Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 26 September 2013 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


HUMAN TRAFFICKING

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Tidak ada seorangpun yang bisa dikatakan menjadi seorang atau sebab khusus terjadinya human trafficking. Hal ini terjadi karena begitu banyak kaitannya dengan nilai – nilai lain yang sangat erat kaitannya dengan pribadi itu sendiri. Human Trafficking telah menjadi perhatian serius oleh banyak negara bahkan sampai ke meja PBB.

Di dalam human trafficking ini permasalahannya tidak telepas dari anak dan tidak terlepas pula dari perhatian masyarakat internasional. Isu – isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Eksploitasi tersebut paling tidak seperti beberapa contoh di bawah ini :

1. Eksploitasi seksual

2. Pelayanan paksa

3. Perbudakan

4. Pengambilan organ – organ tubuh.

Dengan lahirnya salah satu instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang maka pemerintah menciptakan UU No. 21 Tahun 2007. Namun, tampaknya undang – undang ini sulit dijalankan karena tindak pidana perdagangan orang ini bersifat khusus dan melibatkan aspek kompleks yang melintasi batas – batas negara. Pelaku human trafficking sendiri biasanya adalah organisasi yang rapi dan tertutup. Maka tentulah diperlukan kepandaian, kecerdikan dan keprofesionalismean para penegak hukum negara ini untuk memahami bagaimana hukumnya berjalan dan melakukan penegakan hukum yang sangat konsisten dan berkelanjutan nantinya.

Human trafficking dari awal – awal bisa terjadi, sebenarnya ini dapat dicegah namun memerlukan proses yang lama karena adanya proses dini yang tidak baik. Seperti contoh, kehidupan yang miskin telah mendorong orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Sehingga apa yang terjadi adalah anak – anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan keterampilan khusus atau kejuruan serta kesempatan untuk kerja menyusut drastis. Dengan alasan kemiskinan pula ibu – ibu banyak yang menjadi tenaga kerja wanita yang dengan hal ini dapat menyebabkan anak – anaknya terlantar tanpa perlindungan sehingga sangat beresiko untuk menjadi korban perdagangan manusia.

Namun apa yang didapat dari akibat kemiskinan tersebut, imbasnya sangat banyak. Karena nafsu ingin cepat kaya, ditambah lagi kurangnya pengetahuan maka mereka akan terlilit hutang para penyalur tenaga kerja dan akhirnya mendorong mereka untuk masuk kedalam dunia prostitusi. Sehingga mereka akan terjebak disana, bahkan hal yang mereka kerjakan itu sudah menjadi kewajiban bagi mereka dengan embel – embel untuk melunasi hutang mereka kepada para penyalur tenaga kerja.

Disamping hal itu media massa khususnya televisi tampaknya juga tidak mau bekerja sama untuk mencegah terjadinya human trafficking ini tetapi malah mereka menayangkan hal – hal yang berbau pornografi yang mendorong menguatnya keinginan seseorang untuk melakukan kegiatan prostitusi.

Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat buta huruf dan minat baca di Indonesia yang masih jauh dibawah rata – rata. Sebagian besar masyarakat Indonesia pernah belajar di bangku Sekolah Dasar, namun tidak pula sebagian besar mereka pernah belajar di bangku SMP. Tingkat buta huruf ini bisa membuat para korban dengan mudah ditipu oleh sindikat - sindikat tersebut. Bisa saja mereka mengiming – imingi korban untuk ikut dan bekerja dengannya dengan bayaran yang relatif memuaskan, kemudian menandatangani kontrak dengan sindikat tersebut. Namun, ternyata didalam surat perjanjian atau kontrak itu hal yang diutarakan tidak sama dengan apa yang telah diucapkan oleh sindikat tersebut kepada korban sebelumnya.

Lalu selanjutnya yang akan terjadi adalah karena buta huruf mereka akan kesulitan mengakses informasi yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi jika mereka menjadi korban trafficking internasional. Masalah akan bertambah dengan perbedaan budaya dan bahasa, maka selanjutnya yang hanya bisa mereka lakukan adalah "melayani" para sindikat tersebut dan mereka menjadi aset para sindikat untuk mendapatkan uang.

Sekarang mereka hanya bisa melakukan apa yang dikatakan dengan "kewajiban" bagi mereka, mereka tidak akan berdaya untuk melawan kepada para sindikat tersebut karena mereka telah terlilit hutang. Inilah yang sebenarnya pelanggaran yang hakekatnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban mereka yang sebenarnya bukan untuk melakukan hal tersebut namun malah harus menjalani pekerjaan tersebut.

Apakah cukup bila kita hanya mengakui bahwa dewasa ini hak asasi manusia telah diterima hampir universal sebagai norma hukum yang konkrit dan dapat diindentifikasi? Bahwa pengamat seperti Weissbrotd dan Vasak pun menyatakan dengan tegas bahwa hak asasi manusia telah menjadi ideologi universal.

Pertanyaan ini dan banyak lagi, teramat penting karena persepsi mengeai eksistensi nilai serta hubungan antara hak yang satu dengan yang lain dan hubungannya dengan norma hukum akan menghasilkan konsekuensi – konsekuensi praktis sejauh menyangkut proteksi terhadap hak asasi manusia.

Kembali kepada topik kita tentang human trafficking ini, seperti yang diutarakan bahwa ini merupakan tuntutan pelanggaran terhadap salah satu pasal dari undang – undang hak asasi manusia, namun pada hakekatnya hal ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban yang seperti apa? Kewajiban orang tua untuk menyekolahkan dan mendidik anak – anak agar mendapatkan pendidikan layak serta memahami dunia melalui pendidikannya tersebut, serta kepedulian orang tua (ibu) kepada anak – anaknya dengan tidak meninggalkan anaknya tanpa mendapat perlindungan dari siapapun serta kewajiban orang tua untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarganya.

Dalam praktek – praktek human trafficking ini, salah satu yang berpengaruh besar adalah catatan kelahiran atau biasa dikenal dengan akte kelahiran. Mengapa demikian? Dengan tidak adanya akte kelahiran, apalagi seorang perempuan akan mempermudah pihak – pihak nakal ini untuk mengeksploitasi perempuan ini. Dengan demikian mereka bisa memalsukan nota kelahiran perempuan tersebut dan terjadilah mark up umur sehingga perempuan ini mendapat izin dan dianggap cukup umur oleh pemerintah untuk bisa bekerja di luar negeri. Ketiadaan akte kelahiran juga menjadi masalah bagi perlindungan seseorang, karena dimata negara mereka tidak ada secara teknis.

Namun secara tidak langsung hak anak ini telah dilindungi oleh UU No.10 Tahun 2012 tentang Optional Protocol to The Convention on the Rights of The Child on The Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography ( Protokol Konvensi Hak – Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Perdagangan Anak ).

Maka berdasarkan Undang – Undang Konvensi Hak Anak tersebut didapat sebuah kesimpulan bahwa anak berhak untuk mendapatkan perlindungan. Negara harus menjamin perlindungan anak dari Diskriminasi (Penyandang cacat, minoritas, dll), Eksploitasi (Keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam), perlindungan hukum dan kekerasan.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, didapatkan data bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking dan negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak – anak dan orang – orang yang menjadi sasaran perdagangan manusia ini pada bagian prostitusi dan kerja paksa.

Perempuan yang bekerja di Malaysia, Singapura dan Timur Tengah banyak mengalami prostitusi paksa. Anak – anak diperdagangkan diluar negeri dan di dalam negeri yang nanti akan dipergunakan untuk kerja paksa dan tenaga kerja murah.

Dari 33 Provinsi di Indonesia yang merupakan sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan sumber yang signifikan adalah Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Sebagian besar buruh migran dari Indonesia harus menghadapi kondisi kerja paksa dan perbudakan utang (kewajiban untuk bekerja karena adanya hutang) di negara Asia yang lebih maju dan Timur Tengah, khususnya Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Kuwait, Suriah dan Irak.

Data menunjukkan pula bahwa ada sekitar 70 % dari seluruh tenaga kerja di Indonesia dalah perempuan dan lebih dari 55 % dari tenaga kerja Indonesia bekerja diluar negeri adalah anak – anak dan 43 % diantaranya adalah hasil dari human trafficking.

Salah satu teknis yang dilakukan sindikat perdagangan manusia ini adalah para korban dipaksa untuk memiliki hutang agar mereka merasa tertekan dan mau bekerja kepada para sindikat tersebut, sehingga apa yang diinginkan sindikat dapat terwujud dan tentu orientasinya adalah uang semata. Seakan – akan para korban sudah menjadi aset bagi sindikat untuk mengembangkan peluang " bisnis " mereka. Bagaimana mungkin para korban bisa berontak apabila hutang yang dimiliki lebih membelenggu ruang gerak mereka itu sendiri. Dengan tidak sengaja maka ruang gerak korban akan semakin kecil setiap harinya.

Maka kesimpulannya adalah perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah salah satu pelanggaran yang tuntutannya mengatasnamakan pasal 3 dalam undang – undang hak asasi manusia namun pada hakekatnya hal ini merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang kebanyakan obyek sasarannya adalah anak – anak dan wanita. Hal ini sulit diproses dan diselidiki karena jaringan yang sempit dan rapi disusun oleh sindikat, serta untuk menyelidiki hal ini diperlukan hal yang sangat sulit karena permasalahan yang kompleks melintasi batas – batas negara serta untuk memahaminya perlu pengetahuan yang tinggi dan banyak tentang hukum negara tersebut. Namun setidaknya dewasa ini telah ada perlindungan dari UU No. 10 Tahun 2012 yang melindungi anak – anak dari kegiatan perdagangan manusia serta yang pastinya kita semua harus waspada terhadap human trafficking.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Sekolah Sambil Kerja Sambilan, Baikkah Untuk Pelajar?

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

" Pengalaman kerja saya banyak pak!, saya pernah jadi SPGnya sebuah kartu perdana hape, jadi operator warnet, jadi seorang kasir di sebuah toko aksesoris, freelance model di butik teman saya dan sebagainya. Masa tidak ada loker buat saya di hotel ini?"

"Kamu lulusan apa dik?"

"Masih sekolah SMA pak, tapi setidaknya saya bisa mengisi liburan saya dengan membantu bapak di sini, boleh kan?"

"Aduh.. gimana ya.. kamu itu pelajar tugasnya ya belajar biar cepet lulus kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah itu kamu baru bisa berkerja disini."

"Yah Bapak.. kalo saya sudah lulus kuliah yah males kerja di sini.. ngapain juga kuliah tinggi-tinggi tapi jadi cleaning srvice hotel beginian ya?, jaim deh ah….."
… Bla bla…

"Oh gini aja.. kamu bisa membantu saya di rumah, nanti gaji dan jamnya bisa kita rembukkan besok, ini alamat saya, nomor hape kamu berapa?"…

Gregetan juga ya sama Bapak pemilik hotel itu. Kerja part time jadi cleaning service hotel aja masih di tanya "Kamu lulusan apa?".  Nyoh, aku lulusan SMP dan ini lagi pendidikan di SMA. Jijik banget ya pas di tawari kerja jadi pembantu di rumah dia. Sampai pingin tak antemi aja tuh orang. Gini-gini aku juga pernah mewakili kabupaten ke ajang pekan olah raga provinsi jatim sebagai atlit taekwondo, juara 2 pidato Bahasa Inggris, mewakili sekolah untuk lomba debat dan tulis Bahasa Inggris, lomba fashion busana muslimah, dsb. Masa jadi pembantu rumah tangga gara-gara masih sekolah di SMA?? . OGAH!!!, Harga diri tau! Mending membersihkan rumah sendiri dari pada membersihkan rumah dia. Merendahkan banget, tunggu saja saatnya bakal tak acak-acak dia!

Mungkin aku berbeda dari teman-temanku. Aku memang suka iseng mencari pengalaman dan berbaur bersama masyarakat. Aku tidak pernah merasa malu dengan sikap ku yang seperti ini. Memang hal yang aku lakukan seperti bekerja part time tidak layak untuk pelajar yang tugasnya belajar. Aku tidak pernah menceritakan ini semua pada keluarga ku. Biarlah hanya aku, Allah, dan yang tau saja. Aku bisa membayangkan jika Papa ku tau jika aku melakukan hal yang seperti ini, mungkin aku udah di pingit ya. Well, Bagi ku sangat menyenangkan dan menantang untuk menghabiskan waktu terutama di liburan semester untuk berkerja sambilan. Ya, hanya pekerjaan gitu-gitu aja, tidak seperti kalian yang berada di rumah sakit sebagai dokter, yang berada di bank sebagai teller, yang berada di sebuah perusahaan sebagai direktur, dsb. Secara gitu, aku kan masih sekolah dan pengalaman, skill, pengetahuan ataupun ijazah ku mungkin sangat, sangat belum bisa bersaing dengan punya kalian.

Pertanyaannya, apakah tidak menganggu jam belajar siswa jika disambi dengan kerja sambilan?. Jawabannya ya jelas banget mengganggu. Bagaimana tidak, waktu belajar pun menjadi berkurang karena di bagi dengan waktu untuk part time job. Tapi sekolah dan kerja sambilan itu tidak masalah. Asalkan siswa bisa mengatur waktunya tanpa mengganggu keseimbangan prestasi sekolahnya. Misalnya siswa bisa memanfaatkan waktu liburan semesternya untuk berkerja sambilan. Tidak harus pas pada jadwal sekolah efektif. Setiap menjelang bulan puasa,  biasanya sekolah mengurangi jam efektif belajarnya. Jika bukan bulan puasa siswa biasa pulang jam 13.30, ketika bulan puasa bisa pulang sekitar jam 10.30. Nah, jadi siswa bisa memanfaatkan sisahnya untuk berkerja. Namun hal yang seperti ini hanya bisa di lakukan oleh anak yang benar-benar niat, kuat mental dan fisik ya. Karena kendala yang akan mereka dapatkan lumayan tidak enak. Yakni, dari fisik; lelah, tambah kurus ya (cocok buat yang ingin coba program diet), dari mental ; godaan dari luar karena siswa akan di tuntut untuk berbaur dengan bermacam-macam tipe masyarakat, dari waktu; harus pandai-pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk tetap belajar.

Apakah sekolah sambil berkeja sambilan itu penting?. Jujur aja, enggak penting banget bagi mereka yang familinya sudah mampu memenuhi kebutuhan  ini itu nya. Ngapain juga toh kerja wong semua biaya perawatan sudah ada yang nanggung, tinggal fokus aja sama sekolah biar nanti keterima snmptn undangan ya. Tapi menurut ku pribadi, Sekolah sambil kerja sambilan itu baik-baik saja. Karena masa menjadi pelajar juga termasuk masa mencari identitas diri. Apa salahnya jika kita mencari pengalaman untuk berbaur dengan masyarakat, salah satu contohnya yakni kerja sambilan. Dari sana siswa akan mendapatkan pengalaman dan pelajaran dari betapa sulitnya mencari kerja jika hanya bermodalkan ijazah SMP, nah itu Ijazah SMP ya, bagaimana dengan yang hanya bermodalkan ijazah SD atau TK atau tidak ada sama sekali?. Contohnya sudah banyak, misalnya kuli angkut bawang di pasar, tukan becak, ibu-ibu penjual tempe di pasar, coba tanya, "Ibu/bapak lulusan apa?". Bisakah orang-orang seperti itu naik pangkat menjadi presiden atau Insinyur yang membuat pesawat terbang misalkan??..Oh,,Kunfayakun ya..

Orang-orang hebat dan jenius seperti Mark Zuckerberg, Steve Job, Bill Gates, BJ Habibi dan Albert Enstein di dunia ini hanya 10 : 1000. Apa yang membuat mereka istimewa?, mereka "Think Creative", telaten, dan pantang menyerah. Jadi jangan hanya terpaku pada teori yang tertulis pada pelajaran saja di sekolah atau tempat les. Tapi ya jangan di sepelekan juga. Boleh lah siswa mencari pengalaman dari berkeja sambilan toh itu nanti juga kembali pada siswanya sendiri. Semua tergantung dari diri masing-masing. Tenang aja, nanti siswa akan memiliki banyak kenalan secara spontan. Jadi channel nya juga semakin banyak. Lebih baik mendapatkan teman daripada musuh atau tidak punya siapa-siapa. Honor yang di dapat memang tidak seberapa tapi yah rasanya beda aja dari pada minta uang sama papa dan mama.

Alhamdulillah ya.. selama ini prestasi akademik atau non-akademik ku di sekolah fine-fine aja masih bertahan di peringkat 10 ke atas. Tapi semenjak di kelas XII aku mulai meninggalkan kegiatan yang seperti itu. Masanya sudah beda, sekarang masanya persiapan UAN dan Tes Masuk Perguruan Tinggi. Jangan pernah bolos les sama sekolah. Hihihi.

Salam Sukses!

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Pelajaran Politik Terbaik Ala Amien Rais.

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Ada apa dengan Amien Rais?

Pernyataannya di berbagai media dan kesempatan seakan akan selalu saja menyerang Joko Widodo, alias Jokowi. Mulai dari pembangunan argumen yang tidak tepat dalam 'serangannya' terhadap Jokowi, sampai yang bertendensi SARA.  Seakan akan omongan, argumen dan celotehan tersebut keluar bukan dari orang yang dahulunya bahkan berani menentang sebuah Rezim Pemerintahan dengan kata katanya yang keras : Suksesi.

Suksesi terhadap Soeharto, lebih tepatnya.

Dikala kata demokrasi dan kebebasan berpendapat itu hanya sekedar penghias undang undang yang tampak manis, kata "Suksesi" Amien Rais benar benar membuat bergidik. Awalnya dibicarakan dengan sedikit berbisik. Di ruang diskusi yang kecil, dengan ketakutan luar biasa bahwa sepulang diskusi pun nyawa bisa jadi taruhannya. Tapi bisikan itu pun semakin banyak. Kasak kusuk. Obrolan. Menggaung. Pertanyaan yang tadinya tampak tabu untuk dilontarkan pun terucap :

"Mengapa dia ( Soeharto) masih berada disana?"

Saat Amien Rais melakukannya, kritikan yang lugas dan tajam terhadap era kepemimpinan Presiden Soeharto sudah seharusnya berganti, tabu pun terdobrak. Amien Rais, membawa suara rakyat.  Dan semua pun bersuara. Bergerak bersama, sehingga akhirnya terjadi Reformasi. To Reform, tapuk kepemimpinan yang sesungguhnya dari tangan mereka yang terlalu lama duduk diposisi yang nyaman sehingga bahkan anak sekolah pun harus turut menghafal posisi mereka mereka ini , ke tangan yang sebenarnya :  rakyat Indonesia.

Nama Amien Rais pun melambung menjadi sebutan Guru Besar Reformasi. Tetap, maqomnya 'hanya' sebagai Guru saja. Membimbing dan setelahnya melepaskan para muridnya untuk tumbuh sesuai potensinya. Seharusnya, itulah yang terjadi.

Amien Rais pun turut bersaing didalam kancah kepemimpinan RI 1. Hasilnya? Ternyata memang rakyat Indonesia lagi lagi 'hanya' menganggapnya sebagai seorang Guru saja.  Pembimbing. Masih banyak yang enggan untuk merasa nyaman dengan dirinya.

Lima belas tahun kemudian. Popularitas Amien Rais semakin menurun.  Sontak perjalanan, dari seorang Guru Reformasi menjadi t ak jarang yang menjulukinya sebagai pengkhianat Reformasi.  Pengkhianat ?

Bagaimana secara proses, seorang Betara berubah menjadi Sengkuni? Apa yang terjadi selama ini? Kekecewaan akan reformasi yang semakin dipertanyakan nilainya, ataukah sekarang dia malah justru dipersalahkan?

"Iseh enak jamanku,Le?" jadi pemicu yang kuat untuk menertawakan kata Reformasi sendiri. Senyum sang Smiling General yang melambai seakan menjadi kenangan. Antara buruk dan baik.

Kini, Sang Guru Besar yang jadi Sengkuni sedang tampak mengasah pedangnya setiap bertemu seorang yang dianggap satria piningit bagi sebagian rakyat Indonesia. Joko Widodo namanya.  Sibuk menghadang, seakan siap merajamnya apabila bertemu di jalan. Buat saya pribadi, ini hanyalah pelajaran politik saja.

Bermain peran. Kali ini kebagian jatah antagonis.  Ya logis saja, peran apalagi yang bisa dimainkan saat peran Betara  Guru sukses diambil oleh Almarhum Gus Dur. Peran Betara Kala? Diambil secara keroyokan, oleh mereka yang mengambil untung sebesar besarnya dari kata Reformasi sendiri.  Seperti seluruhnya telah ditulis dalam Kitab Jitabsara ala politik saja.

Cercaan, hinaan dan tudingan tudingan miring terhadap Jokowi oleh Amien Rais sebetulnya sudah layak dan pantas menjadi pelajaran politik kita. Tidak ada kata kesempurnaan  didalam politik. Tidak pernah ada.

Flawless Figure itu tidak ada. Siap dan mampukah kita, dalam berdemokrasi dan turut terlibat dalam politik baik pasif maupun aktif untuk mengerti akan hal ini ?

Dalangnya mana? atau siapa, lebih tepatnya…

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Terbitkan Tulisan Setiap Hari

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Oleh MUCH. KHOIRI

Siang tadi, dalam bincang santai, seorang teman penulis prolifik, Eko Prasetyo, tiba-tiba menyatakan apresiasi terhadap saya karena saya selama bulan-bulan terakhir ini telah meng-upload tulisan setiap hari di kompasiana. Menurutnya, dia telah membuktikan klaimnya itu setelah mencermati tulisan-tulisan saya.

Saya tak menduga kalau dia secermat itu dalam mengikuti frekwensi unggahan tulisan saya di kompasiana. Setahu saya, dia juga sangat sibuk dengan proyek-proyek menulisnya yang cukup banyak—apalagi dia belum lama ini mengalami kecelakaan; jadi, saya kira dia tidak sempat membuka kompasiana. Ternyata, dugaan saya meleset. Dia tahu, saya mengunggah tulisan setiap hari.

Maka, terhadap apresiasi itu, saya sampaikan, bahwa itu program "pribadi" saya sebagai penulis—setelah saya terbiasa menulis setiap hari. Pemikiran saya sederhana, saya harus membiasakan menulis setiap hari, dan karena itu harus menyalurkan tulisan saya ke media yang tepat—juga setiap hari.  Terus terang, selain sebagai dosen, saya sudah menegaskan niat untuk menjadi penulis profesional juga.

Dengan kata lain, program penting bagi penulis profesional yang layak dicanangkan, untuk mengimbangi program menulis setiap hari, adalah menerbitkan tulisan setiap hari. Menerbitkan tulisan ibarat memasarkan produk yang telah dihasilkan oleh penulis profesional. Jika tulisan diproduksi setiap hari, namun tidak diterbitkan, apalah gunanya. Bukankah itu suatu bentuk kemubaziran?

Terus terang, menerbitkan tulisan setiap hari sudah cukup lama saya praktikkan dalam proses kreatif saya selama ini. Jika belakangan ini saya banyak menerbitkan tulisan di kompasiana, itu hanya masalah titik berat dan pilihan saja. Saya telah menulis tentang hal ini di kompasiana dengan judul "Kompasianaku, Rumah Kreatifku"( http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/16/kompasianaku-rumah-kreatifku-592166.html).  Jadi, sebelum itu, saya juga sudah menerbitkan tulisan di media lain setiap hari.

Sebelum aktif menerbitkan tulisan di kompasiana, saya menulis untuk  blog pribadi, grup-grup menulis saya (Gerakan Guru Menulis Buku, Komunitas Mahasiswa Menulis, dll.), tiga buah website, tiga buah mailing-list, dan media cetak (harian, tabloid). Sebagai tambahan, sekali tempo, saya juga memenuhi undangan untuk menulis artikel bagi penerbitan buku antologi, majalah kampus, dan majalah profesi.

Dengan demikian, kata "menerbitkan" di sini tidak perlu hanya dikonotasikan ke penerbitan cetak (koran, tabloid, buku, majalah kampus, majalah profesi). Sebaliknya, ia perlu dimaknai lebih luas, bukan hanya penerbitan cetak, melainkan juga penerbitan non-cetak (media sosial), termasuk blog pribadi, kompasiana, grup-grup menulis saya (Gerakan Guru Menulis Buku, Komunitas Mahasiswa Menulis, dll.), tiga buah website, dan tiga buah mailing-list.

Kebetulan saya sudah menegaskan, bahwa menerbitkan di media cetak dan di media noncetak tak terlalu berbeda. Jika media cetak memungkinkan ada honor menulis, di media non-cetak saya memang tidak menerima honor menulis sekarang—namun suatu saat, setelah tulisan saya bukukan, saya barulah memetik hasilnya. Kalau bicara masalah uang, perbedaan keduanya hanya masalah waktu saja.

Agar semua ini berjalan, saya selalu berusaha menulis berdasarkan kluster-kluster tema tulisan, dan saya menulis dengan standar tulisan yang cukup layak untuk bahan buku. Saya bisa menawarkan tulisan ke media cetak terlebih dahulu; jika tidak layak muat di sana, saya unggah di salah satu media sosial yang saya sebutkan di atas—yang belakangan ini terbanyak di kompasiana. Yang terbanyak, saya menulis bukan untuk konsumsi media cetak.

Dengan pendekatan ini, saya tidak stress jika tulisan tidak dimuat di media cetak; toh masih bisa saya unggah di media non-cetak—yang suatu saat bisa saya bukukan. Jadi, saya menulis dengan serius, dan tidak main-main. Rugilah saya jika saya menulis dengan main-main. Jika hal ini saya tempuh, saya tidak akan bisa mengoleksinya sebagai bahan buku-buku saya. Anggaplah, dengan menulis karya berkualitas, saya sedang berinvestasi dalam bentuk bahan buku. Saya yakin, suatu saat akan memanen hasil investasi itu.

Sekarang, bagaimana saya bisa menerbitkan tulisan setiap hari? Ya, karena saya telah mewajibkan diri untuk menulis setiap hari. Setiap hari saya wajib menghasilkan satu atau dua tulisan layak terbit. Jika tidak bisa menulis hari ini, besok saya harus membayar utang tulisan ini. Jika saya punya waktu cukup longgar, saya menulis dua atau tiga tulisan untuk cadangan saya jika saya esoknya atau lusanya saya kepepet waktu. Singkatnya, setiap hari harus tersedia satu tulisan.

Sementara itu, untuk menunjang program saya menulis setiap hari, saya telah sejak tahun lalu mendidik diri untuk menulis cepat (speed writing). Setiap hari saya wajib menyediakan waktu sekitar 60 menit untuk menulis satu buah artikel layak terbit (sekitar 5000 karakter). Jika sedang beruntung, saya bisa menulis dua tulisan dalam wakt 90 menit. Dengan strategi ini, saya yakin tidak akan kekurangan stok tulisan untuk diterbitkan.

Sejauh itu, saya berbagi di sini, agar tulisan ini mungkin bisa menginspirasi calon penulis atau penulis yang belum mempraktikkan kebiasaan di atas. Dengan berbagi tulisan, kita memberi dan menerima. Lebih dari itu, saya mengajak para penulis untuk menegaskan diri sebagai pejuang pembudayaan literasi di berbagai pelosok negeri ini.***

Copyrights@Much.Khoiri
Surabaya, 27/9/2013

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Balada Gadis Penyapu Jalan

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Media Massa dan Penggunaan Bahasa

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Menjamurnya media massa baik media cetak maupun media elektronik di Aceh saat ini telah menjadi  hitam di antara putih penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang diatur dalam Undang-Undang 24 Tahun  2009. Meskipun keterbukaan informasi dan pers adalah pilar ketiga bangsa Indonesia dan diharakapkan oleh semua pihak, tetapi hal ini justru merusak kaidah bahasa Indonesia, serta berdampak negatif  terhadap  kalangan akademisi. Seakan tak peduli kaidah bahasa, para jurnalis tersebut terus menyajikan berita yang kadang kala penulisannya tidak benar sama sekali.

Penggunaan bahasa indonesia sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (a) bahasa negara (b) bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, (c) bahasa resmi perhubungan  pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan, (d) bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi moden (Halim, 1976 : 145).

Keteraturan berbahasa adalah cerminan pribadi yang teratur. Begitulah kata-kata bijak yang acap diucapkan para linguis. Perlu dicermati bahwa kesalahan penulisan bahasa Indonesia dalam media massa di Aceh ini berujung pada empat hal kesalahan. Pertama, salah diksi. Kata salah ini sendiri diantonimkan dengan 'betul' yang pada prinsipnya apa yang dilakukannya itu tidak betul, serta tidak menurut norma dan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi kemungkinan penulis tersebut khilaf. Jika kesalahan ini dikaitkan dengan penggunaan kata, maka penulis tersebut pastinya belum tahu kata yang tepat untuk dipakai.

Kedua, penyimpangan yang dapat diartikan penyimpangan dari norma yang ditetapkan. Wartawan terkadang dalam menulis berita mengabaikan, enggan serta tidak mau menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana semestinya. Dan sebenarnya wartawan ini telah mengetahui norma yang sebenarnya, tetapi dia memakai norma lain yang dianggap lebih sesuai dengan konsepnya atau dalam istilah bahasa Aceh meukire, artinya mencomot yang orang lain pernah tulis. Hal ini sendiri cenderung ke pembentukan kata, istilah, slang, jargon dan prokem.

Ketiga, pelanggaran. Hal ini memang cenderung bersifat negatif. Umumnya si wartawan dengan penuh kesadaran tidak mau mengikuti norma yang telah ditentukan, sekalipun ia mengetahui bahwa yang telah ia lakukan berakibat tidak baik. Terkadang dalam penulisan berita sering kali berujung pada ketidakmampuan pembaca menangkap pesan yang dituliskan oleh wartawan. Dengan kata lain dikatakan, wartawan atau penulis tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat.

Keempat, kekhilafan yang  merupakan proses psikologis wartawan dalam menuliskan berita,  hal ini menandai seorang khilaf menerapkan teori atau norma yang memang benar-benar diketahuinya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurang telitinya saat menulis pat ranup hana mirah, pat peunerah hana bajoe. Kesalahan ini sendiri di luar dari keinginan si wartawan ataupun redaktur yang betugas. Biasanya redaktur  telah mempercayakan penuh akan kemampuan wartawan tersebut dalam menulis berita, sehingga tidak perlu dikoreksi lagi.

Ke depan diharapkan kepada pengelola media massa tersebut tidak sembarang mempublikasikan berita tetapi harus jeli mengoreksi penulisan bahasanya kembali dengan mengutamakan kaidah bahasa Indonesia. Disamping itu, pembekalan tetang pengetahuan bahasa kepada jurnalis sangat perlu dilakukan. Hal itu mengingat selama ini selain adanya fenomena interferensi bahasa daerah ke bahasa Indonesia juga masih banyaknya ditemukan kesalahan baik leksikal maupun gramatikal.

Melirik media-media ternama, mereka memiliki redaktur bahasa yang tugasnya mengoreksi kesalahan dalam penulisan tersebut. Barangkali ada baiknya para pengelola atau pemilik media juga memiliki redaktur bahasa. Kondisi di Aceh hal itu dapat dilakukan misalnya dengan "memanfaatkan" keberadaan para sarjana basahasa yang menurut hemat penulis mereka pasti bersedia membantu pekerjaan tersebut. Tentu saja para sarjana yang berkompeten, khususnya di bidang bahasa. Profesi sebagai jurnalis adalah pekerjaan yang mulia karena memberikan informasi kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, gunakanlah bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Jika menggunakan bahasa Indonesia, gunakan secara baik dan benar.(*)

Oleh Rahmad Nuthihar

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar