Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 26 September 2013 0 komentar

Kompasiana


HUMAN TRAFFICKING

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Tidak ada seorangpun yang bisa dikatakan menjadi seorang atau sebab khusus terjadinya human trafficking. Hal ini terjadi karena begitu banyak kaitannya dengan nilai – nilai lain yang sangat erat kaitannya dengan pribadi itu sendiri. Human Trafficking telah menjadi perhatian serius oleh banyak negara bahkan sampai ke meja PBB.

Di dalam human trafficking ini permasalahannya tidak telepas dari anak dan tidak terlepas pula dari perhatian masyarakat internasional. Isu – isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Eksploitasi tersebut paling tidak seperti beberapa contoh di bawah ini :

1. Eksploitasi seksual

2. Pelayanan paksa

3. Perbudakan

4. Pengambilan organ – organ tubuh.

Dengan lahirnya salah satu instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang maka pemerintah menciptakan UU No. 21 Tahun 2007. Namun, tampaknya undang – undang ini sulit dijalankan karena tindak pidana perdagangan orang ini bersifat khusus dan melibatkan aspek kompleks yang melintasi batas – batas negara. Pelaku human trafficking sendiri biasanya adalah organisasi yang rapi dan tertutup. Maka tentulah diperlukan kepandaian, kecerdikan dan keprofesionalismean para penegak hukum negara ini untuk memahami bagaimana hukumnya berjalan dan melakukan penegakan hukum yang sangat konsisten dan berkelanjutan nantinya.

Human trafficking dari awal – awal bisa terjadi, sebenarnya ini dapat dicegah namun memerlukan proses yang lama karena adanya proses dini yang tidak baik. Seperti contoh, kehidupan yang miskin telah mendorong orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Sehingga apa yang terjadi adalah anak – anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan keterampilan khusus atau kejuruan serta kesempatan untuk kerja menyusut drastis. Dengan alasan kemiskinan pula ibu – ibu banyak yang menjadi tenaga kerja wanita yang dengan hal ini dapat menyebabkan anak – anaknya terlantar tanpa perlindungan sehingga sangat beresiko untuk menjadi korban perdagangan manusia.

Namun apa yang didapat dari akibat kemiskinan tersebut, imbasnya sangat banyak. Karena nafsu ingin cepat kaya, ditambah lagi kurangnya pengetahuan maka mereka akan terlilit hutang para penyalur tenaga kerja dan akhirnya mendorong mereka untuk masuk kedalam dunia prostitusi. Sehingga mereka akan terjebak disana, bahkan hal yang mereka kerjakan itu sudah menjadi kewajiban bagi mereka dengan embel – embel untuk melunasi hutang mereka kepada para penyalur tenaga kerja.

Disamping hal itu media massa khususnya televisi tampaknya juga tidak mau bekerja sama untuk mencegah terjadinya human trafficking ini tetapi malah mereka menayangkan hal – hal yang berbau pornografi yang mendorong menguatnya keinginan seseorang untuk melakukan kegiatan prostitusi.

Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat buta huruf dan minat baca di Indonesia yang masih jauh dibawah rata – rata. Sebagian besar masyarakat Indonesia pernah belajar di bangku Sekolah Dasar, namun tidak pula sebagian besar mereka pernah belajar di bangku SMP. Tingkat buta huruf ini bisa membuat para korban dengan mudah ditipu oleh sindikat - sindikat tersebut. Bisa saja mereka mengiming – imingi korban untuk ikut dan bekerja dengannya dengan bayaran yang relatif memuaskan, kemudian menandatangani kontrak dengan sindikat tersebut. Namun, ternyata didalam surat perjanjian atau kontrak itu hal yang diutarakan tidak sama dengan apa yang telah diucapkan oleh sindikat tersebut kepada korban sebelumnya.

Lalu selanjutnya yang akan terjadi adalah karena buta huruf mereka akan kesulitan mengakses informasi yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi jika mereka menjadi korban trafficking internasional. Masalah akan bertambah dengan perbedaan budaya dan bahasa, maka selanjutnya yang hanya bisa mereka lakukan adalah "melayani" para sindikat tersebut dan mereka menjadi aset para sindikat untuk mendapatkan uang.

Sekarang mereka hanya bisa melakukan apa yang dikatakan dengan "kewajiban" bagi mereka, mereka tidak akan berdaya untuk melawan kepada para sindikat tersebut karena mereka telah terlilit hutang. Inilah yang sebenarnya pelanggaran yang hakekatnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban mereka yang sebenarnya bukan untuk melakukan hal tersebut namun malah harus menjalani pekerjaan tersebut.

Apakah cukup bila kita hanya mengakui bahwa dewasa ini hak asasi manusia telah diterima hampir universal sebagai norma hukum yang konkrit dan dapat diindentifikasi? Bahwa pengamat seperti Weissbrotd dan Vasak pun menyatakan dengan tegas bahwa hak asasi manusia telah menjadi ideologi universal.

Pertanyaan ini dan banyak lagi, teramat penting karena persepsi mengeai eksistensi nilai serta hubungan antara hak yang satu dengan yang lain dan hubungannya dengan norma hukum akan menghasilkan konsekuensi – konsekuensi praktis sejauh menyangkut proteksi terhadap hak asasi manusia.

Kembali kepada topik kita tentang human trafficking ini, seperti yang diutarakan bahwa ini merupakan tuntutan pelanggaran terhadap salah satu pasal dari undang – undang hak asasi manusia, namun pada hakekatnya hal ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap kewajiban. Kewajiban yang seperti apa? Kewajiban orang tua untuk menyekolahkan dan mendidik anak – anak agar mendapatkan pendidikan layak serta memahami dunia melalui pendidikannya tersebut, serta kepedulian orang tua (ibu) kepada anak – anaknya dengan tidak meninggalkan anaknya tanpa mendapat perlindungan dari siapapun serta kewajiban orang tua untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarganya.

Dalam praktek – praktek human trafficking ini, salah satu yang berpengaruh besar adalah catatan kelahiran atau biasa dikenal dengan akte kelahiran. Mengapa demikian? Dengan tidak adanya akte kelahiran, apalagi seorang perempuan akan mempermudah pihak – pihak nakal ini untuk mengeksploitasi perempuan ini. Dengan demikian mereka bisa memalsukan nota kelahiran perempuan tersebut dan terjadilah mark up umur sehingga perempuan ini mendapat izin dan dianggap cukup umur oleh pemerintah untuk bisa bekerja di luar negeri. Ketiadaan akte kelahiran juga menjadi masalah bagi perlindungan seseorang, karena dimata negara mereka tidak ada secara teknis.

Namun secara tidak langsung hak anak ini telah dilindungi oleh UU No.10 Tahun 2012 tentang Optional Protocol to The Convention on the Rights of The Child on The Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography ( Protokol Konvensi Hak – Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Perdagangan Anak ).

Maka berdasarkan Undang – Undang Konvensi Hak Anak tersebut didapat sebuah kesimpulan bahwa anak berhak untuk mendapatkan perlindungan. Negara harus menjamin perlindungan anak dari Diskriminasi (Penyandang cacat, minoritas, dll), Eksploitasi (Keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam), perlindungan hukum dan kekerasan.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, didapatkan data bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking dan negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak – anak dan orang – orang yang menjadi sasaran perdagangan manusia ini pada bagian prostitusi dan kerja paksa.

Perempuan yang bekerja di Malaysia, Singapura dan Timur Tengah banyak mengalami prostitusi paksa. Anak – anak diperdagangkan diluar negeri dan di dalam negeri yang nanti akan dipergunakan untuk kerja paksa dan tenaga kerja murah.

Dari 33 Provinsi di Indonesia yang merupakan sumber dan tujuan perdagangan manusia, dengan sumber yang signifikan adalah Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Sebagian besar buruh migran dari Indonesia harus menghadapi kondisi kerja paksa dan perbudakan utang (kewajiban untuk bekerja karena adanya hutang) di negara Asia yang lebih maju dan Timur Tengah, khususnya Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Kuwait, Suriah dan Irak.

Data menunjukkan pula bahwa ada sekitar 70 % dari seluruh tenaga kerja di Indonesia dalah perempuan dan lebih dari 55 % dari tenaga kerja Indonesia bekerja diluar negeri adalah anak – anak dan 43 % diantaranya adalah hasil dari human trafficking.

Salah satu teknis yang dilakukan sindikat perdagangan manusia ini adalah para korban dipaksa untuk memiliki hutang agar mereka merasa tertekan dan mau bekerja kepada para sindikat tersebut, sehingga apa yang diinginkan sindikat dapat terwujud dan tentu orientasinya adalah uang semata. Seakan – akan para korban sudah menjadi aset bagi sindikat untuk mengembangkan peluang " bisnis " mereka. Bagaimana mungkin para korban bisa berontak apabila hutang yang dimiliki lebih membelenggu ruang gerak mereka itu sendiri. Dengan tidak sengaja maka ruang gerak korban akan semakin kecil setiap harinya.

Maka kesimpulannya adalah perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah salah satu pelanggaran yang tuntutannya mengatasnamakan pasal 3 dalam undang – undang hak asasi manusia namun pada hakekatnya hal ini merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang kebanyakan obyek sasarannya adalah anak – anak dan wanita. Hal ini sulit diproses dan diselidiki karena jaringan yang sempit dan rapi disusun oleh sindikat, serta untuk menyelidiki hal ini diperlukan hal yang sangat sulit karena permasalahan yang kompleks melintasi batas – batas negara serta untuk memahaminya perlu pengetahuan yang tinggi dan banyak tentang hukum negara tersebut. Namun setidaknya dewasa ini telah ada perlindungan dari UU No. 10 Tahun 2012 yang melindungi anak – anak dari kegiatan perdagangan manusia serta yang pastinya kita semua harus waspada terhadap human trafficking.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Sekolah Sambil Kerja Sambilan, Baikkah Untuk Pelajar?

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

" Pengalaman kerja saya banyak pak!, saya pernah jadi SPGnya sebuah kartu perdana hape, jadi operator warnet, jadi seorang kasir di sebuah toko aksesoris, freelance model di butik teman saya dan sebagainya. Masa tidak ada loker buat saya di hotel ini?"

"Kamu lulusan apa dik?"

"Masih sekolah SMA pak, tapi setidaknya saya bisa mengisi liburan saya dengan membantu bapak di sini, boleh kan?"

"Aduh.. gimana ya.. kamu itu pelajar tugasnya ya belajar biar cepet lulus kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah itu kamu baru bisa berkerja disini."

"Yah Bapak.. kalo saya sudah lulus kuliah yah males kerja di sini.. ngapain juga kuliah tinggi-tinggi tapi jadi cleaning srvice hotel beginian ya?, jaim deh ah….."
… Bla bla…

"Oh gini aja.. kamu bisa membantu saya di rumah, nanti gaji dan jamnya bisa kita rembukkan besok, ini alamat saya, nomor hape kamu berapa?"…

Gregetan juga ya sama Bapak pemilik hotel itu. Kerja part time jadi cleaning service hotel aja masih di tanya "Kamu lulusan apa?".  Nyoh, aku lulusan SMP dan ini lagi pendidikan di SMA. Jijik banget ya pas di tawari kerja jadi pembantu di rumah dia. Sampai pingin tak antemi aja tuh orang. Gini-gini aku juga pernah mewakili kabupaten ke ajang pekan olah raga provinsi jatim sebagai atlit taekwondo, juara 2 pidato Bahasa Inggris, mewakili sekolah untuk lomba debat dan tulis Bahasa Inggris, lomba fashion busana muslimah, dsb. Masa jadi pembantu rumah tangga gara-gara masih sekolah di SMA?? . OGAH!!!, Harga diri tau! Mending membersihkan rumah sendiri dari pada membersihkan rumah dia. Merendahkan banget, tunggu saja saatnya bakal tak acak-acak dia!

Mungkin aku berbeda dari teman-temanku. Aku memang suka iseng mencari pengalaman dan berbaur bersama masyarakat. Aku tidak pernah merasa malu dengan sikap ku yang seperti ini. Memang hal yang aku lakukan seperti bekerja part time tidak layak untuk pelajar yang tugasnya belajar. Aku tidak pernah menceritakan ini semua pada keluarga ku. Biarlah hanya aku, Allah, dan yang tau saja. Aku bisa membayangkan jika Papa ku tau jika aku melakukan hal yang seperti ini, mungkin aku udah di pingit ya. Well, Bagi ku sangat menyenangkan dan menantang untuk menghabiskan waktu terutama di liburan semester untuk berkerja sambilan. Ya, hanya pekerjaan gitu-gitu aja, tidak seperti kalian yang berada di rumah sakit sebagai dokter, yang berada di bank sebagai teller, yang berada di sebuah perusahaan sebagai direktur, dsb. Secara gitu, aku kan masih sekolah dan pengalaman, skill, pengetahuan ataupun ijazah ku mungkin sangat, sangat belum bisa bersaing dengan punya kalian.

Pertanyaannya, apakah tidak menganggu jam belajar siswa jika disambi dengan kerja sambilan?. Jawabannya ya jelas banget mengganggu. Bagaimana tidak, waktu belajar pun menjadi berkurang karena di bagi dengan waktu untuk part time job. Tapi sekolah dan kerja sambilan itu tidak masalah. Asalkan siswa bisa mengatur waktunya tanpa mengganggu keseimbangan prestasi sekolahnya. Misalnya siswa bisa memanfaatkan waktu liburan semesternya untuk berkerja sambilan. Tidak harus pas pada jadwal sekolah efektif. Setiap menjelang bulan puasa,  biasanya sekolah mengurangi jam efektif belajarnya. Jika bukan bulan puasa siswa biasa pulang jam 13.30, ketika bulan puasa bisa pulang sekitar jam 10.30. Nah, jadi siswa bisa memanfaatkan sisahnya untuk berkerja. Namun hal yang seperti ini hanya bisa di lakukan oleh anak yang benar-benar niat, kuat mental dan fisik ya. Karena kendala yang akan mereka dapatkan lumayan tidak enak. Yakni, dari fisik; lelah, tambah kurus ya (cocok buat yang ingin coba program diet), dari mental ; godaan dari luar karena siswa akan di tuntut untuk berbaur dengan bermacam-macam tipe masyarakat, dari waktu; harus pandai-pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk tetap belajar.

Apakah sekolah sambil berkeja sambilan itu penting?. Jujur aja, enggak penting banget bagi mereka yang familinya sudah mampu memenuhi kebutuhan  ini itu nya. Ngapain juga toh kerja wong semua biaya perawatan sudah ada yang nanggung, tinggal fokus aja sama sekolah biar nanti keterima snmptn undangan ya. Tapi menurut ku pribadi, Sekolah sambil kerja sambilan itu baik-baik saja. Karena masa menjadi pelajar juga termasuk masa mencari identitas diri. Apa salahnya jika kita mencari pengalaman untuk berbaur dengan masyarakat, salah satu contohnya yakni kerja sambilan. Dari sana siswa akan mendapatkan pengalaman dan pelajaran dari betapa sulitnya mencari kerja jika hanya bermodalkan ijazah SMP, nah itu Ijazah SMP ya, bagaimana dengan yang hanya bermodalkan ijazah SD atau TK atau tidak ada sama sekali?. Contohnya sudah banyak, misalnya kuli angkut bawang di pasar, tukan becak, ibu-ibu penjual tempe di pasar, coba tanya, "Ibu/bapak lulusan apa?". Bisakah orang-orang seperti itu naik pangkat menjadi presiden atau Insinyur yang membuat pesawat terbang misalkan??..Oh,,Kunfayakun ya..

Orang-orang hebat dan jenius seperti Mark Zuckerberg, Steve Job, Bill Gates, BJ Habibi dan Albert Enstein di dunia ini hanya 10 : 1000. Apa yang membuat mereka istimewa?, mereka "Think Creative", telaten, dan pantang menyerah. Jadi jangan hanya terpaku pada teori yang tertulis pada pelajaran saja di sekolah atau tempat les. Tapi ya jangan di sepelekan juga. Boleh lah siswa mencari pengalaman dari berkeja sambilan toh itu nanti juga kembali pada siswanya sendiri. Semua tergantung dari diri masing-masing. Tenang aja, nanti siswa akan memiliki banyak kenalan secara spontan. Jadi channel nya juga semakin banyak. Lebih baik mendapatkan teman daripada musuh atau tidak punya siapa-siapa. Honor yang di dapat memang tidak seberapa tapi yah rasanya beda aja dari pada minta uang sama papa dan mama.

Alhamdulillah ya.. selama ini prestasi akademik atau non-akademik ku di sekolah fine-fine aja masih bertahan di peringkat 10 ke atas. Tapi semenjak di kelas XII aku mulai meninggalkan kegiatan yang seperti itu. Masanya sudah beda, sekarang masanya persiapan UAN dan Tes Masuk Perguruan Tinggi. Jangan pernah bolos les sama sekolah. Hihihi.

Salam Sukses!

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Pelajaran Politik Terbaik Ala Amien Rais.

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Ada apa dengan Amien Rais?

Pernyataannya di berbagai media dan kesempatan seakan akan selalu saja menyerang Joko Widodo, alias Jokowi. Mulai dari pembangunan argumen yang tidak tepat dalam 'serangannya' terhadap Jokowi, sampai yang bertendensi SARA.  Seakan akan omongan, argumen dan celotehan tersebut keluar bukan dari orang yang dahulunya bahkan berani menentang sebuah Rezim Pemerintahan dengan kata katanya yang keras : Suksesi.

Suksesi terhadap Soeharto, lebih tepatnya.

Dikala kata demokrasi dan kebebasan berpendapat itu hanya sekedar penghias undang undang yang tampak manis, kata "Suksesi" Amien Rais benar benar membuat bergidik. Awalnya dibicarakan dengan sedikit berbisik. Di ruang diskusi yang kecil, dengan ketakutan luar biasa bahwa sepulang diskusi pun nyawa bisa jadi taruhannya. Tapi bisikan itu pun semakin banyak. Kasak kusuk. Obrolan. Menggaung. Pertanyaan yang tadinya tampak tabu untuk dilontarkan pun terucap :

"Mengapa dia ( Soeharto) masih berada disana?"

Saat Amien Rais melakukannya, kritikan yang lugas dan tajam terhadap era kepemimpinan Presiden Soeharto sudah seharusnya berganti, tabu pun terdobrak. Amien Rais, membawa suara rakyat.  Dan semua pun bersuara. Bergerak bersama, sehingga akhirnya terjadi Reformasi. To Reform, tapuk kepemimpinan yang sesungguhnya dari tangan mereka yang terlalu lama duduk diposisi yang nyaman sehingga bahkan anak sekolah pun harus turut menghafal posisi mereka mereka ini , ke tangan yang sebenarnya :  rakyat Indonesia.

Nama Amien Rais pun melambung menjadi sebutan Guru Besar Reformasi. Tetap, maqomnya 'hanya' sebagai Guru saja. Membimbing dan setelahnya melepaskan para muridnya untuk tumbuh sesuai potensinya. Seharusnya, itulah yang terjadi.

Amien Rais pun turut bersaing didalam kancah kepemimpinan RI 1. Hasilnya? Ternyata memang rakyat Indonesia lagi lagi 'hanya' menganggapnya sebagai seorang Guru saja.  Pembimbing. Masih banyak yang enggan untuk merasa nyaman dengan dirinya.

Lima belas tahun kemudian. Popularitas Amien Rais semakin menurun.  Sontak perjalanan, dari seorang Guru Reformasi menjadi t ak jarang yang menjulukinya sebagai pengkhianat Reformasi.  Pengkhianat ?

Bagaimana secara proses, seorang Betara berubah menjadi Sengkuni? Apa yang terjadi selama ini? Kekecewaan akan reformasi yang semakin dipertanyakan nilainya, ataukah sekarang dia malah justru dipersalahkan?

"Iseh enak jamanku,Le?" jadi pemicu yang kuat untuk menertawakan kata Reformasi sendiri. Senyum sang Smiling General yang melambai seakan menjadi kenangan. Antara buruk dan baik.

Kini, Sang Guru Besar yang jadi Sengkuni sedang tampak mengasah pedangnya setiap bertemu seorang yang dianggap satria piningit bagi sebagian rakyat Indonesia. Joko Widodo namanya.  Sibuk menghadang, seakan siap merajamnya apabila bertemu di jalan. Buat saya pribadi, ini hanyalah pelajaran politik saja.

Bermain peran. Kali ini kebagian jatah antagonis.  Ya logis saja, peran apalagi yang bisa dimainkan saat peran Betara  Guru sukses diambil oleh Almarhum Gus Dur. Peran Betara Kala? Diambil secara keroyokan, oleh mereka yang mengambil untung sebesar besarnya dari kata Reformasi sendiri.  Seperti seluruhnya telah ditulis dalam Kitab Jitabsara ala politik saja.

Cercaan, hinaan dan tudingan tudingan miring terhadap Jokowi oleh Amien Rais sebetulnya sudah layak dan pantas menjadi pelajaran politik kita. Tidak ada kata kesempurnaan  didalam politik. Tidak pernah ada.

Flawless Figure itu tidak ada. Siap dan mampukah kita, dalam berdemokrasi dan turut terlibat dalam politik baik pasif maupun aktif untuk mengerti akan hal ini ?

Dalangnya mana? atau siapa, lebih tepatnya…

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Terbitkan Tulisan Setiap Hari

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Oleh MUCH. KHOIRI

Siang tadi, dalam bincang santai, seorang teman penulis prolifik, Eko Prasetyo, tiba-tiba menyatakan apresiasi terhadap saya karena saya selama bulan-bulan terakhir ini telah meng-upload tulisan setiap hari di kompasiana. Menurutnya, dia telah membuktikan klaimnya itu setelah mencermati tulisan-tulisan saya.

Saya tak menduga kalau dia secermat itu dalam mengikuti frekwensi unggahan tulisan saya di kompasiana. Setahu saya, dia juga sangat sibuk dengan proyek-proyek menulisnya yang cukup banyak—apalagi dia belum lama ini mengalami kecelakaan; jadi, saya kira dia tidak sempat membuka kompasiana. Ternyata, dugaan saya meleset. Dia tahu, saya mengunggah tulisan setiap hari.

Maka, terhadap apresiasi itu, saya sampaikan, bahwa itu program "pribadi" saya sebagai penulis—setelah saya terbiasa menulis setiap hari. Pemikiran saya sederhana, saya harus membiasakan menulis setiap hari, dan karena itu harus menyalurkan tulisan saya ke media yang tepat—juga setiap hari.  Terus terang, selain sebagai dosen, saya sudah menegaskan niat untuk menjadi penulis profesional juga.

Dengan kata lain, program penting bagi penulis profesional yang layak dicanangkan, untuk mengimbangi program menulis setiap hari, adalah menerbitkan tulisan setiap hari. Menerbitkan tulisan ibarat memasarkan produk yang telah dihasilkan oleh penulis profesional. Jika tulisan diproduksi setiap hari, namun tidak diterbitkan, apalah gunanya. Bukankah itu suatu bentuk kemubaziran?

Terus terang, menerbitkan tulisan setiap hari sudah cukup lama saya praktikkan dalam proses kreatif saya selama ini. Jika belakangan ini saya banyak menerbitkan tulisan di kompasiana, itu hanya masalah titik berat dan pilihan saja. Saya telah menulis tentang hal ini di kompasiana dengan judul "Kompasianaku, Rumah Kreatifku"( http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/16/kompasianaku-rumah-kreatifku-592166.html).  Jadi, sebelum itu, saya juga sudah menerbitkan tulisan di media lain setiap hari.

Sebelum aktif menerbitkan tulisan di kompasiana, saya menulis untuk  blog pribadi, grup-grup menulis saya (Gerakan Guru Menulis Buku, Komunitas Mahasiswa Menulis, dll.), tiga buah website, tiga buah mailing-list, dan media cetak (harian, tabloid). Sebagai tambahan, sekali tempo, saya juga memenuhi undangan untuk menulis artikel bagi penerbitan buku antologi, majalah kampus, dan majalah profesi.

Dengan demikian, kata "menerbitkan" di sini tidak perlu hanya dikonotasikan ke penerbitan cetak (koran, tabloid, buku, majalah kampus, majalah profesi). Sebaliknya, ia perlu dimaknai lebih luas, bukan hanya penerbitan cetak, melainkan juga penerbitan non-cetak (media sosial), termasuk blog pribadi, kompasiana, grup-grup menulis saya (Gerakan Guru Menulis Buku, Komunitas Mahasiswa Menulis, dll.), tiga buah website, dan tiga buah mailing-list.

Kebetulan saya sudah menegaskan, bahwa menerbitkan di media cetak dan di media noncetak tak terlalu berbeda. Jika media cetak memungkinkan ada honor menulis, di media non-cetak saya memang tidak menerima honor menulis sekarang—namun suatu saat, setelah tulisan saya bukukan, saya barulah memetik hasilnya. Kalau bicara masalah uang, perbedaan keduanya hanya masalah waktu saja.

Agar semua ini berjalan, saya selalu berusaha menulis berdasarkan kluster-kluster tema tulisan, dan saya menulis dengan standar tulisan yang cukup layak untuk bahan buku. Saya bisa menawarkan tulisan ke media cetak terlebih dahulu; jika tidak layak muat di sana, saya unggah di salah satu media sosial yang saya sebutkan di atas—yang belakangan ini terbanyak di kompasiana. Yang terbanyak, saya menulis bukan untuk konsumsi media cetak.

Dengan pendekatan ini, saya tidak stress jika tulisan tidak dimuat di media cetak; toh masih bisa saya unggah di media non-cetak—yang suatu saat bisa saya bukukan. Jadi, saya menulis dengan serius, dan tidak main-main. Rugilah saya jika saya menulis dengan main-main. Jika hal ini saya tempuh, saya tidak akan bisa mengoleksinya sebagai bahan buku-buku saya. Anggaplah, dengan menulis karya berkualitas, saya sedang berinvestasi dalam bentuk bahan buku. Saya yakin, suatu saat akan memanen hasil investasi itu.

Sekarang, bagaimana saya bisa menerbitkan tulisan setiap hari? Ya, karena saya telah mewajibkan diri untuk menulis setiap hari. Setiap hari saya wajib menghasilkan satu atau dua tulisan layak terbit. Jika tidak bisa menulis hari ini, besok saya harus membayar utang tulisan ini. Jika saya punya waktu cukup longgar, saya menulis dua atau tiga tulisan untuk cadangan saya jika saya esoknya atau lusanya saya kepepet waktu. Singkatnya, setiap hari harus tersedia satu tulisan.

Sementara itu, untuk menunjang program saya menulis setiap hari, saya telah sejak tahun lalu mendidik diri untuk menulis cepat (speed writing). Setiap hari saya wajib menyediakan waktu sekitar 60 menit untuk menulis satu buah artikel layak terbit (sekitar 5000 karakter). Jika sedang beruntung, saya bisa menulis dua tulisan dalam wakt 90 menit. Dengan strategi ini, saya yakin tidak akan kekurangan stok tulisan untuk diterbitkan.

Sejauh itu, saya berbagi di sini, agar tulisan ini mungkin bisa menginspirasi calon penulis atau penulis yang belum mempraktikkan kebiasaan di atas. Dengan berbagi tulisan, kita memberi dan menerima. Lebih dari itu, saya mengajak para penulis untuk menegaskan diri sebagai pejuang pembudayaan literasi di berbagai pelosok negeri ini.***

Copyrights@Much.Khoiri
Surabaya, 27/9/2013

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Balada Gadis Penyapu Jalan

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Media Massa dan Penggunaan Bahasa

Posted: 26 Sep 2013 11:32 AM PDT

Menjamurnya media massa baik media cetak maupun media elektronik di Aceh saat ini telah menjadi  hitam di antara putih penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang diatur dalam Undang-Undang 24 Tahun  2009. Meskipun keterbukaan informasi dan pers adalah pilar ketiga bangsa Indonesia dan diharakapkan oleh semua pihak, tetapi hal ini justru merusak kaidah bahasa Indonesia, serta berdampak negatif  terhadap  kalangan akademisi. Seakan tak peduli kaidah bahasa, para jurnalis tersebut terus menyajikan berita yang kadang kala penulisannya tidak benar sama sekali.

Penggunaan bahasa indonesia sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (a) bahasa negara (b) bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, (c) bahasa resmi perhubungan  pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan, (d) bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi moden (Halim, 1976 : 145).

Keteraturan berbahasa adalah cerminan pribadi yang teratur. Begitulah kata-kata bijak yang acap diucapkan para linguis. Perlu dicermati bahwa kesalahan penulisan bahasa Indonesia dalam media massa di Aceh ini berujung pada empat hal kesalahan. Pertama, salah diksi. Kata salah ini sendiri diantonimkan dengan 'betul' yang pada prinsipnya apa yang dilakukannya itu tidak betul, serta tidak menurut norma dan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi kemungkinan penulis tersebut khilaf. Jika kesalahan ini dikaitkan dengan penggunaan kata, maka penulis tersebut pastinya belum tahu kata yang tepat untuk dipakai.

Kedua, penyimpangan yang dapat diartikan penyimpangan dari norma yang ditetapkan. Wartawan terkadang dalam menulis berita mengabaikan, enggan serta tidak mau menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana semestinya. Dan sebenarnya wartawan ini telah mengetahui norma yang sebenarnya, tetapi dia memakai norma lain yang dianggap lebih sesuai dengan konsepnya atau dalam istilah bahasa Aceh meukire, artinya mencomot yang orang lain pernah tulis. Hal ini sendiri cenderung ke pembentukan kata, istilah, slang, jargon dan prokem.

Ketiga, pelanggaran. Hal ini memang cenderung bersifat negatif. Umumnya si wartawan dengan penuh kesadaran tidak mau mengikuti norma yang telah ditentukan, sekalipun ia mengetahui bahwa yang telah ia lakukan berakibat tidak baik. Terkadang dalam penulisan berita sering kali berujung pada ketidakmampuan pembaca menangkap pesan yang dituliskan oleh wartawan. Dengan kata lain dikatakan, wartawan atau penulis tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat.

Keempat, kekhilafan yang  merupakan proses psikologis wartawan dalam menuliskan berita,  hal ini menandai seorang khilaf menerapkan teori atau norma yang memang benar-benar diketahuinya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurang telitinya saat menulis pat ranup hana mirah, pat peunerah hana bajoe. Kesalahan ini sendiri di luar dari keinginan si wartawan ataupun redaktur yang betugas. Biasanya redaktur  telah mempercayakan penuh akan kemampuan wartawan tersebut dalam menulis berita, sehingga tidak perlu dikoreksi lagi.

Ke depan diharapkan kepada pengelola media massa tersebut tidak sembarang mempublikasikan berita tetapi harus jeli mengoreksi penulisan bahasanya kembali dengan mengutamakan kaidah bahasa Indonesia. Disamping itu, pembekalan tetang pengetahuan bahasa kepada jurnalis sangat perlu dilakukan. Hal itu mengingat selama ini selain adanya fenomena interferensi bahasa daerah ke bahasa Indonesia juga masih banyaknya ditemukan kesalahan baik leksikal maupun gramatikal.

Melirik media-media ternama, mereka memiliki redaktur bahasa yang tugasnya mengoreksi kesalahan dalam penulisan tersebut. Barangkali ada baiknya para pengelola atau pemilik media juga memiliki redaktur bahasa. Kondisi di Aceh hal itu dapat dilakukan misalnya dengan "memanfaatkan" keberadaan para sarjana basahasa yang menurut hemat penulis mereka pasti bersedia membantu pekerjaan tersebut. Tentu saja para sarjana yang berkompeten, khususnya di bidang bahasa. Profesi sebagai jurnalis adalah pekerjaan yang mulia karena memberikan informasi kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, gunakanlah bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Jika menggunakan bahasa Indonesia, gunakan secara baik dan benar.(*)

Oleh Rahmad Nuthihar

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Rabu, 25 September 2013 0 komentar

Kompasiana


BERBAGI, MENGUBAH HIDUPKU…

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

(Sebuah Renungan-Motivasi-Inspiratif)

Oleh : Engga Setiawan, S.Si.

Terlahir dari anak seorang guru, ini juga berpengaruh dalam kehidupanku. Ayahku adalah seorang guru yang berasal dari keluarga petani dikampung (bahasa kami "dusun"), kampung kami di lebak celikah kayu agung OKI sumsel . Beliau telah banyak memberi ilmu, nasehat dan yang terpenting adalah teladan yang sangat berguna bagiku. Kehidupan ayah dulu sungguh jauh berbeda dengan kami, namun perjuangan ayah untuk menjadi seorang sarjana, banyak rintangan yang dihadapi. Dulu ayah berangkat sekolah jalan kaki, ada sepatu tapi belum dipakai karena harus melalui sawah-sawah, kebun, dan jalan-jalan berlumpur. Saat kami mudik ke kampung, ayah selalu bercerita kehidupannya dulu saat sekolah, membantu kakek (kami panggil "yai") baik di sawah kebun maupun berjualan.

Keadaan ekonomi yang sangat terbatas, bukan penghalang bagi ayah untuk terus melanjutkan studi ke perguruan tinggi, apalagi saat itu dikampung anggapan orang-orang "untuk ape sarjana ngabisi duit be, gek masih nganggur jugek" (artinya: untuk apa menjadi sarjana Cuma menghabuskan uang saja, nanti jadi pengangguran juga). Apapun anggapan orang Ayah tetap berangkat ke Palembang untuk kuliah di IAIN Reden Fatah, syukur di Palembang ada keluarga yaitu kak Hasan, jadi saat kuliah Ayah numpang tinggal disana dan juga ikut kerja dengannya di bengkel di cinde, sehingga biaya kuliah bisa terbantu dari upah kerja Ayah. Tantu saja ayah tidak lupa untuk berbagi, bersedekah, baik ke orang miskin atau ke masjid. Ayahku adalah pekerja keras, apapun yang bisa menghasilkan asalkan halal akan ia kerjakan. Jual buah-buahan dan lain-lain. Akhirnya ia bisa selesai dan menjadi sarjana muda dengan gelar BA.

Cerita di atas merupakan bagian kisah hidup Ayahku, tentu ada kisah lainnya. Kini beralih kisah padaku. Kisah diatas memberi semangat hidupku untuk menjadi lebih hebat lagi. Membaca, mendengar berbagai kisah tentang semangat, sedekah, membuatku untuk melakukan hal yang sama. Berbagai kisah yang saya baca dibuku "setengah isi setengah kosong" karya Parlindungan Marpaung, banyak menggugah hatiku. Salah satunya berjudul "Berbagi", begini kisahnya :

Sepasang suami istri yang berusia lanjut, suatu kali mengunjungi kantor pusat untuk bernostalgia tentang suka duka ketika mereka masih aktif bekerja dahulu. Kesempatan bernostalgia ini rupanya dimanfaatkan mereka untuk menikmati sop buntut yang tersohor dikantin, dalam kantor pusat tersebut. Kebetulan , ketika itu jam makan siang sehingga banyak pegawai yang saantap siang disana.

Suami istri ini lalu masuk antrean untuk memesaan sop buntut. Mereka memesan satu porsi sop buntut beserta nasinya, dan dua gelas es the manis sertasebuah piring kosong dan mangkuk. Semua yang melihat mereka heran. Sepasang suami istri ini hanya memesan satu porsi. Bahkan, beberapa pegawai lain iba melihat betapa menderitanyanasib pensiunan ini sehingga untuk makan siang dikantin saja hanya memesan satu porsi. Sang suami lalu membagi nasi menjadi dua bagian, demikian pula sop buntutnya. Saatu bagian untuk dirinya dan bagian lain diserahkan pada istrinya. Mulailah mereka makan. Namun, yang makan adalah suami dulu, sementara saang istri dengan tersenyum menunggu dan menatap kekasihnya makan.

Seorang pegawai tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan menuju meja mereka. Dengan rasa ib, pegawai ini menawarkan kepada pasangan suami istri inisatu porsi lagi sop buntut gratis, ia yang mentraktir. Dia merasa tidak tahan melihat sepasang suami istri ini, sementara ia sendiri hidup berkecukupan. Namun tawaran pegawai ini ditolak secara halus sambil tersenyum oleh pasangan ini dengan menggunakan bahasa isyarat.

Sang suami pun kembali melanjutkan santap siangnya, sementara sang istri hanya menatap sambil tersenyum hingga sop buntut bagiannya menjadi dingin. Setelah beberapa lama, kembali si pegawai yang berkecukupan gelisah melihat tingkah pasangan ini. Sang istri ternyata tidak makan, hanya menunggu sang suami makan. Betapa cintanya sang istri kepada suami hingga rela berkorban menunggu sang suami selesai makan.

Kembali, pegawai tadi dengan rasa penasaran mendatangi sang ibu dan bertanya, "Ibu, saya melihat Ibu hanya menunggu bapak makan. Kalau boleh tahu, apakah yang ibu tunggu?" Dengan tersenyum sang ibu menjawab, "Yang saya tunggu adalah gigi, sementara ini masih dipakai Bapak!"

Sebagai manusia sosial tentu kita tidak bisa melakukan semua sendirian, kita butuh keluarga, teman, sahabat, rekan kerja. Begitupun sebaliknya, terkadang teman butuh bantuan kita saat kita juga sangat butuh. Berbagi atau sedekah merupakan perrbuatan yang mulia, jika kita ikhlas dan tidak ada kepentingan di dalamnya.

Berbicara menunjukkan bahwa kita berbagi, sementara mendengarkan menunjukkan kita peduli-demikian sang motivator pernah bertutur. Hal ini sekaligus memberikan gambaran bahwa berbagi tidak dapat dilepaskan dari peduli. Beberapa ahli mengatakan peduli mengawali langkah dalam berbagi.

Setelah aku lulus dari MAN Sakatiga, aku bekerja dulu, di bengkel kak Hasan tempat Ayah dulu bekerja. sambil bekerja, sorenya mengikuti bimbel khusus alumni, sebagai persiapan agar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Hasil dari kerja sebagian ditabung, dikasih juga ke istri kak Hasan, karena aku juga numpang tinggal disana, sebagian disedekahkan, sebagain dibelikan oleh-oleh untuk adik-adik dan Ibu kalau balik ke rumah di Indralaya. Ayahlah yang mengajarkan untuk berbagi agar pertolongan dan rizki selalu datang. Keyakinan ini terus tertanam dalam hatiku. Tahun berikutnya aku menjadi mahasiswa di FMIPA Matematika UNSRI, setelah lulus aku diajak guruku yang masih mengajar di MAN Sakatiga, untuk mengajar disana , sekolahku dulu.

Menjadi Honorer selama 4 tahun memberi pengalaman berharga dalam hidupku, tentang berbagi ilmu, bertahan karena sudah ada dalam database atau mencari kerja lain agar dapat peluang lain, tentu saja ini menjadi pemikiranku, tentang rizki, tentang masa depan. Akhirnya pada tahun ke-4 menjadi Honor, dengan keyakinanku dan membaca berbagai kisah, dari honor 300 ribu perbulan, ku sedekahkan 100 ribu perbulan selama satu tahun lebih, awalnya berat tapi inilah kesungguahan yang ingin ku buktikan. Tahun 2009 aku coba tes cpns di berbagai daerah dengan modal ongkos, ikut di Bengkulu, Palembang, Bangka. Alhamdulillah aku bisa lulus di Bengkulu dan Bangka, aku pilih di Bengkulu karena pengumuman dan pemberkasan sudah selesai disana.

Sesungguhnya sedekah atau shadaqah memiliki keistimewaan dan kelebihan. Dan ini haruslah menjadi motifasi/pendorong seorang muslim menjadi lebih dermawan. Sehingga jika orang kaya berbagi kepada saudara muslimnya yang kurang mampu, ia telah meringankan beban orang lain dan mempermudah urusannya. Dan Allah senantiasa menolong hamba, selama dia gemar menolong sesamanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

"Siapa yang menghilangkan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat. . .  dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya." (HR. Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan keutamaan memenuhi kebutuhan kaum muslimin, memberi kemanfaatan bagi mereka dengan ilmu, harta, bantuan, nasihat, arahan kepada yang lebih bermanfaat bagi mereka, dan yang lainnya.

Kalau harimau sedang mengaum
Bunyinya sangat berirama
Kalau ada ulangan umum
Marilah kita belajar bersama

Jika kita makan ubi
Jangan lupa duduk beralas
Jika kita berhutang budi
Jangan lupa untuk membalas

Kalau lah sempat mandi di sawah.
Mandi di sumur bajunya basah.
Hari Jumat penuh dengan berkah.
Banyaklah bersyukur juga sedekah

Semoga tulisan ini bermanfaat. Terima kasih

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Lelaki di Ujung Jalan

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

Lawatan Exsara Keliling Semarang: Markas Sarekat Islam Semarang Memprihatinkan

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

Rahman, mahasiswa sejarah yang mengikuti program pertukaran mahasiswa dari Universitas Negeri Gorontalo ini, sangat antusias dalam mengikuti acara kali ini. Pesan dan kesan yang ia sampaikan dalam acara puncak di tugu muda yakni "saya sangat senang dan antausias sebelum mengikuti acara ini, dan terbukti saya sangat puas sesudah mengelilingi kota semarang dengan ketempat-tempat bersejarah bersma Exsara". Lontaran senada juga di sampaikan oleh M. Yusuf, selaku mahasiswa baru "acara ini sangat berguna bagi anak-anak sejarah yang bukan hanya belajar di dalam kelas saja, melainkan bisa langsung mengunjungi tempat-tempat bersejarah".

Memperihatinkan

Saat rombongan Exsara menyambangi tempat bersejarah lainnya, yakni sebuah gedung yang kondisinya bisa dibilang sangat memprihatinkan. Dinding temboknya sudah miring, termasuk juga tiang-tiang kayunya. Atapnya jebol, gentingnya banyak yang rontok. Kusam, muram, dan merana. Itulah gedung bekas markas Sarekat Islam yang berada di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, Semarang.  Padahal gedung itu sebenarnya mampu bercerita banyak soal sejarah. Gedung itu dulu didirikan oleh Semaun, pemimpin organisasi politik pertama di Indonesia, Sarekat Islam, pada 1919 oleh bantuan dari berbagai pihak, mulai dari tanah, batu bata, genteng, kayu, pasir dln.

Di gedung itu pula Tan Malaka, seorang tokoh nasionalis berhaluan sosialis, memberikan pelajaran politik kepada puluhan muridnya. Bukti bahwa gedung itu didirikan oleh Sarekat Islam masih terlihat ada tulisan S.I. berupa susunan tegel di lantai gedung tersebut. Tan Malaka adalah salah satu pahlawan nasional RI kelahiran Suliki, Sumatera Barat. Ia pernah berada di Semarang pada 1921. Ia mendirikan Sekolah Sarekat Islam ketika Sarekat Islam dipimpin oleh Semaun di Semarang. Tan Malaka ikut memimpin pemogokan umum di Semarang, dan atas tindakannya itu pemerintah kolonial Belanda mengganjar Tan Malaka dengan membuangnya ke Kupang.

Tan Malaka mengajar para muridnya di gedung itu yang dulu dikenal sebagai Gedung Rakyat Indonesia. Bentuk bangunannya terlihat memang sederhana. Tiang utama berupa kayu jati utuh gelondongan yang terbilang berukuran kecil untuk kala itu. Usuk dan reng penyangga genting pun termasuk kecil. Maklum saja, anggaran yang terkumpul juga tidak terlalu banyak untuk membangun sebuah gedung yang merupakan swadaya dari berbagai anggota SI kala itu.

Sayangnya dalam gedung yang dulunya juga sempat digunakan oleh PMI, PNI(Pendidikan Nasional Indonesia), dan organisasi-organisasi lainnya tersebut tidak ditemukannya sumber atau bukti-bukti tertulis. Keadaan ini dikarenakan menurut penuturan Pak Agus, Pengurus Yayasan Bani Muslimin "saat pasca gerakan G30/S, warga yang diprovokasi oleh pihak militer membakar seluruh dokumen-dokumen yang ada didalam gedung, dan bahkan gedung juga akan dibakar. Untungnya bapak saya meredakan emosi warga dan akhirnya tak jadi membakar gedung" tuturnya lebih lanjut " tindakan ini dikarenakan bahwa dulunya gedung ini adalah bekas dari markas Sarekat Islam Semarang yang terkenal dengan ideologi kiri". Kemudian ia menambahkan " bahwa setelah tidak adanya kepengurusan terhadap gedung tersebut, muncul inisiatif dari Yayasan Bani Muslimin untuk menjadikannya sebagai tempat peribadatan dan organisasi dari tahun 1980 sampai 2008" dan itu terbukti banyak ditemukannya alat-alat serupa yang ada dimasjid, seperti kubah masjid, mimbar dln. "Bahkan rencananya gedung tersebut akan di bongkar dan buat suatu bangunan baru bertingkat tiga untuk puskesmas dan di beri nama gedung SI. Ini sangat tidak etis, seharusnya bentuk banguan tersebut harus tetap dipertahankan tetapi bagian-bagian yang memang sudah rusak harus segera diperbaiki hingga bisa dijadikan alihfungsi yang memang itu masih memungkinkan tanpa menghilangkan unsur sejarahnya" tutur Pak Agus mengakhiri.

Pelajaran

Perjalanan yang ditutup di taman Tugu Muda ini, banyak perlajaran yang selayaknya dapat dipetik. Melihat kontrasnya keadaan bangunan bersejarah di Semarang. Melihat megahnya bagunan Klenteng Sam Po Kong;Museum Ranggawarsito serta Lawang Sewu, sebagai mahasiswa sejarah, para anggota Exsara merasa miris jika keadaan itu di bandingkan dengan kondisi gedung eks Sarekat Islam. Tampak 180 derajat terlihat berbeda dari perhatian pemerintah, serta masyarakat sekitarnya. Nampak juga apa yang dilakukan pemerintah terlihat hanya sebagai pencitraan semata, mengingat letak dari bangunan-bangunan bersejarah yang megah tersebut terletak disuatu tempat yang strategis. Sejatinya sejarah tak membeda-bedakan mana letak bangunan yang strategis ataupun tidak, bahkan selayaknya tidak diperkenankan untuk urusan komersil maupun pencitraan suatu kelompok tertentu. Sejarah adalah jujur dan tak memihak. Maka dari itu, diharapkan pemerintah ada suatu tindakan untuk  tetap memelihara bangunan-bangunan bersejarah bagaimanapun latar belakang dari bangunan itu. Karna sejatinya Cicero pernah mengatakan bahwa "sejarah adalah guru kehidupan". (Exsan)

Simbolisasi Karakter dalam sebuah Lagu POP Jawa

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

Ini lagu entah apa judulnya. Hanya serpihan ingatan masa kecil menjelang tahun 90-an. Berkumandang dari tape recorder, hasil putaran gulungan pita kaset. Suara wanita, kalau tak salah namanya Evy Soenarko. Dalam kaset itu Mbak Evy menyanyikan beberapa lagu, lagu-lagu yang lainnya dinyanyikan kakak beradik Mus Mulyadi - Mus Mujiono. Mungkin judulnya kembang manggis atau kembang pelem, sementara anggap saja begitu. Di tiap bait akan langsung saya terjemahkan ke dalam bahasa Indoesia.

Ini lirik lagunya:

Kembang pelem pasemone wong atine tentrem

Klecam-klecem ora pati sugih gunem

Diece mung ngguya-ngguyu wae ..    ee

Dialem ora mongkog atine

Arti: Bunga mangga simbolisasi orang yang hatinya bahagia

Kalem bersahaja tidak terlalu banyak bicara

Diejek cuma tertawa saja   aa

Dipuja tidak merasa bangga

1380131304891288294

Bunga mangga. (© flickriver.com)

Kembang manggis pasemone wong atine lamis

Yen wicara, wicarane mesthi manis

Yen seneng, ngaleme ora uwis-uwis,             [yo ra?]

Yen gela, adate ngengis-engis

Arti: Bunga manggis simbolisasi orang yang berhati sinis

Kalau bicara, kata-katanya manis-manis

Kalau sedang suka, memujinya tak habis-habis    [ya, nggak?]

Kalau kecewa, biasanya menghujat dengan bengis

Kembang jambu pasemone uwong gampang nesu

Yen wis nesu lali mangan lali turu

Yen gela awake dadi kuru,                  [ yo ra?]

Anehe, rumangsane ra kleru..

Arti: Bunga jambu simbolisasi orang pemarah terbawa nafsu

Kalau sudah terbawa nafsu, lupa makan lupa beradu..

Kalau kecewa badannya jadi kurus,                 [ya nggak?]

Anehnya, dia rasa itu tak keliru..

**

Nah, bunga atau kembang apa yang mewakili karakter Anda? Semoga saja bunga mangga alias kembang pelem, bukan kembang manggis ataupun kembang jambu.

****

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Sajak pendek tentang Kabut dan mengenang akan Cinta

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

ternyata pemain u19 dari ipl

Posted: 25 Sep 2013 11:11 AM PDT

REP | 26 September 2013 | 00:48 Dibaca: 41   Komentar: 1   1

kebakaran jenggot si joko driyono

ternyata kebnyakan pemain u19 dari lpi….mana isl ….katanya liga jeger liga laki…pemainya ngelokro

mari kita ganti si joko driyono ho0exxxxxx bner orang ini……

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Siapa yang menilai tulisan ini?

-

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Selasa, 24 September 2013 0 komentar

Kompasiana


Masyarakat Biang Kerok Kecelakaan?

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

Masalah digiring ke Hilir
http://rsa.or.id/masalah-digiring-ke-hilir/
—–

Saat ini, masalah kecelakaan lalu lintas jalan marak diberitakan dan dieskpos media massa. Entah karena banyaknya figur publik yang terlibat, atau kepedulian masyarakat yang kian menguat. Apapun itu, sebagai pengguna jalan kita harus mensyukuri fenomena ini.

Sebanyak 80-an jiwa melayang per hari akibat kecelakaan di jalan. Tentu itu adalah sebuah angka yang tinggi jika dibandingkan dengan faktor penyebab kematian nonpenyakit lainnya. Ironisnya, kecelakaan punya efek berantai di dalam kehidupan manusia.

Tahun 2012, lebih dari 60% kendaraan yang terlibat kecelakaan adalah sepeda motor. Masuk akal karena populasi roda dua cukup tinggi. Tahun itu, jumlah sepeda motor yang tercatat Kepolisian RI sekitar 77,7 juta unit. Sedangkan roda empat atau lebih sekitar 15 juta unit.

Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2011, pemicu kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia terdiri atas faktor manusia (53,20%), faktor jalan (28,17%), faktor kendaraan (14,05%), dan faktor alam (4,58%). Artinya, faktor manusia masih menjadi pemicu utama.

Faktor manusia didominasi dua aspek, yakni kelengahan dan berkendara tidak tertib. Tak pelak muncul jargon dari kepolisian, yakni kecelakaan kerap kali diawali pelanggaran aturan lalu lintas.

Ada hal yang menggelitik saya, hal ini juga menjadi topik bahasan harian para penggiat LSM keselamatan jalan satu-satunya di Indonesia, Road Safety Association (RSA). Publik terlena dengan data dan jargon yang dibangun. Publik juga dijejali dengan berbagai macam kampanye keselamatan jalan, hampir sangat mudah kita lihat imbauan keselamatan berkendara di jalan-jalan protokol. Bahkan, siswa-siswi sekolah dengan mudah mendapatkan informasi data kecelakaan berikut tips keamanan saat berkendara.

Hal yang menjadi fokus saya di tengah gencarnya pemberitaan dan kampanye yang dilakukan pemerintah adalah, penempatan masyarakat sebagai biang kerok kecelakaan. Karena itu, masyarakat diminta harus terampil, harus tertib, dan harus beretika di jalan. Masyarakat jadi kambing hitam, mereka pun kebingungan. Hal itu berujung pada keputus-asaan, pengguna jalan jadi "minder" melihat tudingan-tudingan yang dilancarkan pemerintah itu.

Seakan-akan pemerintah sudah sempurna dengan segala usahanya.

Sadarkah pemerintah bahwa mereka belum konsisten dalam mensinergikan masing-masing para pemangku kepentingan keselamatan jalan? Mestinya kementerian perhubungan bisa lebih sinergi dengan kepolisian. Lalu, kementerian kesehatan juga bersinergi dengan yang lain. Bahkan, amat elok jika semua dana dari instansi yang ada dapat menjadi satu kesatuan untuk memudahkan tercapai tujuannya.

Lantas, bagaimana penegakan hukum sebagai faktor keberhasilan implementasi peraturan? Lalu bagaimana wewenang penindakan kepada angkutan umum, siapa yang bisa bertindak? Lalu bagaimana sinergi dalam tingkat provinsi bila Polisi dan Perhubungan tidak mempunyai alur komando yang sama?

Ya, kita terlena dengan pemberitaan bahwa kesalahan ada di pengguna jalan, kampanye seakan melegitimasi bahwa Pemerintah sudah sempurna melakukan hal yang benar? Mana kampanye tentang usaha Pemerintah dalam saling koordinasi dan bersinergi?

Memang betul, masalah kecelakaan lalu lintas ini adalah tanggung jawab kita bersama, hanya saja, saya juga mau melihat perimbangannya. Pemerintah dengan pembenahannya dan masyarakat dengan kesadarannya. Aamiin.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Dibawah Hujan

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

DUA PERTANYAAN UNTUK GUBERNUR KALTIM 2013-1018

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

Visi dan Misi Gubernur dan Wakil Gubernur kaltim 2013-108, Awang Faroek Ishak dan Mukmin Faisyal (AFI & MF), itu berbunyi "Mewujudkan Kaltim sejahtera yang Merata dan Berkeadilan Berbasis Agroindustri dan Energi Ramah Lingkungan".

Tulisan ini mencoba fokus pada basis agroindustri dan energi ramah lingkungan karena penulis menekuni dua bidang itu selama lima tahun terakhir ini. Sebagai konsultan agribisnis, dan sebagai praktisi untuk bidang energi terbarukan. Agribisnis bermakna sama dengan agroindustri.

Dua pertanyaan yang sempat penulis susun ketika mencermati visi tersebut. Apa indikator bahwa Kaltim sedang memasuki tahapan sebagai daerah berbasis agroindustri? Lalu, apa indikator bahwa Kaltim telah mencapai atau sedang memasuki tahapan basis energi ramah lingkungan?

Tahapan agribisnis

Jika berpijak pada kerangka pikir agribisnis, ada lima subsistem yang saling terkait dan saling mendukung bahwa suatu sistem total agribisnis telah berjalan dengan baik. Kelima subsistem itu harus diawali pengadaan dan distribusi input pertanian; kegiatan produksi primer; pengolahan hasil pertanian; pemasaran hasil pertanian; serta subsistem layanan pendukung.

Semua subsistem itu harus mampu melibatkan peran lembaga pendidikan dan penelitian , petani-nelayan-peternak, pengusaha, pemerintah dan anggota DPRD selaku pengendali regulasi yang seharus mendorong pada percepatan realisasi Kaltim sebagai basis agri industri.

Bagi Kaltim, boleh jadi tahapan agribisnis ini sudah tercapai untuk komoditi kelapa sawit. Bahkan telah dipersiapkan lokasi di KEK Maloy untuk industri oleokimia sehingga ekspor bukan lagi CPO tetapi akan berubah menjadi minyak goreng, sabun, dan margarin. Namun, untuk komoditi lain, jajaran tim kerja di pemerintahan AFI dan MF harus masih ekstra kerja cerdas untuk  mewujudkan visi tersebut. Kerja cerdas itu harus kerja sama, kerja keras, dan kerja cermat.

Pemerintah Kaltim perlu memfokuskan diri pada komoditi-komoditi pertanian lain yang tercakup dalam tanam pangan, perkebunan, perikanan sungai dan laut, peternakan, serta kehutanan. Kelima kelompok komoditi itu masih menunjukkan bahwa Kaltim masih berposisi sebagai penyedia bahan baku saja, dan belum mampu mengubahnya menjadi produk jadi atau setengah jadi. Bahkan untuk komoditi bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan hortikultura, daerah ini masih dalam posisi minus.

Tanpa skala prioritas untuk pemilihan komoditi, maka terlalu berat bagi Pemerintahan AFI dan MF untuk merealisasikan visi dan misinya. Apalagi jika hanya bertumpu pada APBD yang sudah banyak tersedot untuk operasional pemerintah sendiri, dan hanya menyisakan sedikit untuk anggaran pembangunan. Lagi-lagi apakah pertanian harus bersabar menunggu penambahan dana di APBD?

Penulis menyarankan kepada Gubernur Kaltim untuk lima tahun kedepan untuk membuat skala prioritas komoditi pertanian, bekerja sama dengan kabupaten dan kota untuk penentuan sentra produksi dan pengolahan komoditi, dukungan anggaran yang jelas dan cukup untuk sentra tersebut. Dukungan kebijakan daerah yang transparan dan jelas biaya dan waktunya jika berminat mengundang investor. Bahkan harus mampu bekerjasama dengan DPRD Provinsi untuk merancang Peraturan Daerah tentang Pengembangan Agroindustri Daerah sebagai sinkronisasi seluruh aturan nasional dan daerah sebagai landasan hukumnya.

Tahapan Energi Ramah Lingkungan?

Untuk membangun Kaltim sebagai daerah yang berbasis pada energi ramah lingkungan memerlukan pembahasan dari pihak pemerintah, DPRD, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan tak kalah pentingnya adalah mengajak peran swasta dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menjadi motor penggerak kendati memerlukan persyaratan bisnis didalamnya.

Berdasarkan kajian pustaka, ada tujuh bagian penting jika suatu daerah diplotkan sebagai basis energi apalagi harus ramah lingkungan. Ketujuh bagian itu adalah (1) Ketersediaan bahan baku energi; (2) pemahaman yang baik tentang konversi energi, (3) adaptasi dan kemampuan untuk memilih teknologi pembangkit energi, (4) Kondisi Lokasi dari sisi sosial dan lingkungan yang bakal menjadi sentra produksi energi. Karena sentra itu ingin mendapatkan manfaat sosial dan lingkungan dan bukan sebaliknya yaitu kehancuran lingkungan; (5) Strategi Manajemen, siapa dan berperan apa?, kebutuhan regulasi apa? ; (6) Identifikasi Kebutuhan Energi untuk sendiri dan langkah optimis untuk menjadi eksportir energi ke daerah lain dengan tidak mengandalkan minyak, gas dan batubara; dan (7) keuangan atau strategi dan langkah pembiayaannya.

Ketujuh bagian itu perlu dirinci lagi dalam bantuk kertas kerja atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk kalangan pemerintah dan harus selaras dan menjadi panduan penting bagi swasta untuk menyusun Rencana Bisnisnya.

Strategi pemikiran AFI-MF akan lebih bermakna lagi jika Jajaran Pemda Kaltim  mampu mengkombinasikan paradigma agroindustri dengan paradigma energi untuk mendukung Kaltim menjadi basis energi terbarukan.

Penulis hanya mengantarkan opini ini sebagai bahan diskusi kepada Pemerintah dan masyarakat Kaltim. Dua pertanyaan itu jadi awal kontribusi penulis untuk ikut membantu penataan KALTIM sebagai Basis Agroindustri dan Energi Ramah Lingkungan.   Mimpi indah?

Sangatta, September 2013.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Praktek Kapitalisme Di Papua

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

Alam yang melimpah di negeri Papua selalu menjadi target negara-negara lain yang mau memonopoli kekayaan alam di Bumi Cendrawasih. Sebagai salah satu lungs dunia, alam Papua memang harus dilestarikan, bermula dari kemerdekaan negara Indonesia, Papua sudah terlihat menjadi rebutan antara Indonesia dengan negara lain. Kekayaan alam memang menjadi target banyak negara yang ingin mengeksploitasi demi kemajuan bangsanya atau kelompoknya.

Pemanfaatan propertie Papua seharusnya dilakukan tanpa cara eksploitasi yang tidak baik. Penerapan mega proyek tambang yang dapat merusak alam juga harus dipikirkan lebih lanjut. mega proyek tambang yang terdapat di Papua yaitu PT Freeport. Hasil dari proyek tambang tersebut sebagian besar dibawa oleh PT Freeport dan hanya sebagian kecil saja diberikan ke pemerintah. "Sungguh membuat hati tak sahdu", sangat tidak rasional apabila Papua dieksploitasi secara besar-besaran kekayaan alamnya nantinya yang menikmati hasilnya adalah negara barat-barat yang mana masih menganut pemahaman kapitalisme.

Masyarakat Papua menjadi korban dari kapitalisme yang terus-menerus menggerus kekayaan tanah kelahirannya untuk kepentingan yang tidak dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat Papua tersebut. Dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut antara lain kepada kesehatan, gangguan alam akibat galian tambang, konflik dengan pihak PT Freeport dan ketidakpercayaan masyarakat papua terhadap pemerintah Republik Indonesia (net).

Salah satu pemicu dari konflik ini adalah ketika Papua ingin berpisah dari NKRI, terjadilah perebutan dan semacamnya, dan juga kita sebagai warga negara Indonesia harus mendukung apa sebenarnya yang di inginkan masyarakat Papua, diantaranya adalah Pendidikan, kesejahteraan hidup, keadilan ekonomi  - Kesenjangan ekonomi juga menjadi pemicu terjadinya berbagai jenis kesenjangan dan keterpurukan dan lain sebagainya.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

PSSI dan BTN akan Tetap Selalu Salah di Mata IPLONTE

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

PSSI & BTN sudah bawa Timnas Juara aja tetap disalahkan, dihina, dicaci, dihujat dll. Apalagi Timnas gagal Juara? pasti bilang kekalahan udah di setting mafia bla bla bla ujung2nya fitnah… Kalau para IPLONTE memfitnah itu bukan hal aneh lagi, udah biasa, wajar dan kebiasaan mereka.

Bisanya cuma nyinyir-nyinyir mulu, seolah PSSI Rezim jenggala itu yg terbaik sedunia dan akhirat. dulu katanya sehancur-hancurnya PSSI tetep dukung yg PSSI Resmi. Karena PSSI sudah tidak ditangan kelompok sempak mereka, jadi ya slogan resmi-resmi itu tidak berlaku sekarang :D

*Sekarang saya tanya ya IPLONTE, tolong di jawab, tapi pake OTAK yah jawabnya? xixixi :D

Bedakan mana yg BAIK mana yg GA TAU DIRI ?

1. PSSI Rezim Jenggala tidak membayar gaji para pelatih Timnas berbulan bulan

2. PSSI (yg katanya) 'mafia' MELUNASI semua tunggakan gaji pelatih Timnas

====================

1. PSSI Rezim Jenggala HUTANG ke HOTEL-HOTEL

2. PSSI 'mafia' yg MELUNASI semua Tunggakan ke Hotel-hotel

=====================

1. PSSI Rezim Jenggala TUNGGAK uang Saku pemain Timnas

2. PSSI 'mafia' lewat BTN memberi Beasiswa atas Prestasi Timnas U-19

=====================

Sumber-sumber:

http://bola.kompas.com/read/2013/02/21/13244130/pssi.tunggak.uang.saku.pemain.timnas

http://www.tempo.co/read/news/2013/04/01/100470534

http://www.duniasoccer.com/Duniasoccer/Indonesia/PSSI/Usai-Gaji-Dilunasi-Kontrak-Seluruh-Pelatih-Timnas-Diputus-Dahulu

http://www.bola.net/indonesia/exco-patungan-lunasi-utang-sebelum-hut-pssi-7195f0.html

Itu PERTANYAAN MUDAH LOOOOOH? :D

FM

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.

Kebenaran itu Tidak Mungkin Tidak Logis!

Posted: 24 Sep 2013 11:45 AM PDT

"Segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Di mana dan kapan pun kebenaran itu ditemukan, pastilah berasal dari Allah". Ini adalah tesis dasar dari buku berjudul: All Truth is God's Truth karya Arthur F. Holmes.

Persoalan spesifik yang menggelitik dan coba saya tuangkan permenungan saya via tulisan pendek ini adalah mungkinkah Allah - sumber segala kebenaran - mewahyukan sesuatu yang tidak logis?

Sebelum menilik buah pergelutan saya dengan pertanyaan di atas, sebaiknya saya kemukakan dulu apa yang saya maksudkan dengan logika [yang kata sifatnya, logis, saya gunakan dalam tulisan ini]. Sederhananya, logika adalah aturan-aturan atau hukum-hukum penalaran.

Jadi, frasa "tidak logis" di atas berarti tidak sesuai dengan aturan-aturan atau hukum-hukum penalaran. Konkretnya, mungkinkah Allah mewahyukan kebenaran yang tidak sesuai dengan hukum-hukum penalaran (logika)?

Saya memberikan jawaban negatif untuk pertanyaan di atas. TIDAK MUNGKIN!

Mengapa tidak mungkin? Tidak mungkin karena ketidaksesuaian dengan hukum-hukum penalaran adalah ketidakbenaran (fallacies). Ketidakbenaran pasti tidak benar. Tidak benar pasti tidak berasal dari Allah.

Tetapi, tunggu dulu. Anda menyanggah?! Bukankah banyak hal, mis. berkaitan dengan iman yang tidak masuk akal? Well, sebutkan salah satu hal berkaitan iman yang menurut Anda tidak masuk Akal. Oke, Anda mulai meraba-raba dan mencoba mengemukakan sebuah contoh.

Misalnya mukjizat-mukjizat. Bukankah mukjizat-mukjizat tidak dapat dijelaskan secara logis?

Bila itu contoh terbaik Anda [Anda bisa memikirkan sebuah contoh lain], saya justru melihat Anda kebingungan dan menggabungkan antara "ketidaklengkapan informasi" atau "keterbatasan pemahaman" dengan prinsip-prinsip penalaran. Kita tidak dapat menjelaskan sebuah mukjizat secara memuaskan berdasarkan kemampuan nalar kita, bukan karena terjadinya mukjizat itu adalah sesuatu yang tidak logis. Bukan. Kita tidak dapat menjelaskannya secara tuntas karena kita tidak memiliki semua informasi yang diperlukan untuk menjelaskannya.

Paling banter, kita bisa menyebutnya "melampaui pemahaman" kita yang terbatas, sebagai manusia yang terbatas tentunya. Tetapi adalah tidak benar untuk memberinya label "tidak logis" hanya karena kita tidak dapat memberikan penjelasan yang mencakup segala sesuatu mengenai sesuatu hal.

Perihal terjadinya mukjizat, itu adalah sebuah kejadian logis. Bagaimana bisa? Ya bisa dong. Allah Mahakuasa bukan? Tidakkah kemahakuasaan Allah menjadi dasar yang logis untuk terjadinya sebuah mukjizat? Begini rekonstruksi logisnya:

1. Allah Mahakuasa
2. Karena IA Mahakuasa, hal-hal yang tergolong ajaib bagi manusia PASTI bisa IA lakukan
3. Maka mukjizat (hal-hal yang ajaib) dapat terjadi.

Saya justru menganggap bahwa mereka yang mengajarkan kebenaran yang tidak logis sebagai orang-orang yang menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah. Kebohongan itu adalah bahwa Allah dapat memberikan pewahyuan atau melakukan sebuah tindakan yang tidak logis.

Implikasi dari hal di atas sangat penting untuk diperhatikan. Kita harus menghindari segala sesuatu yang tidak logis atau cacat logika (fallacies). Berhentilah menipu diri bahwa Anda dapat membela Tuhan dan membela kebenaran dengan bergelimang sesat pikir (cacat logika). Melakukan hal ini berarti Anda menganggap bahwa Tuhan dapat "mengawinkan" kebenaran dengan ketidakbenaran Anda demi membuat-Nya terlihat "baik"/"benar" di mata publik. Kebenaran hanya dapat diajarkan dipertahankan dengan kebenaran!

Sekali lagi, tidak mungkin kebenaran itu tidak logis!

Bekasi, 25 September 2013.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Kompasianer (anggota Kompasiana) yang menayangkannya.Kompasiana tidak bertanggung jawab atas validitas dan akurasi informasi yang ditulis masing-masing kompasianer.