Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Minggu, 09 Juni 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Resensi Novel Rantau 1 Muara

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

Oh..Kereta Ekonomi-ku

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

Dari Pasca- Suku Menuju Pasca-Indonesia

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

LONGUE DURÉE 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

DARI PASCA-SUKU MENUJU PASCA-INDONESIA

"Kerajaan adalah ekspresi sekaligus infrastruktur yang timbul selaku "keharusan perkara" (Sachzwang) dari budaya agraris, sedangkan republic atau kerajaan konstitusional yang kini merupakan bentuk dominant memang adalah ekspresi sekaligus infrastruktur dari budaya industri dengan system perdagangan yang khas. Maka dengan datangnya budaya informatika dan elektronika yang langsung mendambakan diri dalam penghayatan globalisasi seluruh aspek kehidupan sampai pelosok, jelaslah otomatis struktur nasion dan nasionalisme dipertanyakan oleh generasi pasca-zaman-industri, pasca-Indonesia, pasca nasionalis, yang sudah masuk ke dalam dunia informatika elektronik dan sudah menghayati budaya globalisasi….patriotisme kaum agraris, kaum industri, dan kaum informatika (dan sebentar lagi generasi mikrobiologi) sudah menjadi lain: dari kepompong menjadi kupu-kupu. Identitas sama, tetapi gaya hidup lain. Dan panggilan sejarahnya pun sudah lain…"

* * *

"Hi Randy, John etc. Yes, I think indogtw was down for several months. I heard it was due to up-grading their system. However, they're back on-line now…" demikian penggalan surat elektronik atau e-mail yang dikirim oleh Onno W. Purba melalui jaringan internet pada 22 Juni 1992. Tahun 1992 bisa dikatakan adalah awal jaringan internet hadir di Indonesia dengan salah satu perintisnya adalah Onno W. Purba. Dua tahun sebelumnya, November 1990 Onno W. Purba, ketika masih kuliah di University of Waterloo Kanada, menulis artikel di Kompas dengan judul Jaringan Komputer Biaya Murah Menggunakan Radio. Pada tahun 2005 diperkirakan pemakai jasa internet di Indonesia adalah sekitar 16 juta orang. Tidak berlebihan jika sampai tahun 2007 jumlah itu sudah akan melebihi 20 juta pemakai. Ketika Onno W. Purba mengirimkan e-mailnya pada tahun 1992, worldwide web (www) di seluruh dunia baru berjumlah 50 buah. Akhir tahun 2006 jumlah tersebut sudah menjadi 101.435.253 buah.

Jika sekarang saat peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional kita hidup dalam genderang perkembangan teknologi informasi yang demikian merebak, maka sebenarnya seratus tahun yang lalu ketika Boedi Oetomo didirikan, saat itu para pendiri BO juga sedang hidup dalam genderang perkembangan teknologi informasi yang sedang berkembang di Indonesia. Kalau sekarang kita bicara mengenai telepon genggam, televise dan jaringan internet maka dulu orang bicara mengenai telegraph, telepon, radio dan media cetak.

Enam tahun sebelum 1992, tahun 1986 Y.B. Mangunwijaya menulis karangan di majalah Seni, edisi ke-2 dengan judul Realitas Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein. "Anak-anak kita diam-diam sedang 'diculik' oleh suatu revolusi besar, masuk ke dalam era budaya pasca-Indonesia dan pasca-Einstein yang sangat besar pengaruh serta dampaknya"

Jika memakai istilah Mangunwijaya, 'diculik', bukankah Onno W Purba termasuk yang juga 'diculik' oleh suatu revolusi besar ini? Atau juga Hatta, Soekarno, Sjahrir dan mungkin lebih awal lagi para perintis Boedi Oetomo, bahkan RA Kartini dan pelukis Raden Saleh.

Globalisasi sebagai mantra memang harus disikapi secara kritis sehingga justru tidak melahirkan takhayul-takhayul yang nantinya akan "nyrimpeti" langkah bangsa ini untuk bisa duduk dan berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain. Atau terjebak dalam jebakan ketimpangan global dan justru semakin tenggelam ke dasar karena segalanya ditelan tanpa dikunyah dulu.

Harus dibedakan antara globalisme sebagai ideology pasar neoliberalisme yang mengurapi globalisasi dengan norma, makna, dan nilai-nilai tertentu dan globalisasi sebagai proses social. Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional harus mampu memberikan ruang yang luas bagi bangsa ini mendayung perahunya di tengah gelombang globalisasi dan globalisme yang menerjang.

Jong Java, Jong Selebes dan jong-jong lain bergerak dari suku menuju pasca-suku, membentuk negara bangsa Indonesia.Bagaimana dengan seratus tahun kemudian? Pasca-Indonesia adalah tawaran yang cerdas dari Mangunwijaya, dan itu sangat menantang sebagai bahan refleksi yang mendalam saat Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Seorang pascasarjana bukan orang yang sesudah menjadi sarjana lalu menjadi bukan sarjana. Dia tetap sarjana, tetapi dia lebih luas pandangannya, lebih banyak dimensinya, lebih dalam visinya, lebih dewasa, seperti kupu-kupu itu bukan cuma post-kepompong, tetapi lebih meningkat, lebih terbang, walaupun identitasnya sama. Demikian juga manusia pasca-Indonesia tidak berarti lalu dia kehilangan ke-Indonesia-annya.

Maka, jangan sampai momentum Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang sangat strategis ini menjadi satu peringatan dengan pemaknaan yang sangat minimal. Semoga ***

Greg Sudargo, Feb 2008

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Sulitnya Meyakinkan Orang Pintar Menggunakan Logika Yang Sederhana

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

137080021037679205Tulisan ini terinspirasi dari berbagai komentar yang muncul pada berbagai artikel, terutama artikel yang ditulis oleh penulis sendiri, terutama tulisan yang mengungkapkan tentang jarak dari Bumi ke Matahari. Dalam tulisan tersebut, penulis bahwa jarak dari Bumi ke Matahari bukanlah 150 juta kilometer sepertihalnya yang diajarkan di sekolah-sekolah, terutama melalui mata pelajaran Fisika. Penulis mengungkapkan logika berpikir yang sangat sederhana yang berhubungan dengan jarak Bumi ke Matahari tersebut.

Dalam pandangan penulis, seharusnya jarak Bumi ke Matahari hanya berkisar pada jarak sekitar 2 juta km. Logika yang digunakan untuk mendukung pandangan tersebut yaitu rumus matematika dan Fisika yang sebenarnya kita pelajari justru semenjak kita duduk di Sekolah Menengah.

Dalam pelajaran Matematika di Sekolah Menengah, kita pernah mempelajari bahwa garis orbitasi Bumi berbentuk ellips yang sebenarnya mendekati bentuk sebuah lingkaran. Orbitasi berbentuk lingkaran tersebut, memungkinkan bagi kita untuk melakukan perhitungan jarak dari Bumi ke Matahari dengan asumsi bahwa jarak dari Bumi ke Matahari merupakan jari-jari dari orbitasi Bumi yang berbentuk lingkaran/ellips tersebut.

Dalam berbagai komentar dalam tulisan mengenai Jarak Bumi ke Matahari yang bisa dibaca disini, "Jarak Bumi ke Matahari Bukan 150 Juta Km tetapi Hanya 2 Juta Km", asumsi perhitungan jarak menggunakan jari-jari orbitasi Bumi tidak terlalu sulit diterima, karena hal tersebut masih memenuhi logika berpikir yang membaca tulisan tersebut. Yang sulit diterima, yaitu pada saat penulis berusaha melakukan perhitungan jarak Bumi ke Matahari dan mengkonversikannya ke dalam satuan kilometer.

Satu kali Bumi berputar mengelilingi Matahari sama dengan jarak yang ditempuh oleh Bumi membentuk sebuah lingkaran, dimana jari-jari lingkaran tersebut merupakan jarak dari Bumi ke Matahari. Perputaran Bumi mengelilingi Matahari tersebut, yang biasa dikenal dengan istilah revolusi, membutuhkan waktu satu tahun. Dalam perhitungan kalender Masehi, satu tahun sama dengan 365 hari, sehingga Bumi membentuk lingkaran orbitasi-nya pada saat mengelilingi Matahari membutuhkan waktu 365 hari.

Bantahan yang muncul mengenai isi tulisan tentang jarak Bumi ke Matahari, kebanyakan berhubungan dengan usaha penulis mengkonversikan satuan waktu ke dalam satuan kilometer. Dalam hal ini penulis memandang bahwa sebenarnya satuan hari bisa kita konversikan ke dalam satuan kilometer kalau kita mengetahui keliling Bumi yang juga berbentuk bulat (lingkaran).

Kita ketahui bahwa satu hari itu sama dengan 1 kali Bumi berputar pada porosnya, yang artinya bahwa "apabila ada 1 titik di Bumi, pada saat Bumi berputar pada porosnya (rotasi), titik itu akan menempuh jarak yang sama dengan keliling Bumi dalam satu hari untuk kembali ke kedudukannya semula". Keliling Bumi itu berjarak 40.000 km. Berarti dalam satu hari, titik dimaksud akan berputar searah rotasi sampai pada kedudukannya semula setelah menempuh jarak 40.000 km.

Coba kita hitung, kalau satu hari itu sama dengan 40.000 km, tinggal kita hitung 365 hari itu berapa km. Nah yang 365 hari itu, seperti yang sudah disebutkan di atas, sama dengan jarak/waktu tempuh Bumi mengelilingi Matahari membentuk lingkaran orbitasi. Setelah diketahui keliling lingkaran orbitasi, ya, tinggal kita hitung berapa jari-jari lingkaran orbitasi tersebut.

Inilah logika sederhana yang digunakan penulis untuk menjelaskan jarak dari Bumi ke Matahari bukanlah 150 juta km, tapi hanya kurang lebih 2 juta km. Tetapi logika sederhana ini ternyata lebih sulit untuk diterima, terutama bagi mereka yang sudah tergolong pakar dalam Ilmu Pengetahuan. Alasan yang diungkapkan kebanyakan menyangkut pada kecepatan rotasi bumi yang tidak sama dengan kecepatan bumi pada saat melakukan revolusi mengelilingi matahari. Padahal sebenarnya penulis justru memisahkan keduanya. Penggunaan revolusi penulis gunakan untuk menggambarkan bahwa orbitasi Bumi pada saat mengelilingi Matahari itu berbentuk lingkaran, sedangkan penggunaan rotasi hanya digunakan untuk menghitung jarak tempuh suatu titik dalam satu lingkaran keliling bumi dalam satu hari. Oke, mungkin ada pemahaman bahwa bumi itu tidak berputar secara normal, tetapi zigzag, tetapi perubahan pergerakan itu tentunya tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan, karena hanya terjadi 2 kali dalam setahun, yaitu agak ke selatan dan agak ke utara sesuai dengan adanya perubahan musim yang ada di Bumi.

Dalam pandangan penulis, justru logika yang digunakan untuk memperkuat bahwa jarak Bumi ke Matahari berjarak 150 juta km itulah yang sulit diterima. Malah mungkin masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sih sebenarnya konsep perhitungan jarak tersebut sehingga muncul kesimpulan bahwa jarak Bumi ke Matahari itu kurang lebih sama dengan 150 juta km.

Coba saja kita kaji, dalam pandangan Ilmu Fisika yang diperkenalkan di sekolah-sekolah, konsep perhitungan jarak Bumi ke Matahari itu berdasarkan perhitungan kecepatan cahaya. Menurut mereka, cahaya matahari itu merambat sampai ke Bumi dengan waktu rata-rata yang dibutuhkan selama 8,3 menit atau 498 detik. Kecepatan cahaya dalam ruang hampa yaitu 300.000 Km/detik. Jarak Bumi ke Matahari = 498 x 300.000 km, kurang lebih 150 juta km (Hitung sendiri saja, ya…).

Kenapa logika perhitungan ini justru sulit diterima? Yang menjadi permasalahan, darimana kita bisa menyimpulkan bahwa waktu tempuh cahaya Matahari untuk sampai ke Bumi itu selama 8,3 menit? Logika inilah yang belum bisa diterima.

Nah, coba kita banding dua asumsi perhitungan jarak dari Bumi ke Matahari yang penulis sajikan. Yang manakah asumsi yang sederhana untuk diterima secara logika? Hasil perhitungan jarak Bumi ke Matahari menggunakan rumus perhitungan jari-jari lingkaran orbitasi Bumi, ataukah perhitungan jarak Bumi ke Matahari menggunakan asumsi waktu tempuh cahaya Matahari sampai ke Bumi selama 8,3 menit?

Mungkin karena asumsi perhitungan yang digunakan oleh penulis terlalu sederhana, yang menyebabkan asumsi itu sulit diterima, terutama bagi orang-orang yang sudah terbiasa berkecimpung di bidang keilmuan. Berbagai argumentasi keilmuan yang pernah diterima oleh para pakar Ilmu Pengetahuan jauh lebih banyak dari penulis yang hanya bisa menggunakan logika berpikir anak SMP pada saat ingin mengungkapkan jarak antar benda angkasa. Tapi bisa juga, karena berbagai argumentasi keilmuan yang dimiliki yang demikian tinggi itu, justru kadang sulit untuk menerima logika berpikir yang sangat sederhana, karena ketinggian ilmunya kadang-kadang justru menutupi logika-nya sendiri.

Tetapi, sekali lagi, tulisan inipun tetap saja hanya sebuah asumsi yang mungkin hanya bagi penulis saja yang bisa diterima, tetapi tidak bagi yang lain. Walaupun berbicara jarak Bumi ke Matahari itu tergolong ke dalam bahasan Ilmu Pasti, tetapi tetap saja masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Sehingga dengan demikian, tergantung kepada masing-masing pribadi untuk memilih asumsi kebenarnnya masing-masing. Dan, pemilihan asumsi kebenaran yang paling aman adalah asumsi kebenaran yang sudah umum. Karena seringkali, pada saat kita memilih asumsi kebenaran yang tidak umum yang ada di masyarakat, maka kita harus siap di"cap" sesat pengetahuan dan sesat logika.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Danau Kelimutu, Sebuah Keajaiban di Bumi Ende

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

REP | 10 June 2013 | 00:48 Dibaca: 6   Komentar: 0   0
13707994131426592703

Tiwu Ata Polo (Danau Merah) dan Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau hijau)

Berkunjung ke Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur tidak lengkap rasanya apabila belum berkunjung ke danau Kelimutu yang keindahannya sudah tersohor keseluruh dunia. Dari kota Ende perjalan dapat ditempuh kurang lebih dua setengah jam dengan jalan yang berkelok-kelok menyusuri punggungan bukit dengan kondisi yang relatif mulus. Anda tidak perlu khawatir jenuh selama dalam perjalana karena panorama alam sepanjang perjalanan sangatlah menawan, bukit dan lembah yang menghijau diselingi dengan sawah-sawah laksana di Ubud sanggup memanjakan mata kita. Sedikit membuka catatan, gunung Kelimutu (1640 m dpl) tumbuh didalam kaldera Sokoria bersama dengan gunung Kelido (1641 m dpl) dan gunung Kelibara (1630 m dpl). Selain gunung Kelibara yang terpisah oleh lembah dari kaldera Sokoria, kedua gunung ini terhubung dalam satu kompleks. Gunung-gunung ini terbentuk karena perpindahan titik erupsi melalu celah yang terbentang dari utara ke selatan. Dari ketiga gunung tersebut, gunung Kelimutu merupakan kerucut tertua dan masih aktif hingga saat ini.

13707996531691832755

Tiwu Ata Mbupu (danau biru)

Pada puncak Kelimutu inilah terdapat tiga buah sisa kaldera yang mencerminkan perpindahan puncak erupsi . Ketiga sisa kaldera tersebut membentuk danau kawah dengan warna air dan diameter yang bervariasi, yaitu Tiwu Ata Polo (Danau Merah), Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau hijau) dan Tiwu Ata Mbupu (danau biru). Walaupun demikian warna airnya bisa berubah-ubah tanpa ada tanda alami sebelumnya. Mineral yang terlarut di dalam air juga perubahan cuaca menyebabkan perubahan warna air yang tidak bisa diduga sebelumnya, hal inilah yang menjadi keajaiban dari danau Kelimutu atau yang lebih dikenal dengan sebutan danau tiga warna. Kembali ke topik awal, setibanya di Kelimutu mobil berhenti dilapangan parkir yang disediakan oleh pengelola, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki selama kurang lebih 20 menit menyusuri hutan menuju ke Tiwu Ata Polo (Danau Merah), Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau hijau). Kedua danau ini relatif mudah dijangkau dengan trek yang tidak terlalu curam. Saya benar-benar takjub dengan apa yang tersaji di depan mata saya, dua buah danau yang letaknya bersebelahan dapat memiliki warna yang berbeda, satu berwarna merah kecoklatan dan satu lagi berwarna hijau tosca, benar-benar dua warna yang kontras. Setelah puas saya melanjutkan perjalanan ke puncak tertinggi gunung Kelimutu untuk menuntaskan rasa penasaran saya dengan danau yang ketiga yaitu Tiwu Ata Mbupu (danau biru), untuk menuju danau ketiga harus menyusuri tangga yang lumayan curam dan membuat nafas ngos-ngosan. Sekedar mengingatkan, sebaiknya anda membawa air putih sebelum naik, karena selama perjalanan saya tidak menemukan orang yang berjualan. 15 menit berjalan sampailah saya dipuncak, dari sini selain bisa melihat danau ketiga, kita juga bisa melihat danau hijau dan merah yang letaknya lebih dibawah.

13708000351036778011

Lembah di antara tiga danau

13707998141079291699

Tangga menuju puncak

Menurut tulisan yang terdapat pada prasasti di puncak Kelimutu, masyarakat lokal percaya bahwa jiwa/arwah akan datang ke Kelimutu setelah seseorang meninggal dunia jiwanya meninggalkan kampungnya dan tinggal di Kelimutu untuk selama-lamanya. Sebelum masuk kedalam salah satu danau/kawah para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau/kawah yang ada tergantung usia dan perbuatannya. Ketiga danau/kawah seolah-olah bagaikan di cat berwarna. Tidaklah aneh jika tempat yang keramat ini menjadi legenda yang sejak lama berlangsung turun menurun. Masyarakat percaya bahwa tempat ini adalah sakral. Sekedar mengingatkan, apabila anda berkunjung, hormatilah tempat khusus ini dengan tidak merusak atau mengotori dan tetaplah berada di jalan setapak yang ditentukan. Kearifan lokal telah membuat Danau Kelimutu tetap terjaga dengan baik , saya tidak menemukan coretan-coretan tangan2 jahil baik itu di batu2 cadas dilereng gunung maupun ditangga menuju puncak kawah, tidak seperti yang terjadi di gunung-gunung lain yang pernah saya kunjungi. Dari puncak keindahan danau Kelimutu benar-benar bisa saya nikmati secara lengkap, benar-benar luar biasa ajaib ciptaan Tuhan. Apabila tidak ingat bahwa saya harus kembali ke Kupang dengan penerbangan terakhir ingin rasanya saya berlama-lama berada disini.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Siapa yang menilai tulisan ini?

-

Aral

Posted: 09 Jun 2013 11:31 AM PDT

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar