Adsense Link 728 X 15;

Kompasiana

Posted by Sri Rejeki Kamis, 06 Februari 2014 0 komentar
Adsense Content. recommended 336 X 300

Kompasiana


Kekuatan Caleg dapil 3 sul sel Menuju ke senayan

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

REP | 07 February 2014 | 01:38 Dibaca: 1   Komentar: 0   0
Melihat peta kekuatan caleg yang menuju ke senayan di kab pinrang ada beberapa caleg dari masing2 partai yg berpeluang meraut kantong suara di kab pinrang misal dari Partai  GRINDRA H.A.NAWIR  yg tdk lain adalah putra pinrang  dan dari partai GOLKAR sendiri  juga tidak mau kalah yg di prediksi bisa mengambil 2 (dua)  kursi di senayan yaitu HJ.RYANI SOEDIRMAN yg tidak lain juga putri pinrang  berstatus imcumben,  PPP  tdk tinggal diam ada istri bupati sidrap 2 periode yaitu HJ.FATMAWATI RUSDI dengan solid nya turun sosialisasi lansung di pinrang tidak bisa juga di pandang sebelah mata , dari partai PKS ada A.RAHMAT bisa juga menjadi saingan berat kandidat lain nya yg menuju kesenayan …Mengukur dan melihat peta kekuatan nya dari caleg masing2 partai ini tergantung dari cara caleg sendiri memaksimalkan sisa waktu yang ada terhitung - 60 hari apabila tidak fokus/lengah  maka tidak tertutup kemungkinan caleg yang lain dari patari tersebut menyalip karena semua nya masih mempunyai peluang ……………….       berikut statistik peta kekuatan dr caleg DPR RI tersebut                                                                                                        1.H.A.NAWIR : 43  %                                                                                                                                                                                  2.HJ.RYANI SOEDIRMAN  27 %                                                                                                                                                           3.HJ.FATMAWATI RUSDI 19 %                                                                                                                                                             4.A.RAHMAT   SE  11 %

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Siapa yang menilai tulisan ini?

-

full moon fox

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

Yussa Nugraha Sukses Trial Pertama di SC Feyenoord

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

Diguyur hujan deras dan angin kencang bersuhu udara mendekati 5* Celsius, Yussa Nugraha menjalani latihan bersama di salah satu lapangan kompleks Varkenoord dekat stadion De Kuip. Yussa mengawali latihan dengan berlari empat kali mengelilingi lapangan.

Disusul shoting bergantian dan ditambah 4 kali memutari lapangan. Setelah itu ditutup dengan dua kali pertandingan di lapangan kecil 4×4 dan lapangan besar 11×11. Angin dingin tidak menurunkan semangat bocah kelahiran 21 Maret 2001 itu.

Walaupun terpaut dua tahun dengan rata-rata usia pemain C1 di lapangan itu, namun Yussa tidak kelihatan lebih kecil. Satu anak lain yang juga ikut trial malam kemarin itu yang justru secara umur sama dengan rata-rata tapi secara fisik lebih kecil.

Hujan yang deras, membuat para orang tua mencari tempat hangat di kantin. Kecuali dua manusia Edi Nugraha dan Sepakbolanda. Walaupun diterpa angin dingin dan jaket yang basah kuyup tetap tidak mengusik nikmatnya lihat latihan cah Solo.

Pelatih team C1 berkepala pelontos, Daniël Metselaar tampak aktif menyemangati para pemainnya dan bahkan dia berteriak dengan suara yang lantang. Bahkan terkadang terdengar kata-kata kasar dari mulutnya. Daniël inilah yang 'menemukan'  Yussa dan memanggilnya untuk datang ikut latihan.

"Pelatih ini pula yang menyambut dan memberi instruksi menjelang latihan. Yussa disodori formulier untuk diisi sebegai pendaftaran." demikian Edi Nugraha kepada Sepakbolanda. Edi kali ini tidak sendiri mengantar putranya. Dia ditemani Salma Sanata, putrinya dan Indra Lieu, istrinya. "Sesekali boleh lah kami datang lengkap mas," imbuh Edi.

Menurut sang ibu, Yussa sudah sejak kecil memang senang sepak bola. "Mainannya hanya bola dan bola, sejak masih baby di Nusukan dulu," tutur Indra Lieu. Dukungan lengkap keluarga ini memberikan dorongan yang luar biasa.

Menyadari keluarganya datang lengkap di sana, Yussa makin bersemangat. Dipasang sebagai winger kanan luar, Yussa bahkan sempat mencetak satu gol untuk team nya. Selain itu banyak hal baru yang ditemui pada hari pertama. Hal ini disadari oleh sang pelatih Daniël.

Video Yussa Mencetak Goal di SC Feyenoord

Harus Adaptasi
Usai latihan, Sepakbolanda berbincang dengan Daniël Metselaar di kantin klub. Sang pelatih menuturkan bahwa setiap anak yang baru pertama kali di tes, masih harus adaptasi. Sebaliknya team juga harus membiasakan diri dengan anggota baru. "Jangan heran kalau Yussa, tidak banyak dapat operan bola, karena mereka tidak saling mengenal. Masih harus membiasakan diri dan cara berkomunikasi." Demikian jelasnya kepada Sepakbolanda.

Kecepatan Bola
Selain itu disadari pula bahwa kecepatan bola di team C1 (U14) ini, masih terlalu tinggi buat Yussa yang selama ini main di D1 (U13) di VV Scheveningen. "Itu menjadi perhitungan kami juga, karena Yussa kalau lancar akan diproyeksikan mulai musim 2014-2015."  Sehingga masih ada jenjang beberapa bulan untuk membiasakan diri.

Dua Kali
"Untuk musim kompetisi depan ini kami membutuhkan enam pemain baru dari luar. Empat yang bertahan dan enam dari team C2," bubuhnya. Kalau melihat penampilan Yussa malam ini, tampaknya pelatih masih ingin mengundang bocah Solo itu dua kali lagi. "Berikutnya, dua pekan lagi ada latihan di group lebih kecil. Kami akan mengirimkan undangan lagi."

Satu Bangsa
Ditanya soal Damian Mikoen yang malam itu juga ikut latihan, Daniël membenarkan bahwa pemain ini keturunan Jawa Suriname. "Lain kali Anda bisa wawancara dia," ungkapnya ramah. Dengan begitu, Yussa tidak perlu cemas karena di timnya ada rekan satu "bangsa."

Coach Daniël, Djenol, Coach D1 Virgil dan Yussa

Kemungkinan Yussa menjadi bagian dari SC Feyenoord C1 tetap ada. Kecemasan justru muncul dari klub soal jarak. Kepada Edi Nugraha, sang pelatih menanyakan apakah jarak akan menjadi masalah bagi Yussa kalau lolos seleksi.

Tampaknya jawabannya sudah jelas. Bagi Edi Nugraha dimanapun dan kemanapun diundang, kami datang. "Mas Djen, kalau untuk kemajuan anak sih, kami siap berkorban. Asal anak senang dan mengembangkan bakatnya." ungkap Edi kepada Sepakbolanda dalam perjalanan menuju tempat parkir di bawah hujan yang mulai mereda.

Bener nih siap datang kemana saja?! Bagaimana Mas Edi, kalau undangannya dari PSSI di Jakarta? ;-))

Video dan Gambar serta berita perkembangan Yussa Nugraha dan pemain lain keturunan Indonesia di Belanda. Simak di Sepakbolanda.

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

ALLAHUMMA AGHITSNAA

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

Kita Tahu : Kesadaran itu Bernama Indonesia

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

Pada tataran pengertiannya yang paling luas, budaya tidak pernah dan tidak akan bisa dikungkung oleh batasan-batasan. Bicara tentang budaya, saya sepakat dengan Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya yang berjudul Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture yang terbit tahun 1974. Takdir mengemukakan bahwa kata budaya berasal dari kata 'budi' dan 'daya'. Paduan dua kata ini, 'budi' – yang  mengungkapkan adanya hasil refleksi batin manusia; pertimbangan nilai-nilai baik-buruknya hal – dengan  'daya' – yang bermakna suatu kemampuan untuk melakukan sesuatu – memberikan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai budaya. Budaya ada dari hasil kontemplasi manusia dengan sekitarnya dan dirinya, pun keberadaan budaya itu bukan hanya sebagai ornamen penghias, namun juga sebagai 'alat' untuk mencapai tatanan kehidupan yang lebih beradab.

Dalam pandangan pragmatis, budaya muncul sebagai hasil dari tindakan dalam konteks ruang dan waktu. Kita semua mengamini bahwa budaya bertalian dengan sejarah, meski begitu, menempatkannya sebagai suatu yang hanya ada dalam kotak 'sejarah' adalah hal yang tidak tepat. Karena hidup manusia melapisi segmen-segmen ruang waktu – maka budaya bukan melalu sesuatu yang tradisional, bukan melulu sesuatu yang lampau.

Sebagai makhluk yang dinamis, tentu saja manusia menjadi saksi dan menjadi pelaku akan banyaknya arus perubahan yang terjadi. Modernitas dan tradisi sedianya berbenturan, dan menghindari benturan itu adalah hal yang tidak mungkin. Pada konteks Indonesia, sebagai negara kesatuan yang terdiri dari beragam budaya dan  berbagai suku bangsa  telah mengalami perkembangan secara dinamis, ditandai dengan perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam tataran kebudayaan, politik, ekonomi, bahkan juga rupa geografis yang dikenai pekerjaan budaya, terutama setelah reformasi 1998. Berkaitan dengan hal tersebut wacana tentang nilai keberagaman semakin menguat dan mengarah pada upaya pembangunan di berbagai sektor kehidupan dan upaya peneguhan identitas serta  karakter bangsa.

Kondisi kita pada masa kini jelas menyatakan kita tak berada pada tradisi murni lagi. Yang ada adalah kombinasi. Hanya pada tatanan teori dan ideologi, dikotomi antara apa yang 'murni' dan apa yang 'tidak murni' itu jelas. Namun sebagaimana mengutip Goenawan Mohamad, "Kita hidup dengan satu tantangan setiap hari. Tantangan kita jawab sebagai orang hari ini. Tapi orang hari ini tak bisa turun dari langit.". Sebaru apapun kita hidup, akan selalu ada elemen-elemen masa lampau yang membekas dan menjadi struktur. Inilah yang nantinya membentuk identitas dan membuat kita menjadi bagian dari sebentuk kesadaran yang bernama Indonesia.

Budaya dalam Globalisasi: Bertahan dan Promosi

Berbicara tentang budaya dan konteksnya pada masa kini, saya teringat akan tema kegiatan  5th International Conference on Indonesian Studies (ICSSIS) yang dilaksanakan di Hotel New Saphir, Yogyakarta pada 13-14 Juni 2013 lalu: Etnisitas dan Globalisasi. Tema ini telah dapat membangun diskusi menarik yang melibatkan para peneliti dalam dan luar negeri, pengamat, mahasiswa, serta seluruh peserta konferensi terhadap potret  keragaman kehidupan masyarakat Indonesia yang signifikan dengan kondisi dewasa ini. Dalam hal ini dunia akademis harus melihat dan menelaah kembali  kajian Indonesia yang sarat dengan kearifan lokal  untuk disajikan dalam era globalisasi, terkait dengan nilai daya guna dan pemberdayaan masyarakat.

Menggaris bawahi poin nilai daya guna dan pemberdayaan masyarakat, kedua hal tersebut adalah poin penting yang menjadi alasan suatu entitas budaya untuk tetap eksis dalam masyarakat. Kecenderungan masyarakat untuk mengambil manfaat praktis dari budaya adalah implikasi dari perubahan pola pikir akibat perkembangan teknologi dan revolusi industri. Oleh karena itu, perlu adanya keselerasan dan suatu kombinasi yang terintegrasi antara budaya dengan kemajuan teknologi agar nilai-nilai kearifan lokal yang mestinya dapat memberdayakan masyarakat tidak justru terbendung oleh 'keberdayaan' masyarakat itu sendiri.

Satu contoh persetubuhan yang saya rasa 'sukses' antara globalisasi dengan budaya adalah fenomena Hallyu (Gelombang Korea) yang merambah hampir seluruh dunia. Bagaimana Korea di awal abad 21 mampu menginvasi pasar-pasar budaya mulai dari yang sifatnya tradisional hingga kultur pop tidak perlu diragukan lagi. Yang menarik bagi saya adalah fakta bahwa –jika kita menilik kembali sejarah– Kim Gu, seorang pemimpin dari gerakan independen Korea sekaligus presiden dari Pemerintahan Provisial Republik Korea pada akhir autobiografinya (Baekbomilji, 1 Maret 1948) mengatakan, "The only thing that I desire in infinite quantity is the power of a noble culture. This is because the power of culture both makes us happy and gives happiness to others…".

Dari pernyataan tersebut, 'kekuatan budaya untuk membuat kita bahagia dan memberikan kebahagiaan bagi orang lain' adalah sebuah hal yang menurut hemat saya sangat amat sederhana, yang saking sederhana bahkan bisa saja disebut klise. Namun mengingat bagaimana cara Korea Selatan mempromosikan budayanya yang cenderung santai – sebut saja melalui  drama-drama serial dan grup musik – maka dari situ tanpa sadar masyarakat dunia mulai terpengaruh secara perlahan-lahan. Kultur pop, membuka jalan bagi budaya tradisional. Dan melalui budaya juga, secara otomatis timbul adanya 'iklan' atas produk-produk asal Korea Selatan yang membentuk simbiosis mutualisme dengan tingkat ekspor negara tersebut. Hingga pada akhirnya, yang 'membahagiakan' ini bisa jadi sesuatu yang 'bernilai daya'.

Kembali lagi ke Indonesia, tentunya nilai-nilai kearifan lokal yang diusung di Indonesia berbeda dengan yang diusung di Korea Selatan. Tapi tentu saja, ada pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini. Menurut professor Suray Agung Nugroho, M.A., Ketua Program Studi Bahasa Korea Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, dalam seminar "Contemporary Korea: Youthful Spirit", yang digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, "Pemerintah Korea sangat tanggap dalam menangkap kenyataan tersebut. Pemerintah langsung turun tangan untuk mencanangkan gerakan menyukseskan 'ekspor' budaya Korea ke dunia luar. Bahkan, sejumlah perguruan tinggi di Korea telah membuka mata kuliah khusus tentang Hallyu. Tak ketinggalan pula, berbagai studi akademik dilakukan di Korea dan universitas serta lembaga kajian tingkat dunia untuk menyelami fenomena dan pengaruh Hallyu saat ini." tuturnya. Menurut Suray, terdapat satu hal yang dapat dipetik dari fenomena Hallyu, yakni bersatunya masyarakat dan Pemerintah Korea dalam menanggapi suatu fenomena budaya yang terjadi di negerinya. "Mereka juga proaktif dalam urusan menaikkan citra Korea di mata internasional. Sebenarnya, kita bisa belajar dari fenomena yang terjadi di Korea tersebut," terangnya.

Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa untuk menyukseskan promosi suatu budaya, diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola secara global serta masyarakat sebagai pelaku utama. Kesinambungan antara dua unsur ini menjadi sangat penting. Sebut saja, ketiadaan peran pemerintah akan berujung pada sulitnya birokrasi dan minimnya jangkauan, sedangkan tanpa adanya peran masyarakat, pemerintah pun tidak bisa ujug-ujug memaksakan kehendaknya. Karena biar bagaimanapun, budaya hidup tanpa hak cipta, tanpa 'ibu' yang 'satu'. Budaya hidup dengan kreativitas, dan kreativitas yang tak mati itu hanya bisa ditemukan dalam masyarakat.

Langkah-langkah

Maka dalam pelaksanaannya, mempromosikan kebudayaan Indonesia bukanlah suatu hal yang sulit, namun tentu saja diperlukan langkah-langkah konkrit yang berkesinambungan untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan progress nyata dari promosi tersebut agar tidak sekadar menjadi sesuatu yang sia-sia.

Pertama, melalui pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang mengedepankan pemahaman multikultural, hal ini akan membuat para peserta didik sejak kecil menjadi paham mengenai konsep budaya dan tidak lagi terkungkung dalam pengertian yang 'sempit'. Dari usia dini, peserta didik akan mengerti perbedaan budaya dan tahu bagaimana cara bersikap dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Kedua, melalui sinergi keberagaman etnis. Indonesia, sebagai suatu negara besar, yang memiliki berbagai macam suku-bangsa, tentunya kita tidak mungkin menjadikan seluruh budaya tersebut hanya diwakili oleh satu 'hal'. Kita tidak bisa serta merta memberikan klaim bahwa 'inilah kebudayaan nasional'. Kebudayaan nasional memang ada, namun keberadaannya ditopang oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu, keberagaman ini mestinya menjadi suatu yang memperkaya, bukan malah memperpecah keberagaman itu sendiri. Saya rasa kita tak perlu lagi berdebat mana kebudayaan nasional dan mana yang bukan, karena kebudayaan manapun dengan 'kesadaran Indonesia' adalah bagian dari kebudayaan nasional.

Ketiga, melalui pengelolaan aset-aset budaya secara baik dan menyeluruh. Baik melalui riset akademis maupun penjagaan di tingkat terkecil, misalnya pemberdayaan di daerah-daerah tempat kebudayaan tersebut berasal. Tidak hanya dari segi pengadaan alat, namun juga dari segi pengetahuan mengenai asal-usul dan makna dari aset-aset budaya tersebut.

Terakhir, adanya kebijakan yang mengikat. Kebijakan di sini bukan berarti kebijakan yang membatasi, namun justru sebaliknya, kebijakan yang menjaga 'hidupnya' kebudayaan itu sendiri. Kebijakan yang jelas, baik dari aspek pendanaan, fasilitas, hukum dan teknologi akan membawa promosi budaya ke tingkat yang lebih baik. Kebijakan ini jugalah yang 'mempertalikan' antara pemerintah dan masyarakat, sehinga antara keduanya akan timbul suatu hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Konklusi

Kebudayaan nasional kita tak dicap oleh asal-usul serta oleh kebudayaan daerah diri kita masing-masing, tapi komitmen kita kepada negara. Dulu, kita dipersatukan karena adanya 'musuh' bersama. Namun, tentu saja, di zaman sekarang, kita disatukan oleh simbol-simbol yang berdekatan. Oleh nilai-nilai kearifan lokal yang berangkat dari sumber yang saling mengenal, itu yang melahirkan komitmen bersama.

Maka dalam menjaga satu yang ada itu, bukan lagi saatnya tunjuk menunjuk. Bukan lagi saatnya berpangku tangan. Jika bukan kita, maka tak ada yang memulai. Jika bukan kita, maka tak ada yang bergerak. Jika bukan kita, maka apakah kita hanya diam dan mau tunggu sampai budaya kita 'diakui' oleh yang lain?

Indonesia, sebentuk kesadaran. Aku, kamu, kita, kami.

Daftar Pustaka

Alisjahbana, Sutan Takdir. Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture. Malaysia: University of Malaya Press. 1974

FIB UI. 'Pembukaan The 5th International Conference on Indonesian Studies Etnisitas and Globalisasi' : Juni 13 2013
http://fib.ui.ac.id/lama/index.php?limitstart=48&lang= (30 Desember 2013)

FIB UI. 'Kesimpulan dan Usulan The 5th International Conference on Indonesian Studies' : Juni 17 2013http://fib.ui.ac.id/lama/index.php?limitstart=48&lang= (30 Desember 2013)

Nugroho, Suray Agung. Hallyu 'Gelombang Korea' di Asia dan di Indonesia : Trend Merebaknya Budaya Pop Korea. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada. 2011

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Seluruh Jakarta Terancam Tenggelam

Posted: 06 Feb 2014 11:20 AM PST

1391710720737345842

Badan Nasional Oceanografi dan Atmosfir (NOOA) Amerika Serikat telah gencar menyampaikan peringatan dini kepada seluruh warganya mengenai kemungkinan sejumlah kota di pantai Timur AS akan menjadi rawa bila permukaan laut benar-benar naik mencapai 0,8 hingga 2 meter pada tahun 2100. Kenaikan permukaan air laut ini terutama dipicu oleh peningkatan laju pencairan es di kawasan Barat Antartika akibat pemanasan global akibat emisi karbon (carbon emission) yang terus meningkat 20 tahun terakhir.

Bahkan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi bila tutupan es di kawasan Greenland terus mencair dengan laju pencairan seperti sekarang, maka diperkirakan peningkatan permukaan air laut akan mencapai ketinggian tujuh meter, cukup untuk menenggelamkan Los Angeles dan London, kata sebuah laporan yang dimuat di situs National Geographic yang dapat diakses melalui tautan di akhir tulisan ini.

Berapa ketinggian rata-rata daratan Jakarta dari atas permukaan air laut? Menurut situs Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kota Jakarta adalah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata sekitar 7 meter di atas permukaan laut. Bila kenyataannya daratan Jakarta demikian, maka tanpa hujanpun, hanya air pasang dari laut yang biasa disebut banjir rob, sudah bisa menyebabkan hampir seluruh daratan di Jakarta tergenang banjir.

Apa yang akan terjadi terhadap Jakarta bila air pasang bersamaan dengan musim hujan seperti yang terjadi akhir-akhir ini? Maka kemungkinan besar tak ada lagi sejengkal daratan Jakarta yang tidak tersentuh banjir. Mengerikan? Ya, tentu saja, makanya saya tidak habis pikir mengapa pihak berwenang di negara ini kurang intensif memberikan penyuluhan mengenai ancaman banjir yang nyata di depan mata.

Saya tidak bermaksud membela Jokowi yang belakangan ini sering disalahkan karena katanya banjir tahun ini lebih parah dan lebih lama dibanding tahun lalu. Harusnya pihak berwenang dan para ilmuan membantu menjelaskan secara transparan bahwa pola banjir di negeri ini memang telah mengalami perubahan dan terus akan mengalami perubahan. Hal itu diakibatkan karena banjir tidak lagi semata diakibatkan besarnya curah hujan melainkan juga oleh peningkatan permukaan air laut, meskipun saat ini hanya beberapa sentimeter, tetapi cukup signifikan mengurangi kemampuan laut untuk menerima kiriman air dari daratan terutama di musim hujan. Jadi bukan karena alam mengirimkan isyarat bahwa mereka tidak setuju Jokowi jadi Gubernur DKI atau lebih parah menyebutnya sebagai kutukan. Isu itu adalah pembodohan dan sekaligus kebodohan bagi siapapun yang menghembuskan dan mempercayainya.

Lima tahun terakhir ini, hampir semua negara yang memiliki laut tidak luput dari banjir yang mencengangkan, tidak terkecuali negara-negara di Benua Eropa, Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Korban nyawa dan harta benda sudah tak terkira, bangsa-bangsa lain di dunia sudah mengambil ancang-ancang untuk mengurangi dampak banjir tahun depan. Seharusnya kita juga belajar untuk berhenti saling menyalahkan dan mulai berpikir lebih rasional dan kooperatif untuk bersama-sama mengupayakan agar dampak banjir ke depan dapat diminimalkan.

Memindahkan penduduk dari kawasan cekungan dan rendah yang rawan seperti bantaran sungai, waduk, tepi pantai yang terbuka mutlak harus disegerakan. Waktu kita sangat singkat. Saat musim hujan 2015 tiba, tidak ada jaminan banjir akan berkurang siapapun Gubernur di Jakarta atau bahkan Presiden RI. Kita tidak berhadapan dengan fenomena mistik, kita berhadapan dengan fenomena alam yang sedang berubah dan terus berubah.

Tetapi harus diingat, bahwa upaya yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segala daya dan cara seperti menata drainase, mengeruk sungai dan waduk lebih dalam dan lebih luas, mendisiplinkan warga untuk tidak membuang sampah ke sungai serta dalam jangka panjang membangun dinding air (water wall) di pesisir Jakarta, bukan mustahil Jakarta dapat terbebas banjir, tetapi tentu tidak cukup dalam dua atau tiga tahun, apalagi menuntut tuntas dalam setahun. Kalau kota Amsterdam, Belanda, yang jelas-jelas daratannya berada di bawah permukaan laut bisa tidak tergenang, apalagi kota Jakarta yang posisi daratannya masih jauh lebih baik dibanding Amsterdam.

Bagi yang tidak percaya kalau perilaku alam terus berubah, silahkan bertanya kepada penduduk Jakarta Utara, terutama yang bermukim di kawasan yang dekat dengan pantai. Pasti mereka bisa menjelaskan seberapa sering dan seberapa jauh perubahan banjir rob melanda pemukiman mereka beberapa tahun terakhir ini. Atau bila sempat, silahkan buka arsip pemberitaan mengenai peningkatan frekuensi dan cakupan genangan banjir rob lima tahun terakhir. Itu semua adalah peringatan alam bahwa konstelasi hidrologis Jakarta telah berubah, dan, maaf, bukan kutukan.

Amerika Serikat saja yang ngotot tidak ikut meratifikasi protokol Kyoto (Kyoto Protocol), terpaksa harus ikut ambil bagian dalam upaya pengurangan emisi karbon agar bumi ini tidak menjadi semakin panas. Banjir yang melanda negeri Paman Sam sepuluh tahun terakhir memang cukup menyadarkan masyarakat dan pemerintah Amerika Serikat bahwa iklim memang telah berubah drastis secara global. Pemerintahan Obama akhirnya harus ikut berkomitmen menurunkan emisi gas buang di dalam negerinya agar banjir akibat lelehan es di kutub tidak makin menggila. Amerika Serikat berkomitmen menurunkan 7 persen gas buangnya sampai 2020, ini dipandang cukup rasional mengingat agar daya saing industri negara adidaya ini bisa tetap bertahan.

Pertemuan Puncak di Bali mengenai Perubahan Iklim Global pada Desember 2007 lalu yang dimotori Indonesia mengamanahkan semua negara untuk mengambil tindakan konkrit mengurangi emisi gas buang mereka. Negara maju diminta menurunkan 20 - 40 persen, sementara bagi negara berkembang seperti Indonesia bahkan diminta menurunkan sampai 50 persen hingga tahun 2050.

Indonesia berjanji akan mengendalikan kebakaran hutan di seluruh Indonesia seperti di Sumatera dan Kalimantan akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian. Untuk ini Pada 2009 lalu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komiten Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dari pertanian, konversi lahan dan kehutanan sebanyak 26 persen hingga tahun 2020.

Tak kalah pentingnya adalah komitmen untuk mengurangi gas buang dari kendaraan bermotor dan industri yang ternyata juga cukup signifikan kontribusinya. Penggunaan bahan bakar gas untuk armada Transjakarta merupakan langkah yang banyak diapresiasi lembaga-lembaga pemerhati lingkungan internasional karena dipandang sebagai bagian dari komitmen mengurangi emisi gas buang. Ke depan pemerintah perlu memikirkan untuk mengganti semua jenis kendaraan yang mereka gunakan dengan yang lebih ramah lingkungan.

Menggiatkan penggunaan transportasi umum yang ramah lingkungan merupakan upaya pemerintah yang harus disambut dan diapresiasi oleh warga Jakarta. Artinya, bagaimana setiap dari kita mulai berpikir agar dapat berkontribusi menekan pertambahan emisi gas buang dengan memaksimalkan penggunaan transportasi umum dalam beraktivitas.

Meski Jakarta hanyalah sebuah noktah kecil di atas kulit planet yang bernama bumi ini, tetapi bila Jakarta yang kita cintai ini benar-benar karam karena kita lalai menjaganya, dikarenakan sibuk bertengkar dan saling menyalahkan, menjadikan masalah lingkungan sebagai komoditas politik untuk saling memojokkan daripada menjadikannya sebagai peringatan untuk menggalang persatuan, maka bersiaplah menjadi generasi yang disesali oleh anak cucu kita.

http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/critical-issues-sea-level-rise/

http://www.ppejawa.com/12_dki_jakarta.html

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.

Adsense Content. bottom of article

0 komentar:

Posting Komentar