebun goal para, pondok halimun,dann….pelabuhan ratu"

"wah kalau pelabuhan ratu mah ,kejauhan dari sini kang..cari yang dekat2 aja"      rupaya si bapak ini sudah pernah berwisata ke pelabuhan ratu. Memang kalau dari pusat kota Sukabumi, masih dua jam setengah jam perjalanan ke Pelabuhan ratu

Yang paling dekat dengan kota sukabumi,ya sudah pasti tempat wisata legendaris Selabintana.Cuma kelihatanya juga semua anggota rombongan sudah pernah ke tempat ini, jadi akhirnya saya putuskan ambil jurusan ke daerah Situ Gunung. Namanya juga situ (bahasa sunda yang berarti danau) ,jadi memang disini tempat wisata ada danau nya. Pikir saya memang daerah ini relatif masih sepi jarang dikunjungi oleh wisatawan, masih perawan, belum banyak yang tahu.Tapi dengan keeksotisan yang luar biasa . Dan benar juga semua anggota rombongan setuju ketika  saya tawari antar mereka kesana.

Dalam benak sebenarnya ada sedikit keraguan, selain daerah nya relatif masih sepi pengunjung ,juga karena medan yang dilalui lumayan cukup berat. Jalan menanjak sudah pasti, karena memang letaknya di kaki gunung Gede Pangrango. Dan yang menantang ,jalanan tidak semua rata,alias benjol-benjol (bisul kali..). Kebetulan saya sudah pernah berkunjung beberapa kali sebelumnya. Tapi percaya , wisata ke situ gunung tidak akan mengecewakan karena keindahanya.Utamanya danau Situ Gunung nya itu loh yang selalu terkenang (sentimentil banget luh..hehehehee).Danau perawan yang dikelilingi pegunungan hijau kaki gunung Gede Pangrango. Dengar-dengar sering juga katanya  dipakai buat syuting film atau iklan.(ama orang jakarta…itu kata penduduk setempat)

Jadi dengan sedikit keberanian, saya mantapkan hati buat jalan.Tarik mang.

Dari hotel yang letaknya di pusat kota,saya arahkan kendaraan ke area pinggir kota yaitu Cisaat.Kota kecamatan ini letaknya pas sebelum masuk gerbang kota Sukabumi dari arah Jakarta. Sesampainya di dekat atau didepan Kantor Polsek Cisaat , kita belok kiri ke arah pasar Cisaat.Selanjutnya lurus terus sepanjang kira-kira  10 km ,menyusuri jalanan menanjak dan berkelok ,barulah  sampai ke daerah wisata Situ Gunung
Jalan yang dilalui mulai dari Polsek Cisaat tadi,walau  menanjak dan berkelok ,tapi relatif mulus.Dengan di sekelilingi pemandangan indah kanan kiri .

Setelah melewati perkampungan penduduk sepanjang kira2 5 km,sisanya kita akan dimanjakan dengan pemandangan hijau pegunungan ,kebun-kebun  sayuran dan berhawa sejuk. Termasuk kita lihat juga banyak  villa2 penginapan.

Area wisata Situ Gunung masuk dalam cluster area wisata gunung Gede Pangrango milik  pemerintah daerah Sukabumi . Meliputi ratusan hektar pegunungan,  ada danau Situ Gunung, kebun Agrobisnis teh  sayuran,camping ground, dan air terjun / curug Nangewer. Ada juga tempat wisata  Taman Strawbery,yang letaknya pas sebelah kiri jalan, beberapa kilometer sebelum sampai di area Situ Gunung. Khusus Ditempat ini pengunjung bisa menikmati hamparan kebun strawberi,taman bermain dan tentunya belanja buah Strawbery langsung ditempat.

Setelah kira 2 satu jam perjalanan dengan kecepatan rata2 dibawah 50 km/jam.Mobil pun sampai di gerbang pertama taman wisata . Digerbang ini merangkap juga pintu masuk area wisata, jadi kita diberikan tarif masuk. Semua tujuh orang, kita bayar 25 ribu rupiah sudah termasuk ongkos parkir.

Di pos pertama ini kita bisa mencari alternatif, pertama parkir ditempat . Ada area parkir lumayan luas.Pas sampe disana saya juga melihat beberapa rombongan wisata pelajar dengan memakai bus besar . Dengan maksud untuk tracking jalan kaki menuju curug/air terjun Nanggewer.  Curug ini dapat dicapai dengan jalan kaki kira 2 dua jam perjalanan , menempuh jalan terjal setapak berbatu, memacu adrenalin sepanjang kira-kira 5 km. Alternatif kedua, melanjutkan perjalanan kira-kira satu kilometer naik lagi kearah puncak ,baik berkendara atau jalan kaki , ke danau Situ Gunung

Rombongan sepakat untuk lanjut perjalanan naik ke atas berkendara ke danau Situ Gunung, karena membawa kakek nenek nggak mungkin buat tracking .

Jantung mulai dagdig dug karena saya tahu mulai dari pos pertama ini ke pos kedua yakni pos dekat danau ,
jalan menanjak lumayan tinggi, beberapa area curam sekitar 60 derajat. Dan berbatu. Benar2 berbatu nih..beberapa batu segede tangan dan kepala, dengan sisa2 sedikit aspal. Rupanya Pemda setempat masih merem..:) belum serius membenahi objek wisata yang satu ini.Sayang.

Gigi kendaran saya tarik rendah 1-2. Menanjak pelan menyusuri jalan yang berkelok. Guncangan mobil masih terasa nyaman walaupun menyusuri jalan batu besar dan tidak rata. Setelah beberapa kelokan
dilalui, mobil melewati bagian tanjakan tercuram dan berbatu. Mobil saya kemudikan dengan perasaan mantap dan terasa menjejak di tanah tidak limbung .

Oops!!!  tapi mobil tiba-tiba berhenti tidak mau naik .Saya cek menengok kedepan sambil memeriksa. Ooalah..di lihat rupaya ban depan menumbuk kumpulan batu sebesar kepala orang dewasa.

Sambil memainkan rem kaki dan tangan, saya ambil posisi menghindari batu.

Pasang mundur beberapa langkah ,ambil bagian jalan yang relatif rata dan sedikit bebatuanya. Dengan hati2 karena melihat curamnya tanjakan. Mulai lagi saya jalanin mobil ke depan.Pelan,dannnn…lolos. Thanks God. Dorongan akselarasi mesin serta putaran mesin terasa ringan.Ces pleng.GPL gak pake lama.

Mulus melewati hambatan,tanpa keluhan berarti . Rombongan pun tidak ada yang mengeluh .Lega rasanya. Memang sedikit butuh skill berkendara untuk jalan yang satu ini.

Akhirnya sampai juga mobil di pos kedua danau Situ Gunung. Mobil saya parkir di area parkir yang cukup luas dan nyaman.Dari sini rombongan jalan kaki sedikit kira2 100 meter untuk menuju danau. Tracking sedikit nggak terasa lelah karena sejuknya hawa dan mata dimanjakan pemandangan indah pepohonan. Suhu udara sekitar 10-15 derajat celcius,

Sampai di area danau,terasa hilang semua kepenatan .
13855751802034101458Foto: dok pribadi.

Wuih…mantap. Saya sudah beberapa kali ke tempat ini tapi memang nggak pernah bosan menikmati keindahannya. Air nya yang jernih tanpa polusi ,danau menghampar luas ,sedikit berkabut gunung, hawa sejuk, pepohonan asri,dengan latar belakang gunung gede pangrango. Ada hamparan rumput buat anak bermain, area outbound, camping ground , perahu gethek juga ada buat yang mau berkeliling danau, saung berteduh ,mushola dan toilet, juga beberapa penjual makanan dan minuman . Komplit,semuanya ada di sekitar area danau. Kelebihan lain, danau ini masih sedikit pengunjung  jadi benar-benar alami asri, tidak ada hiruk piku, yang ada bebunyian alami hutan ,perasaan nyaman, bunyi burung berkicau bebas, plus kita masih bisa melihat monyet dan siamang bergelantungan di pepohonan sekitar danau. Anak-anak senang luar biasa.
Dari beberapa danau yang pernah saya kunjungi ini salah satu yang terbaik. Sangat recomended,walau dengan kondisi jalan menuju danau  yang masih amburadul.

Semua rombongan puas dan menikmati, si suami isteri puas, kakek nenek bahagia serasa bulan madu ke enam, anak-anak senang bermain , apalagi saya yang gratisan… (heuheu..).Benar-benar fresh kembali .

Setelah 2-3 jam ber asyik ria, kita pun memutuskan balik lagi ke hotel penginapan.Dengan meninggalkan sejuta memori kenangan, akan keindahan , keperawanan alami area wisata Situ Gunung.

Dan tentunya perjalanan indah dan menyenangkan ini tak lepas dari mobil yang saya kendarai : Mobil Avansa G . Mantep Bro…  Irit lagi…perjalanan tadi nggak habis bensin 100 rb.  Agak nggak percaya ,bombastis? nggak juga , memang begitu kenyataanya. Fakta. Ini salah satu yang membuat saya memutuskan , mayoritas memakai Avansa buat armada usaha rental .TOYOTA ASTRA

Salam

Penulis wirausaha rental mobil ,hasil pertanian,peternakan dan konveksi.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar