Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Jumat, 08 Maret 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Heran Melihat Wanita Berjilbab

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

13627706201447677320

Aurat belum tertutup sempurna

Kimung dan Sanip, dua sahabat karib sedang makan di warung bubur ayam "Terekomendasi". Sambil menyeruput teh hangat, Kimung memulai percakapan.

K : Gue heran pake banget melihat wanita berjilbab.

S : Lho, ente kenapa heran? Bukannya malah bagus karena mereka mau menutupi auratnya?

K : Iya, maksudnya gue heran dengan wanita yang berjilbab karena alasan modis dan cuma mengikuti trend masa kini, bukan berdasarkan nurani.

1362770698133649671

Masih bikin puyeng… :)

S : Ente jangan sembarangan menuduh, belum tentu mereka punya niat begitu.

K : Bukan menuduh, tetapi busana yang mereka pakai menggambarkan seperti itu. Tuh, loe perhatiin cewek yang duduk di depan kita. Sempaknya hampir kelihatan kan? Kesannya jadi memperolok agama.

1362770777757384346

Mbak, kelihatan dikit tuh… :)

S : Halah, emang mata ente aja yang jelalatan. Kalau ane pikir, lebih baik ente mulai dari keluarga sendiri dulu ketimbang ngurusin orang lain. Ingetin sama anak bini ente bahwa berjilbab bukan cuma buat nutupin kepala, tetapi karena syariat agama kita memang mewajibkan untuk menutupi semua aurat kecuali muka dan telapak tangan.

K : Ah, elo. Gue kan cuma beropini.

S : Ane tau. Btw, apa istri ente sudah berjilbab dengan benar?

K : Lha, koq loe sendiri malah ngurusin bini gue?

S : Wkwkwk…

13627709711054705941

Istri idaman dunia akherat, hehe…

Teori Birokrasi Weber a la Kabayan

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

Dalam sebuah organisasi, kata Max Weber yang sosiolog itu –bukan Mark Webber yang pembalap F-1 itu, yang paling penting untuk mengorganisir otoritas legal yang rasional, adalah dengan adanya hierarki, alias tingkatan. Jadi kalau ada seseorang yang memiliki atasan, atau jadi atasan seseorang atau sekelompok orang, maka ia harus juga punya atasan. Dan atasannya itu juga harus punya atasan, nah, atasannya atasan juga harus punya atasan, dan seterusnya. Terus atasan yang paling atas yang mana? Atau, kenapa harus ada atasannya atasan atasan?

Kata Weber sih, biar ada kontrol. Jadi kalau atasan seseorang melakukan kesalahan atau penyimpangan, ada yang bisa menegur, meluruskan, memberi hukuman, dan lain-lain. Yang menegur juga, karena punya atasan, juga bisa ditegur, dan seterusnya. Jadi jalannya sebuah organisasi itu bener, atau ada yang ngebenerin. Negara, misalnya, atasannya rakyat adalah Ketua RT, atasannya Ketua RT ya Ketua RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Presiden, atasannya Presiden ya Anggota DPR/MPR yang katanya wakil rakyat, nah DPR/MPR itu ya atasannya rakyat yang diwakilinya.

"RT lapor ke RW, RW lapor ke Kadus, dan seterusnya, tentang apa yang sudah dilakukannya…" kata Kabayan, "Minta petunjuk, kalau-kalau ada yang salah atau perlu segera dilakukan…" lanjutnya. Mang Odon mengangguk-angguk. "Kalau begitu, harusnya wakil rakyat yang di DPR itu lapor ke kita ya, apa yang sudah mereka lakukan, apa sudah betul, apa sudah mewakili, apa ada yang harus segera dilakukan…" komentar Mang Odon. Kabayan mengangguk, "Harusnya begitu. Tapi nggak pernah dilakukan, jadinya kita nggak pernah tau apa yang mereka lakukan, apa yang mereka kerjakan, yang jelas mah, duit kita habis buat bayar mereka, tapi nggak ketauan hasilnya!" sahut Kabayan.

"Masalahnya, mereka nggak pernah baca teori Mang Weber tadi kali Yan, jadi nggak tau…" kata Mang Odon. "Ya bisa jadi…" kata Kabayan, "Nggak tau apa yang mereka baca, jangan-jangan nggak pernah baca apa-apa. Kan kalau mau bikin undang-undang, konon, konon ini mah, yang kerja itu asisten ahlinya. Nah, kalau yang kerja asisten ahlinya, ngapain kita milih anggota DPR, milih aja anggota asisten ahli, jadi bayarnya nggak dobel-dobel…" sambung Kabayan.

Mang Odon garuk-garuk kepala, "Halah, iya yah. Tapi di mana-mana, yang namanya teori mah gampang diomongin Yan, dilaksanakannya yang susah…" kata Mang Odon. "Tapi, ke, kalau misalnya ada organisasi yang atasannya paling atas nggak punya atasan, cik, gimana tah?" tanya Mang Odon. "Contoh?" Kabayan balik nanya. "Pemilik perusahaan pribadi!" jawab Mang Odon.

Kabayan diam sejenak, "Ini mah teori soal birokrasi, Mang. Bukan soal perusahaan. Kalau perusahaan pribadi mah ya suka-suka yang punya atuh. Toh kalau bangkrut juga nanti yang rugi kan dia sendiri…" jawab Kabayan.

Mang Odon mikir sebentar, "Mmm iya yah. Terus, kalau misalnya partai politik? Apa atasannya harus punya atasan juga?" tanyanya lagi. Kabayan mengusap-usap jenggotnya, "Ya kalo mau bener mah harusnya ada. Misalnya punya Dewan Pembina. Nah, atasan Dewan Pembina itu ya anggota lewat musyawarah besar alias kongres misalnya…" jawab Kabayan.

"Tapi ada Yan, partai yang Ketua Dewan Pembinanya tidak punya atasan, atau mungkin atasannya –anggota kalau menurut kamu mah—juga nggak berani menegur, meminta, atau menyuruh dan mengontrol Ketua Dewan Pembina, soalnya, dia itu yang punya partai…" kata Mang Odon. Kabayan mendelik, "Bukan yang punya partai Mang, tapi yang menggagas dan mendirikan!" koreksi Kabayan. "Ah, sama aja Yan! Coba, kalau yang itu gimana?" tanya Mang Odon lagi.

"Mmm.. kalo modelnya begitu mah, ya sama saja dengan perusahaan pribadi. Bisa maju kalo atasan yang nggak punya atasan itu tegas, berani, nggak ragu ngambil keputusan penting, dan sebagainya. Kalau enggak mah, ya tinggal tunggu aja kapan bangkrutnya!" jawab Kabayan.

Mang Odon mengangguk-angguk, "Bener sih Yan, kayaknya sebentar lagi bakalan bangkrut, kalo modelnya masih begitu mah…" kata Mang Odon. "Ngomong-ngomong, Mak Weber teh siapa Yan?"

Kabayan manyun, "Dulu dia temen maen gapleh saya, waktu saya tinggal di Jerman!"

Jogja, 09 Maret 2013

Hanya Pemicu

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

Lagi, Soal ‘PREMANISME’ Parkir Liar di Senayan

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

PERNAH punya pengalaman menyebalkan soal parkir di area Gelora Senayan dan sekitarnya? Kalau saya googling sih, sudah cukup banyak tulisan, informasi atau keluhan ya. Tapi mengapa sampai sekarang tidak ada perubahan?

Pekerjaan saya, mengharuskan sering-sering berkunjung ke Gelora Senayan dan sekitarnya. Kadang ke JCC atau Istora Senayan, atau mampir olahraga ke GBK-nya. Buat saya, Senayan adalah satu-satunya tempat yang representatif di Jakarta untuk aktivitas cari keringat alias olahraga. Tapi buat saya juga, Senayan juga tempat yang paling menyebalkan untuk urusan parkir. Saya selalu menyiapkan urat suara lebih, setiap parkir [mobil atau motor] di lokasi ini. Mengapa?

Setiap masuk ke area ini, dari pintu manapun, saya dikenakan parkir 2000 perak untuk motor. Asumsi saya duluuuuu, di dalam sudah ada tempat yang representatif dan nyaman untuk parkir. Benar, saya memang menemukan tempat yan nyaman untuk parkir, di trotoar atau pinggir jalan, saking penuhnya. Tak hanya itu, saya juga dimintai biaya parkir [lagi] sebesar 5000 rupiah, oleh segerombolan –saya menyebut gerombolan, karena setiap saat selalu merubung motor yang akan keluar atau masuk—parkir yang saya yakin liar dan tidak ada laporan uang masuk ke pemda.

Saya harus berdebat, bersuara kenceng, dan ngotot untuk tidak membayar parkiran yang tidak jelas itu. Tapi risikonya adalah, segerombolan laki-laki berkulit hitam, berambut kriting, dengan logat khas Indonesia Timur [maaf, ini bukan men-stereotype-kan ya], menghampiri dan menggertak dengan banyak alasan. Untung saya pemberani [hehe, nekat tepatnya] dan memilih membayar 3000 saja, meski dengan perasaan tidak ikhlas dan sedikit –beneran sedikit—sumpah serapah yang tidak penting. Ini pengalaman saya ya.

Pengalaman kawan saya berbeda lagi. Kebetulan perempuan dan bawa mobil sendiri. Suatu ketika ada acara di JCC dan kehabisan parkir. Akhirnya oleh gerombolan tadi diarahkan ke satu tempat yang agak jauh. Bukan persoalan tempatnya, tapi ketika digetok dengan angka 20 ribu untuk parkir mobil, aksi nekatlah yang kemudian muncul. Untung kemudian muncul kawan-kawannya yang juga membantu kawan saya itu untuk tidak membayar angka yang ngawur itu.

Dan repotnya, kini setiap ada event apapun, parkir liar itu menjadi tempat yang nyaman untuk gerombolan itu. Saya tidak tahu, apakah mereka , gerombolan itu "dipelihara" oleh oknum tertentu, atau memang mereka punya "kekuatan" untuk menjadi liar tanpa ada yang menindak. Pikiran saya yang bodoh ini berhitung, kalau ribuan motor masuk, ratusan mobil parkir, berapa penghasilan yang mereka dapat dan disetorkan kemana? Asumsi saya, gerombolan itu akan setor –entah ke siapa—dan mereka mendapat jaminan tetap diizinkan jadi gerombolan parkir liar.

Kabarnya juga –dan saya pernah mengalaminya sendiri—beberapa lokasi dikuasai oleh suku-suku atau kelompok yang berbeda. Jelas jadi rebutan, karena omzetnya pasti besar.

Sebagai satu lokasi yang kerap dipakai untuk event nasional dan internasional, harusnya ada ketegasan dari pemda soal parkir liar ini. Siapapun bekingnya, aparat atau tidak, dengan alasan apapun, parkir liar, gerombolan yang dipelihara dan biaya parkir yang tidak masuk akal, tidak dibenarkan. Sayangnya –atau tololnya—hal ini sudah berrlangsung bertahun-tahun dan dibiarkan saja. Siapa setor siapa nih? Dan siapa yang budeg?

Selimuti Aku dari Rasa Trauma Itu

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

Humor Bentrok Tentara-Polisi

Posted: 08 Mar 2013 11:44 AM PST

1362769085671162631

Dalam mata kuliah 'Jejak Kasus', kami diberi tugas oleh dosen untuk mendiskusikan dan menganalisa mengapa bentrokan antara tentara dan polisi masih saja terus terjadi.  Dari diskusi itu akhirnya kami mencatat dan melaporkan kepada dosen hal-hal sebagai berikut

Adanya kesenjangan dan perbedaan

Untuk membedakan rumah anggota polisi dan tentara gampang caranya. Kalau rumah polisi sudah bertingkat dan tanahnya luas. Kalau rumah tentara, rumah masih asli dengan tanah ukuran standar. Kalau rumah polisi dibeli tunai, kalau rumah tentara dengan kredit fasilitas uang muka Asabri.

Kalau tentara dinas berangkat subuh karena harus mengejar truk jemputan, polisi bisa berangkat siang karena memakai mobil pribadi.

Kalau polisi ngobyeknya memungli truk-truk yang melanggar, tentara ngobyek dengan mengawal truk-truk. Uang yang diterima polisi disebut uang suap, uang yang diterima tentara dinamai uang jasa.

Kalau polisi masuk dengan ijazah SMA pensiun bisa sampai kapten, kalau tentara masuk pakai iajazah SMA pensiun cukup Serma. Kenaikan pangkatnya ada yang licin, ada yang seret.

Adanya arogansi dan keakuan

Polisi sering kurang serius memproses hukum anggotanya bahkan terkesan sering menutupi. Alasannya keakuan dan keangkuhan karena mereka bisa main hukum. Sementara tentara sering arogan karena bedilnya lebih panjang dari pada pistol.

Kurang  komunikasi

Petinggi TNI dan Polri kurang komunikasi karena petinggi polisi sibuk memikirkan mengapa korupsinya kini banyak yang terbongkar, petinggi TNI sibuk memikirkan mengapa sekarang bisnisnya dilarang. Akibatnya sudah pasti, kurang komunikasi!

Ketika dosen membaca laporan kami ia marah-marah!

Dosen (sambil marah-marah) :"Kalian saya suruh buat laporan ilmiah, kenapa kalian buat humor? Keluar semua!"

Mahasiswa: "Tapi pak, kalau kami keluar semua… bapak ngajar siapa?"

Dosen : "Iya, ya….. mari kuliah kita teruskan!"

Sekedar humor!

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar