Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Jumat, 10 Mei 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


GENTONG KYAI LUPA

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

Diamlah…Itu Emas..!

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

Berbahagialah…Aku Memaafkanmu..

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

Assalamualaikum, Malam

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

Backpacking: “Miskin” Biaya, Kaya Pengetahuan

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

1368208520129491009

Backpackers sedang berfoto di Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Kini wisata ransel atau yang lebih dikenal dengan istilah backpacking semakin diminati. Secara pribadi, saya tertarik dengan backpacking karena terasa menantang dan sarat makna. Mengunjungi tempat baru, bertemu dengan orang baru, dan mendapat pengetahuan baru, tentunya memberikan kesan tersendiri bagi saya. Sekembalinya dari backpacking rasanya saya menjadi pribadi baru.

Sebagai seorang pemula, saya ingin berkeliling Indonesia dulu. Perjalanan itu saya jadikan sebagai suatu proses untuk lebih mengenal daerah-daerah dari Sabang sampai Merauke dengan segala kekayaan budaya yang tersembunyi di dalamnya. Ada banyak sekali pengetahuan yang bisa diperoleh dari berbagai tempat yang dikunjungi, seperti sejarah tempat tersebut, kebiasaan warga setempat, kesenian daerah, makanan khas, dan masih banyak lagi. Pengetahuan yang diperoleh dari perjalanan itu bisa membuka jalan pikiran saya dalam memandang hidup. Selain untuk memperkaya diri akan pengetahuan, backpacking bisa dijadikan sarana bersenang-senang. Mengambil foto maupun merekam perjalanan dalam bentuk video bisa dilakukan untuk kesenangan pribadi.

Sekilas backpacking tampak begitu santai dan menyenangkan. Namun, sebelum melakukannya ternyata perlu memperhatikan beberapa hal. Dari pengalaman backpacking pertama saya, apabila kita berencana pergi bersama teman-teman sebaiknya sepakati dulu tempat tujuan kita. Setelah itu kita bisa mencari tahu informasi mengenai tempat tersebut, salah satunya melalui Internet. Ada banyak situs yang menyediakan berbagai informasi yang diperlukan oleh backpackers. Salah satu informasi yang harus diketahui adalah informasi mengenai penginapan yang murah dan nyaman. Selain itu, lokasi objek wisata, cara mencapai tempat tersebut, biaya, dan waktu yang diperlukan harus diperhatikan. Jangan sampai kita buta arah atau nihil informasi mengenai tempat tujuan kita. Jika perlu, persiapkan peta wilayah tersebut.

Jadwal kunjungan adalah hal selanjutnya yang perlu diperhatikan. Kurang asik rasanya apabila kita tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mengunjungi suatu objek wisata. Pasti tidak mau kan jika tempat itu keburu tutup saat kita tiba di sana. Kemudian hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah barang bawaan. Pikirkan apa saja yang perlu kita bawa selama perjalanan. Uang secukupnya, kartu identitas, pakaian, peralatan mandi, obat seperlunya, charger ponsel atau powerbank, serta air minum mungkin bisa dijadikan contoh barang bawaan yang wajib dibawa.

Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan backpacking. Selama backpacking pun kita harus selalu cerdik, waspada dengan segala tantangan yang mungkin akan kita hadapi, dan jangan malu untuk bertanya. Ingat kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Selain itu, atur keuangan sebaik mungkin. Jangan sampai tergoda untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. Apabila kita sudah berencana membeli suatu barang, pintar-pintarlah menawar. Mau bersenang-senang yang murah sekaligus memperluas pengetahuan? Ya backpacking aja!

Canangkan Pendidikan yang Mendidik untuk Indonesia

Posted: 10 May 2013 11:52 AM PDT

Banyak para siswa kelas 9 setelah selesai UN, mulai bingung memilih sekolah berikutnya, SMA atau SMK ? Lain lagi para siswa yang sudah duduk di SMA ataupun SMK, mereka saling membanggakan sekolahnya dan mencela sekolah lainnya. Mereka menganggap SMA vs SMK, dan sebaliknya. Sehingga wajar jika tawuran yang terjadi lebih banyak pada persaingan antara siswa SMA dan siswa SMK. Siswa Madrasah Aliyah tidak ada, padahal Madrasah Aliyah juga setingkat SMA dan SMK.

Sebenarnya mereka sama-sama dibuai oleh halusinasi yang diciptakan oleh kurikulum. Kurikulumlah yang menjebak SMA pada dunianya dan SMK di dunia yang lain lagi. Kurikulum tidak membuat skema bahwa SMA dan SMK adalah hanya sebuah pilihan tentang pilihan teori atau terapan. Sehingga seharusnya bukan dihadapkan pada masalah memilih apakah yang terbaik, SMA atau SMK. Melainkan diminta melihat dan mempelajari peluang dan kemungkinan yang ada pada keduanya. Antara SMA dan SMK pun sebenarnya memiliki peluang dan kemungkinan yang sama, cuma bedanya adalah pada keberanian untuk menentukan nasib sendiri pada pilihan yang telah kita pilih. Dan memilih antara SMA atau SMK adalah juga menuntut tanggungjawab atas pilihan yang telah dipilih dan yang tidak bisa digugat kembali, akan jadi apa nantinya. Sayangnya pendidikan di Indonesia tidak menanamkan hal itu.

Pendidikan di Indonesia sebenarnya salah sejak dari dasar. Anak didik hanya ditanamkan bahwa sekolah adalah hanya untuk meraih nilai tanpa disertai pembekalan mental. Itupun pada akhirnya nilai bisa sekedar alat untuk naik kelas ataupun lulus. Sementara banyak sekolah masih kekurangan fasilitas dan sarana. Ketimpangan pendidikan antara Jakarta dan bukan Jakarta, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, kota dan desa, negeri dan swasta, favorit dan gurem, terjadi begitu tajam dan mencolok. Akhirnya yang ada menampilkan dua sisi yang juga ekstrim : sementara pelajar Indonesia ada yang menjadi juara olimpiade, tawuran antar anak sekolah terjadi dimana-mana dan memakan banyak korban, sementara ada guru teladan dan diundang ke acara agustusan di istana, ada guru yang tidak bisa apa-apa, sementara ada sekolah berlabel internasional, ada sekolah harus digusur karena tanahnya mau dibangun mall/apartemen/perumahan mewah, sementara ada siswa berprestasi, ada banyak siswa yang dicap bodoh tanpa ada solusi dikembangkan kemampuannya sesuai bakat yang ada. Jadi, bukan pada pilihan mana yang terbaik, SMA atau SMK, melainkan bakatnya cocoknya di sekolah apa, itu yang benar.

Harusnya pendidikan mencerdaskan, mencerahkan, dan menyenangkan. Tidak membuat anak takut masuk sekolah, tidak membuat anak bingung memilih sekolah, tidak membuat guru ragu dalam mengajar, dan tidak membuat orang tua cemas nasib anaknya di sekolah. Setiap manusia dilahirkan dengan perbedaan. Ada perbedaan yang membuat seseorang menjadi "istimewa karena kekurangannya", sehingga tidak perlu seseorang yang "cacat" menjadi siswa "kelas dua" sekaligus "warganegara kelas dua" di negaranya sendiri yang merdeka. Ada pula perbedaan bakat dan kemampuan, dan tidak harus seseorang dicap "bodoh" hanya karena dia tidak bisa satu mata pelajaran. Ada perbedaan yang lain, yaitu perbedaan latar belakang, sehingga seseorang tidak bisa dimasukkan black list karena "nakal" tanpa ada penanganan yang sungguh-sungguh dan menyeluruh. Lalu, bila demikian, beratkah tugas guru ? Sangat berat, apalagi jika di setiap kelas dijejali hampir 50 orang anak.

Tugas guru berat, karena mungkin saja saat melangkahkan kakinya ke sekolah untuk mengajar, masalah di rumah telah menumpuk sekian banyaknya. Mungkin saja pula ketika sedang menerangkan di depan kelas, tidak ada uang sepeserpun di saku bajunya. Mungkin ada pula belum kakinya melangkah ke luar rumah, mentalnya telah lelah ditimpa sejumlah beban. Namun, banyak orang yang ingin menjadi guru dengan sejumlah alasan. Sehingga bisa dikatakan menjadi guru di Indonesia itu mudah. Dan hasilnya ?

Mungkin Indonesia tidak harus meniru sistem pendidikan di Finlandia yang menempati urutan nomor 1 terbaik di dunia. Karena jelas, jumlah penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa, sedangkan Finlandia hanya lebih 5 juta jiwa. Indonesia juga tidak harus meniru Amerika, meski tidak terbaik, tetapi perguruan tingginya mendominasi 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. Indonesia jelas tidak dapat meniru India, karena meskipun sekolahnya sederhana, tetapi semua buku berkualitas dijual dengan harga murah. Namun Indonesia tidak bisa meremehkan India, karena India sudah punya satelit yang diorbitkan sendiri.

Lalu, bagaimana idealnya untuk Indonesia ? Cukup kiranya, uang yang dihambur-hamburkan untuk gonta-ganti kurikulum + berbagai serial pelatihannya, trilyunan untuk UN, dan berbagai program yang tidak perlu, dimanfaatkan secara sangkil dan mangkus untuk mencanangkan program wajib "satu kelas, satu perpustakaan mini, dan seperangkat alat-alat peraga pendidikan". Itupun "harus" dipergunakan langsung dalam pelajaran IPA dan IPS. Kata "harus" dipakai disini maksudnya agar perangkat alat-alat peraga pendidikan itu tidak sekedar menjadi hiasan kelas yang berguna hanya untuk penilaian akreditasi sekolah.

Canangkan juga bahwa sebelum menjadi guru yang bisa megang kelas atau mata pelajaran, terlebih dulu harus menjadi asisten guru utama selama-lamanya 5 tahun. Sehingga guru yang mengajar benar-benar memahami bagaimana cara mendidik para siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi pintar, dari pintar menjadi pandai, dari pandai menjadi cerdas, dari cerdas menjadi arif bijaksana.

Canangkan berikutnya untuk kegiatan di sekolah, di awali dengan olah raga, kalau perlu dan mampu ada sarapan pagi dan makan siang bersama di sekolah, dan kegiatan belajar di luar ruang kelas. Bisa saja, pelajaran TIK dihapuskan, terutama untuk SD. Namun alangkah baiknya perubahan juga dikenakan pada pelajaran lain. Misal pelajaran Bahasa Inggris dijadikan ekstra kurikuler wajib, sehingga setiap anak yang mengikuti pelajaran Bahasa Inggris disesuaikan dengan level kemampuannya.

Pelajaran Bahasa Indonesia dikenalkan kembali pada pembelajaran sastra, tidak hanya berkutat pada teori, tetapi lebih pada pemahaman dan praktek. Pelajaran Agama ada yang bersifat pelajaran inti dan ada juga yang bersifat ekstra kurikuler wajib. Pelajaran Matematika yang harus didesain ulang mendidik siswa pada pemahaman dan penggunaan matematika sesuai tingkat filosofinya. Jadi bukan teori dan rumus Ilmu Matematika murni yang harus dipelajari mulai dari SD hingga SMA/SMK. Meskipun misalnya soalnya dipermudah, namun bila dasarnya yang dipakai adalah Ilmu Matematika, tetap saja bagi para siswa perlu pemahaman dari sejeumlah pertanyaan : mengapa rumus itu yang  harus dipakai, bagaimana bila hasilnya tidak sesuai dengan rumus, atau apakah kegunaan riil suatu teori yang diajarkan ?

Terakhir, untuk pelajaran seni budaya, bisa diselaraskan dengan PKN. Bisa saja pementasan seni budaya adalah sebagai salah-satu aspek penilaian PKN. Karena memang dengan mempelajari seni budaya sendiri, akan mudah mempertebal rasa cinta kepada tanah air. Dan mempelajari PKN pun tidak melulu harus menghafal pasal-pasal, peristiwa kenegaraan, ilmu politik, dan sebagainya, tetapi akan lebih menarik bila dibahas nilai-nilai luhur dari seni budaya Indonesia sendiri.

Tidak kalah pentingya, canangkan pula sekolah wajib bersih WC. Sulitnya, orang Indonesia punya budaya malas bersih. Ketika hendak menanamkan sikap menghargai kebersihan dengan membayar uang, pasti banyak yang kontra, daripada melihat manfaatnya untuk jangka 1 - 5 tahun ke depan. Apalah artinya uang Rp 500 atau Rp 1.000,- dibandingkan anggaran pendidikan yang jor-joran tapi keluarnya 4 bulan sekali ?

Jika hal-hal mendasar di atas sudah terpenuhi, baru bicara soal kurikulum yang bagaimana untuk dunia pendidikan Indonesia. Sebab jika tidak, hanya akan mewariskan timbunan masalah pendidikan yang makin lama makin bertumpuk di generasi emas mendatang. Oleh karena itu, canangkan pendidikan yang mendidik untuk Indonesia. Bukan pendidikan yang menina bobokan generasi demi generasi tentang halusinasi gemah ripah loh jinawinya Indonesia, Guru Tanpa Tanda Jasanya di Indonesia, dan Gebyar UN yang hanya untuk menyajikan angka-angka. Pendidikan yang mendidik adalah mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Itulah nilai luhur pendidikan yang sebenarnya.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar